Usai penggusuran sebuah kampung kumuh, Rani, seorang reporter TV nan jelita berkeliling di sebuah kampung kumuh lain. Kabarnya penduduk kampung itu juga sudah dibagikan selebaran yang meminta mereka segera pindah ke rumah susun pemerintah. Lokasi itu segera akan digusur. Si reporter jelita ditemani jurnalis kacangan yang membawa kamera mendapat tugas mencari tanggapan dari penduduk kampung itu.
"itu ada warung, kita kesana dulu.." Rani memberi tanda. Ruby, sang Jurnalis kacangan pun mengikuti. Penjaga warung, seorang ibu setengah baya, menyambut mereka dengan senyuman. Setelah berbasa basi ringan, Rani pun bersiap mewawancarainya.
"Ibu, boleh perkenalkan namanya dulu? siapa nama ibu?" Rani membuka pertanyaan.
"Lastri, nama ibu lastri..."
"Ibu lastri, sudah tinggal berapa lama disini?"
"wah lama neng, hampir 20 tahun.."
"Ibu tahu kampung ini akan digusur?"
"iya, neng.. sudah dibagikan selebarannya."
"ibu nggak marah?"
"Lastri, nama ibu lastri..."
"Ibu lastri, sudah tinggal berapa lama disini?"
"wah lama neng, hampir 20 tahun.."
"Ibu tahu kampung ini akan digusur?"
"iya, neng.. sudah dibagikan selebarannya."
"ibu nggak marah?"
Bukannya menjawab bu lastri malah bertanya pada Ruby yang sedang mengintp di viewfinder kamera.
"nak, itu yang pegang kamera... mau kopi atau teh?"
Ruby tergagap sejenak, lalu berkata singkat.
"kopi boleh bu, kalau ada kopi susu A*C. kebetulan belum sempat ngopi pagi ini."
Rani melirik marah pada Ruby yang nyengir.Wawancara pun tertunda, menunggu sang ibu selesai membuat kopi, dan teh panas untuk Rani. Harum kopi susu itu langsung membuat Ruby sedikit bersemangat.
"nak, itu yang pegang kamera... mau kopi atau teh?"
Ruby tergagap sejenak, lalu berkata singkat.
"kopi boleh bu, kalau ada kopi susu A*C. kebetulan belum sempat ngopi pagi ini."
Rani melirik marah pada Ruby yang nyengir.Wawancara pun tertunda, menunggu sang ibu selesai membuat kopi, dan teh panas untuk Rani. Harum kopi susu itu langsung membuat Ruby sedikit bersemangat.
"Ibu, kita langsung lanjut wawancaranya ya?"
"nggak minum dulu neng? "
Rani langsung menyodorkan microphone pada si ibu.
"nanti aja bu, nunggu dingin sedikit."
lirikan marah Rani menghentikan upaya Ruby mengambil kopinya.
"nggak minum dulu neng? "
Rani langsung menyodorkan microphone pada si ibu.
"nanti aja bu, nunggu dingin sedikit."
lirikan marah Rani menghentikan upaya Ruby mengambil kopinya.
"jadi bagaimana pendapat ibu tentang rencana penggusuran?"
"yah, ibu mah bisa apa neng. Kalau pemerintah mau gusur, kami orang kecil bisa apa.."
"ibu tidak menuntut ganti rugi?"
"kan kabarnya dikasih rumah susun, neng."
"iya, tapi ibu kan sudah lama tinggal disini."
"lama iya neng.. tapi rumah ibu disini masih gedek.. triplek... kalau dikasih gedong ya alhamdulillah.."
"masak ibu nggak kesel? nanti di rusun malah nggak bisa jualan gimana bu? cari rejekinya gimana?"
"ya gimana nanti aja neng. Kalau rejeki mah udah di takar sama Tuhan, nggak bakal ketuker.."
"tapi apa ibu nggak ngerasa ini gubernur sewenang-wenang? sudah nggak becus membereskan masalah perkotaan malah nyusahin rakyat kecil. Gimana pendapat ibu?"
"yah, ibu mah bisa apa neng. Kalau pemerintah mau gusur, kami orang kecil bisa apa.."
"ibu tidak menuntut ganti rugi?"
"kan kabarnya dikasih rumah susun, neng."
"iya, tapi ibu kan sudah lama tinggal disini."
"lama iya neng.. tapi rumah ibu disini masih gedek.. triplek... kalau dikasih gedong ya alhamdulillah.."
"masak ibu nggak kesel? nanti di rusun malah nggak bisa jualan gimana bu? cari rejekinya gimana?"
"ya gimana nanti aja neng. Kalau rejeki mah udah di takar sama Tuhan, nggak bakal ketuker.."
"tapi apa ibu nggak ngerasa ini gubernur sewenang-wenang? sudah nggak becus membereskan masalah perkotaan malah nyusahin rakyat kecil. Gimana pendapat ibu?"
Sambil membereskan warungnya ibu Lastri tersenyum.
"neng, ibu mah orang kecil... gimana mungkin ibu bisa bilang bapak gubernur nggak becus.. malu atuh... ibu nggak pernah jadi gubernur, ketua RT aja nggak pernah, masak mau sok ngajarin pak gubernur caranya jadi gubernur.."
"ibu nggak.punya saran, unek unek atau keluhan buat pak gubernur?"
"iBu mah cuma ngerti dagang, neng.. jadi gubernur pasti pintar... malu atuh kalau ibu kasih saran sama orang yang lebih tahu dari ibu... ibu cuma baca dari koran, lah dia kan tau datanya langsung... nggak berani sok tau iBu ah."
"baiklah ibu, terima kasih.."
Sambil membereskan kabel dan microphone, Rani bergegas pergi. Ia setengah menarik Ruby yang masih berusaha mengambil gambar ibu Lastri.
"nggak usah diambil gambar. nggak akan kepake." Kata Rani dengan ketus.
"loh, kenapa?"
"percuma.. yang ini gubernur lover... nggak kepake?"
"loh, kenapa?"
"kantor kan maunya kontroversi, harus cari yang menghujat si gubernur... kalo nggak malah kita yang disemprot... awas kalo lo bilang kenapa lagi!"
"nggak usah diambil gambar. nggak akan kepake." Kata Rani dengan ketus.
"loh, kenapa?"
"percuma.. yang ini gubernur lover... nggak kepake?"
"loh, kenapa?"
"kantor kan maunya kontroversi, harus cari yang menghujat si gubernur... kalo nggak malah kita yang disemprot... awas kalo lo bilang kenapa lagi!"
Ruby si jurnalis kacangan pun terdiam. Wajah cantik Rani tampak cemberut. Benar benar pagi yang membuat stress. Pikiran Ruby pun melayang kembali ke warung ibu Lastri. Pada secangkir kopi susu hangat mengepul yang harumnya begitu menggoda. Kopi susu yang tak sempat dicicipinya.
"Ah... Kenapa...." Ruby menggeleng gelengkan kepalanya. Tripod dan kameranya mendadak terasa berat.
"Ah... Kenapa...." Ruby menggeleng gelengkan kepalanya. Tripod dan kameranya mendadak terasa berat.
No comments:
Post a Comment