18 September 2013

kesalahan jurnalistik : Aligator Gar di Jatiluhur



Berita penangkapan seekor ikan buaya (alligator gar) di waduk Jatiluhur membuat heboh. Kebetulan ada seorang ahli perikanan yang bisa mengidentifikasi bahwa ikan itu adalah Alligator Gar, ikan impor buas dan bisa tumbuh hingga 3 meter.

Sebelumnya ikan yang mirip juga ditemukan di daerah Surabaya, Mojokerto dan Bogor.
Berita yang ditulis tentang penemuan ikan di Mojokerto dan Surabaya cukup membuat saya tertawa. Ikan itu digambarkan sebagai ikan mistis dan jadi-jadian di beberapa media online lokal. Tentunya seorang reporter harus menunjukkan kebenaran. Akhirnya salah sebuah media online mau bersusah payah bertanya pada yang mengerti tentang ikan, dan mereka mendapat informasi bahwa ikan itu adalah dari genus Lepisus Peus.
Entah siapa yang memulai tapi genus itu kemudian menyebar di berbagai media, bahkan media online sekelas Kompas.com dan Detik.com. Padahal kalau dicari di buku bilologi, genus itu sepertinya tak ada.

Sampai lama sekali tak ada media yang memperbaiki atau mau repot mencari genus sebenarnya dari ikan yang ditemukan itu. Hanya sebuah beberapa blog pribadi seperti xfile-enigma.blogspot.com yang mau repot membantahnya.

Kemudian muncul berita ditemukannya ikan Aligator Gar di waduk Jatiluhur. Ikan yang ditangkap dipampangkan, dan berbagai mediapun memberitakan. Semua dengan gampang mengacu ke berita terdahulu, dan sok yakin bahwa mereka ada di genus yang sama: Lepisus peus.. yang itupun salah.
Ikan Aligator Gar sesuai dengan klasifikasi sains (saya cek di wikipedia) ada dalam family : Lepisosteidae. Dari Family itu dibagi menjadi dua genus (jenis) yaitu Genus Atractosteus dan genus Lepisosteus…. Ya, Lepisosteus kedengarannya mirip dengan Lepisus peus kan? 

Saya pun menduga para peliput awal hanya salah mendengar, tapi saat melihat gambar-gambarnya ternyata Aligator Gar yang ditemukan di Surabaya dan Mojokerto pun bukan termasuk Lepisosteus, tapi malah genus Atractosteus.
Jadi kesalahan yang diawal hanya berupa salah dengar, tidak dikonfirmasi, tidak di verifikasi dan ditulis saja. Kesalahan itu kemudian menjadi data dan dianggap kebenaran oleh jurnalis berikutnya yang mengutip berita itu. Bahkan (dalam kasus ini) para jurnalis tak berusaha lagi mencari data detail tentang ikan Aligator Gar. Mereka percaya saja bahwa Aligator Gar nama ilmiahnya adalah Lepisus peus… ugh!
Itu kenapa akurasi menjadi tanggung jawab besar dari para jurnalis, sebab kesalahan mereka bisa menjadi dianggap kebenaran dimasa datang. 

Beruntung masih ada media televisi yang benar menyebutkan bahwa diduga ikan yang ditangkap di waduk Jatiluhur adalah Atractosteus. Mereka tidak mengunakan nama latin Lepisus Peus. Kelihatannya mereka sempat melihat gambar dan melakukan sedikit browsing sebelum menayangkan beritanya. Itu yang benar…

Salah satu azas dalam dunia jurnalistik adalah Akurasi. Sayangnya, karena tuntutan kecepatan, seringkali akurasi ditinggalkan oleh para praktisi jurnalistik. Jangan dulu terlalu menyalahkan para praktisi ini, banyak hal yang membuat mereka memilih kecepatan daripada akurasi. Apa saja alasan itu? Diantaranya adalah sistem upah pay per items, dimana jurnalis dibayar berdasarkan jumlah item berita mereka yang tayang. Biasanya sistem ini dialami para kontributor televisi dan media online. Semakin banyak mereka membuat berita yang tayang, semakin besar penghasilan kita.
Akibatnya saat mendapat berita hangat, sang jurnalis berusaha sebanyak-banyaknya untuk menulis berita. Akurasi pun dibuang ke tong sampah.

Jurnalis juga terpaksa meliput berbagai jenis berita. Kadang berita tersebut termasuk hal yang kurang mereka pahami, dan akibatnya mereka bergantung pada keterangan orang yang mereka wawancarai.
Saya pernah menjadi produser selama beberapa tahun, dan sudah tak terhitung beberapa puluh kali menerima complain tentang akurasi crew saya. Seorang ahli tehnik memprotes istilah yang digunakan dalam sebuah berita, Seorang ahli sosial menyalahkan cara seorang reporter menggunakan sebuah istilah sosial, atau seorang pilot yang mengejek pengetahuan penulis naskah tentang dunia penerbangan.

Reporter memang HARUS mengetahui banyak hal, tapi mereka juga manusia. Seorang pilot jelas lebih tahu dunia penerbangan daripada seorang reporter, atau ahli sosial bisa dengan lincah menerangkan definisi dan kegunaan berbagai istilah sosial dibanding seorang newswriter. Reporter nyaris tak mungkin mempelajari secara mendalam semua yang mereka liput karena akan menjadi terlalu luas.

Dalam jurnalistik ada yang disebut Beat Reporter, yaitu reporter yang hanya memahirkan peliputan di satu masalah saja. Wartawan ekonomi misalnya, harus memperdalam segala hal tentang ekonomi. Begitu juga reporter dengan beat hankam, tentunya harus paham pangkat dan seluk beluk militer. Tapi tidak semua reporter beruntung menjadi beat reporter tertentu. Kebanyakan mereka dipindah-pindahkan setiap hari. Hari ini liputan politik, besok kriminal, dan besoknya lagi malah berbasah-basah liputan banjir.

Saya tidak bilang bahwa kesalahan seorang reporter harus dimaklumi, reporter tetap harus memastikan segala yang ia sampaikan pada masyarakat itu akurat dan benar.

Yup sedikit menambah kerepotan demi akurasi, tapi saya pikir cek dan ricek dan verifikasi harus dilakukan teman-teman reporter sebelum menuliskan beritanya.  Seperti dikatakan Joseph Pulitzer, bahwa hanya ada 3 azas utama dalam jurnalisme, yaitu: Akurasi, Akurasi dan Akurasi. Jurnalisme selalu mengenai akurasi data dan fakta, bukan sekedar gosip, katanya atau praduga sang reporter sendiri.

Eddi Kurnianto

No comments:

Post a Comment