Berita
penangkapan seekor ikan buaya (alligator gar) di waduk Jatiluhur membuat heboh.
Kebetulan ada seorang ahli perikanan yang bisa mengidentifikasi bahwa ikan itu
adalah Alligator Gar, ikan impor buas dan bisa tumbuh hingga 3 meter.
Sebelumnya
ikan yang mirip juga ditemukan di daerah Surabaya, Mojokerto dan Bogor.
Berita yang
ditulis tentang penemuan ikan di Mojokerto dan Surabaya cukup membuat saya
tertawa. Ikan itu digambarkan sebagai ikan mistis dan jadi-jadian di beberapa
media online lokal. Tentunya seorang reporter harus menunjukkan kebenaran.
Akhirnya salah sebuah media online mau bersusah payah bertanya pada yang
mengerti tentang ikan, dan mereka mendapat informasi bahwa ikan itu adalah dari
genus Lepisus Peus.
Entah siapa
yang memulai tapi genus itu kemudian menyebar di berbagai media, bahkan media
online sekelas Kompas.com dan Detik.com. Padahal kalau dicari di buku bilologi,
genus itu sepertinya tak ada.
Sampai lama
sekali tak ada media yang memperbaiki atau mau repot mencari genus sebenarnya
dari ikan yang ditemukan itu. Hanya
sebuah beberapa blog pribadi seperti xfile-enigma.blogspot.com yang mau
repot membantahnya.
Kemudian muncul berita ditemukannya ikan Aligator Gar di waduk
Jatiluhur. Ikan yang ditangkap dipampangkan, dan berbagai mediapun
memberitakan. Semua dengan gampang mengacu ke berita terdahulu, dan sok yakin
bahwa mereka ada di genus yang sama: Lepisus peus.. yang itupun salah.
Ikan Aligator Gar sesuai dengan klasifikasi sains (saya cek di wikipedia)
ada dalam family : Lepisosteidae. Dari Family itu dibagi menjadi dua genus
(jenis) yaitu Genus Atractosteus dan genus Lepisosteus…. Ya, Lepisosteus
kedengarannya mirip dengan Lepisus peus kan?
Saya pun menduga para peliput awal hanya salah mendengar, tapi saat
melihat gambar-gambarnya ternyata Aligator Gar yang ditemukan di Surabaya dan
Mojokerto pun bukan termasuk Lepisosteus, tapi malah genus Atractosteus.
Jadi kesalahan yang diawal hanya berupa salah dengar, tidak
dikonfirmasi, tidak di verifikasi dan ditulis saja. Kesalahan itu kemudian
menjadi data dan dianggap kebenaran oleh jurnalis berikutnya yang mengutip
berita itu. Bahkan (dalam kasus ini) para jurnalis tak berusaha lagi mencari
data detail tentang ikan Aligator Gar. Mereka percaya saja bahwa Aligator Gar
nama ilmiahnya adalah Lepisus peus… ugh!
Itu kenapa akurasi menjadi tanggung jawab besar dari para jurnalis,
sebab kesalahan mereka bisa menjadi dianggap kebenaran dimasa datang.
Beruntung masih ada media televisi yang benar menyebutkan bahwa diduga
ikan yang ditangkap di waduk Jatiluhur adalah Atractosteus. Mereka tidak
mengunakan nama latin Lepisus Peus. Kelihatannya mereka sempat melihat gambar
dan melakukan sedikit browsing sebelum menayangkan beritanya. Itu yang benar…
Salah satu
azas dalam dunia jurnalistik adalah Akurasi. Sayangnya, karena tuntutan
kecepatan, seringkali akurasi ditinggalkan oleh para praktisi jurnalistik.
Jangan dulu terlalu menyalahkan para praktisi ini, banyak hal yang membuat
mereka memilih kecepatan daripada akurasi. Apa saja alasan itu? Diantaranya
adalah sistem upah pay per items, dimana jurnalis dibayar
berdasarkan jumlah item berita mereka yang tayang. Biasanya sistem ini dialami
para kontributor televisi dan media online. Semakin banyak mereka membuat berita
yang tayang, semakin besar penghasilan kita.
Akibatnya
saat mendapat berita hangat, sang jurnalis berusaha sebanyak-banyaknya untuk
menulis berita. Akurasi pun dibuang ke tong sampah.
Jurnalis
juga terpaksa meliput berbagai jenis berita. Kadang berita tersebut termasuk
hal yang kurang mereka pahami, dan akibatnya mereka bergantung pada keterangan
orang yang mereka wawancarai.
Saya pernah
menjadi produser selama beberapa tahun, dan sudah tak terhitung beberapa puluh
kali menerima complain tentang akurasi crew saya. Seorang ahli
tehnik memprotes istilah yang digunakan dalam sebuah berita, Seorang ahli
sosial menyalahkan cara seorang reporter menggunakan sebuah istilah sosial,
atau seorang pilot yang mengejek pengetahuan penulis naskah tentang dunia penerbangan.
Reporter
memang HARUS mengetahui banyak hal, tapi mereka juga manusia. Seorang pilot
jelas lebih tahu dunia penerbangan daripada seorang reporter, atau ahli sosial
bisa dengan lincah menerangkan definisi dan kegunaan berbagai istilah sosial
dibanding seorang newswriter. Reporter nyaris tak mungkin
mempelajari secara mendalam semua yang mereka liput karena akan menjadi terlalu
luas.
Dalam
jurnalistik ada yang disebut Beat Reporter, yaitu reporter yang hanya
memahirkan peliputan di satu masalah saja. Wartawan ekonomi misalnya, harus
memperdalam segala hal tentang ekonomi. Begitu juga reporter dengan beat
hankam, tentunya harus paham pangkat dan seluk beluk militer. Tapi tidak semua
reporter beruntung menjadi beat reporter tertentu. Kebanyakan
mereka dipindah-pindahkan setiap hari. Hari ini liputan politik, besok
kriminal, dan besoknya lagi malah berbasah-basah liputan banjir.
Saya tidak
bilang bahwa kesalahan seorang reporter harus dimaklumi, reporter tetap harus
memastikan segala yang ia sampaikan pada masyarakat itu akurat dan benar.
Yup sedikit menambah kerepotan demi akurasi, tapi saya pikir cek dan
ricek dan verifikasi harus dilakukan teman-teman reporter sebelum menuliskan
beritanya. Seperti dikatakan Joseph Pulitzer, bahwa hanya ada 3 azas
utama dalam jurnalisme, yaitu: Akurasi, Akurasi dan Akurasi. Jurnalisme selalu mengenai akurasi
data dan fakta, bukan sekedar gosip, katanya atau praduga sang reporter
sendiri.
Eddi Kurnianto
No comments:
Post a Comment