30 September 2015

fiksikota #37

Kereta berhenti sebentar di stasiun Depok. Dua orang pemuda yang duduk di kursi khusus lansia dan wanita hamil, dekat tempat Wahid berdiri, masih juga bercakap dengan suara keras.
Keduanya bergaya sangar, dengan kaos dan jins robek robek, tato besar di lengan, mata merah dan mulut berbau alkohol. Mereka mengomentari macam macam hal dengan suara keras. Mulai dari tarif kereta api yang dianggap terlalu mahal, seorang pegawai metroseksual yang disebut homo, sampai memanggil manggil seorang ibu di seberang mereka dengan tak pantas.

Tampaknya semua orang kesal, tapi anehnya tak seorangpun yang mencoba menegur mereka.

Saat seorang ibu hamil besar naik, kedua pemuda itu malah tertawa dan menegur si ibu.
"bu, ngapain bawa bawa drumband? wahahahahaha..."
Ibu hamil itupun bergeser menjauh sementara kedua pemuda itu tertawa.
Saat itu kesabaran Wahid pun habis. Ia mulai bergerak ditengah kepadatan penumpang, menuju kedua pemuda itu. Mendadak pundaknya disentuh orang.
"jangan mas, keliatannya mereka orang nggak beres.. bisa dipukuli malah" bisik seorang bapak bertopi merah prihatin.
"biar pak, udah keterlaluan mereka itu.."

Wahid terus berjalan.  Begitu tiba didepan mereka, dengan suara gemetar menahan emosi Wahid menegur dua pemuda itu.

"kalian harus minta maaf... harusnya kalian berdiri. ini kursi untuk lansia, ibu hamil dan menyusui... berdiri!"
Kedua pemuda itu tampak kaget. Perlahan wajah mereka mengeras dan keduanya menatap wajah Wahid. Mata mereka menunjukkan keheranan dan ancaman.
Wahid bergeming. Matanya tajam menatap wajah kedua pemuda itu. Tak ada senyum di wajahnya. Adu tatap berlangsung cukup lama, tak ada yang mengganggu. Para penumpang memilih berpaling atau mendadak sibuk dengan gadget masing-masing. Mereka merasa itu bukan pertarungan mereka.
"ber di ri..."
Wahid mengulangi kata katanya. Matanya masih terpancang ke wajah kedua pemuda itu.

tiba-tiba salah satu pemuda itu membuang pandangan ke samping. Selang beberapa kejap, pemuda yang lain menundukkan kepalanya, sambil menarik lengan kawannya.
Perlahan kedua pemuda itu bergeser ke arah pintu diseberang gerbong. Tak tersisa kegarangannya. Wahid memandang mereka sekilas lalu memutar pandangan, mencari ibu hamil tadi. Dilihatnya ibu itu agak ketengah gerbong. 

"bu, silahkan duduk... " Wahid memanggil setengah berteriak. Dia keheranan saat melihat ibu itu seperti berpura pura tak mendengar dan malah bergeser menjauh.
Keheranannya bertambah ketika dia sadar, tak ada yang berusaha duduk di kursi di depannya. Padahal ada dua tempat duduk yang kosong.

Ia menawari orang orang di sebelahnya untuk duduk, tapi reaksinya membuatnya bingung. satu orang bergeser menjauh. Lainnya mengangguk sopan dan tersenyum, tapi menolak. Ada juga yang malah menunduk seolah tak mendengar. Satu hal yang ditangkap oleh Wahid, mereka ketakutan.
pada siapa? kenapa?
agak putus asa, Wahid pun duduk.Terasa sangat lega. Rasanya tak pantas saat di depannya banyak orang berdiri berpeluh. Tapi sepertinya tak ada yang mau duduk disebelahnya.

Kereta berhenti di sebuah stasiun. Pintu pun terbuka. Dua pemuda kasar itu turun cepat cepat tanpa membuka mulut. Wahid memutuskan bersandar sambil menutupi wajahnya dengan sapu tangan.
Dua orang gadis masuk, tampaknya salah seorang berusaha duduk disebelahnya, tapi seorang bapak bertopi merah berbisik mencegah mereka.
"Jangan neng, itu orang bahaya... tadi dia mau duduk aja mengusir orang..."

Dibalik sapu tangannya, Wahid yang mendengar bisikan itu meringis. Udara di kereta ber AC itu mendadak terasa menyesakkan.

No comments:

Post a Comment