30 September 2015

fiksimini #46

"Tuhan terlalu sayang sama saya," begitu ucapan Hasan saat tokonya terbakar. Segenap usaha yang dibangunnya ludes. Hasan meneteskan airmata, tapi wajahnya tetap tenang.
"Tuhan menjaga saya supaya tidak sombong karena harta."

Saat anak kesayangannya meninggal karena diare, Hasan menangis sesenggukan. Badannya lunglai dan nyaris pingsan, tapi ia tetap bersyukur.
"Tuhan melindungi saya dari kesombongan, berhasil mendidik anak yang hafidz Quran dan berbudi."

Hasan tak kehilangan senyum, saat mengalami stroke ringan. Katanya; "Tuhan mengingatkan saya supaya tidak sombong dengan kecerdasan dan kesehatan. Sesungguhnya Tuhan sangat menyayangi saya."
Tetangga Hasan semakin kagum padanya. Lembut, bijak dan cerdas. Tak ada yang menduga saat Hasan mendadak dipukuli sejumlah preman. Di rumah sakit, saat ia dijenguk tetangganya, dan ditanya kenapa ia dipukuli, Hasanpun menjawab tenang. 

"Tuhan mengingatkan saya supaya tidak sombong."
"Memangnya pak Hasan sedang ngapain sampai disangka menyombongkan diri sama preman?"
"Saya hanya berjalan. Saat melintasi jalan saya melihat seorang perempuan dengan rok mini, merokok sambil tangannya memegang botol minuman. entah apa isinya. Make up nya tebal dan tertawanya berlebihan. Saat itu saya berpikir; kasihan perempuan itu, mungkin ia terjebak keadaan. sungguh malang nasibnya tenggelam di dunia hitam."
Para tetangga bingung. "Lalu? kenapa premannya ngamuk?"
"Saat berpikir begitu, tak sengaja saya menabrak seorang preman mabuk, dan mereka pun memukuli saya."
Para tetangganya tampak berduka. Bela sungkawa tampak di mata mereka. Hanya satu orang yang bertanya; "maaf pak Hasan, lantas hubungannya dengan kesombongan apa?"

Hasan menarik nafas.
"Saat itu saya sombong. Menganggap saya lebih alim, lebih pintar dan lebih beruntung dari seorang wanita. Hanya karena dia merokok dan memakai pakaian tak pantas."
Hasan kembali menarik nafas panjang. wajahnya berduka.
"Tapi bukankah Bapak memang lebih baik?"
"Tidak mas. Tuhan langsung mengingatkan saya. langsung saya tergeletak tak berdaya seperti ini. Ternyata justru saya yang patut dikasihani."
"Tapi kan tetap mending dari wanita itu." sang tetangga terus berkata-kata. seolah tak rela pujaannya lebih rendah dari siapapun.

Hasan tersenyum pedih. Perlahan ia menjawab.
"Justru wanita itu yang menolong dan membawa saya ke rumah sakit ini. Dia juga yang mengabari keluarga saya. Bahkan ia bersedia jadi penjamin saat saya belum sadar."
Seolah kelelahan, Hasan memiringkan kepalanya ke arah tembok dan memejamkan mata. di sudut mata itu ada tetesan air.
"Tuhan memang amat sangat terlalu sayang sama saya," gumamnya.

No comments:

Post a Comment