30 September 2015

fiksikota #32

Di sebuah warung kopi, dua orang bapak berdialog seru. Mereka membahas pembongkaran salah satu lokasi pemukiman padat di bantaran sungai. Penghuninya akan dipindahkan ke rumah susun yg baru dibangun pemerintah.

"Iya, saya tau fasilitasnya oke. Harga sewanya juga murah banget, tapi yang saya permasalakan adalah cara memindahkannya. Kenapa harus dengan kekerasan? Kenapa tidak coba dialog?"
"Dialog bagaimana lagi pak? Ini sudah lebih dari setahun sosialisasi dan permintaan pindahnya... tetep saja pada ngotot bahkan pakai bentrok di hari H."
"Mana ada orang yang mau dipaksa pindah dari rumah yang sudah puluhan tahun ditempati..."
"Secara hukum itu tanah negara,bukan tanah mereka.. bantaran sungai jelas peruntukannya bukan tempat tinggal. Lagipula dipindahkan ke rusun yg lebih baik kok ndak mau.. saya saja mau."
"Tapi di tempat yang lama itu pemerintah juga tarik iuran...pajak... bahkan dibikinkan KTP, itukan tandanya mereka diakui."
"Lo.. apa iya duitnya iuran itu masuk kas negara.. lha wong sertifikat tanahnya saja nggak tercatat. Tanah bantaran sungai besar kepemilikannya sangat terbatas.. kalau soal KTP itu repot... puluhan tahun tinggal sebagai pendatang... kalau tidak dikasih KTP katanya pelanggaran hak azasi... dipulangkan ke kampung halaman balik lagi.."
"Ini masalahnya adalah tentang penguasa yg arogan. Mentang mentang berkuasa dan punya banyak sumber daya lalu main paksa dan main kayu..."
"Wah kalau masalah arogansi, Indonesia itu unik pak.. disini makin miskin makin benar.. makin miskin justru bisa makin arogan. Coba liat, kalau orang naik mobil ditabrak motor, yang dianggap salah siapa? Yg naik mobil... kalau orang jalan kaki nyebrang jalur busway trus kesenggol bus, yg dibakar bus nya kan? Kalau konvoi motor gede lewat rame rame dianggap arogan dan semua mengutuk kan? Tapi kalau ada geng motor kecil kecil lewat.. mobil mendingan minggir daripada diteriakin sok kaya dan digores. Ini nggak pernah dibilang arogan.."
"Loo.. kok jadi bahas lalu lintas?"
"Sekedar intermezo pak... kasusnya saya anggap mirip dengan status pertanahan di jakarta. Orang datang menempati tanah kosong, gratis.. lalu bangun rumah. Diajaklah teman temannya, jadi kampung... ketika datang pemilik sah tanah itu, boro boro bayar sewa. Ketika diminta pergi malah minta ganti rugi..."
"Sekali lagi pak, yang sedang kita bahas adalah kebiasaan pemerintah yg sekarang untuk kembali memakai pendekatan represif. Main hajar main bongkar."
"Bukannya pemerintah sebelumnya juga begitu?"
"Sebagai pemegang kekuasaan, harusnya ada cara lain yg ditempuh. Jangan main bongkar dan serbu.."
"Kalau boleh tahu, cara seperti apa?"
"Dialog.."
"Sejak jaman gubernur kemarin kan sudah diajak dialog."
"Tapi ganti ruginya.."
"Dikasih rusun, sewa lebih rendah, lokasi nggak jauh dari lokasi awal... masak mau minta tambah ganti rugi tanah dan bangunan? Lha wong tanahnya juga bukan punya mereka.."
"Susah ngomong sama pembela penguasa... kamu nggak liat sih bagaimana orang orang dipukuli dan dihajar."
"Kan sudah diminta pergi baik baik sebelumnya... ini malah bakar backhoe dan lempar batu... "
"Jadi maksudmu, setuju ada pemukulan dan pengeroyokan macam begitu?"
"Ya nggak sih... "
"Itu melanggar HAM!"
"Harusnya pasukan pembongkar itu lebih menahan diri."
"Iya itulah.. ini si pimpinan malah ngomong: bakar aja, pukulin aja biar pergi.."
"Ah itu kata media.. paling paling di pelintir.."
"Loo itu ada di tipi... dia langsung ngomong gitu ke kamera kok... dasar pemimpin gila..."
"Ah kau terlalu percaya sama media... kalau ada kejadian kayak gini kan kesempatan buat mereka naikin oplah.. media sama aja.."
"Lah, kan cuma media yg ngabarin kita kalau ada kejadian kayak begini... justru media bisa memastikan kondisinya."
"Itu cuma buat show aja... mereka kan pilih pilih mau tayangin apa... mau nyerang siapa... semua ada kepentingan masing masing.."
"Lah terus kalau nggak percaya sama media, sama siapa lagi??"
"Sama Tuhan.... percaya itu sama Tuhan.."
"Nah... itulah.... makanya saya juga kurang percaya sama pimpinan yang sekarang ini... "

Temannya tak lanjut bicara, hanya menyeruput kopi yang sudah dingin. Si pembicara ikut ikutan meminum kopinya. Di belakang mereka suasana warung kopi sudah sepi. Hanya seorang jurnalis kacangan sedang menikmati indomie rebusnya, dia diam diam mencatat dialog mereka. Dalam hati... hanya dalam hati. 

Ia mengingat liputan tadi, seorang pedagang yang babak belur dihajar penjaga di lokasi penggusuran itu. Pedagang itu disangka hendak melawan, padahal ia hanya ingin mengambil dagangannya. Ia bahkan tak tinggal di lokasi penggusuran. Gegar otak, sempat koma, mata rusak dan tulang retak. Wajah pedagang itu terus melekat dalam ingatan sang jurnalis.

Di luar, para tukang ojek merapatkan sarung dan jaket mereka menahan dingin. Ada beberapa potong kayu dan besi di kaki mereka. Seorang diantaranya malah menyelipkan golok di pinggangnya. Di pohon dekat motor mereka berkumpul terpasang spanduk karton buatan tangan. Tulisannya; Go*ek dilarang masuk!

No comments:

Post a Comment