sekolah itu harusnya menginspirasi sebuah perubahan, sebuah perjalanan, atau sebuah proses untuk menjadi lebih baik.
Baru saja anak saya Raditya masuk di sekolah barunya. Perubahan
yang besar dan mendadak untuknya, karena kami baru mengabarinya beberapa hari
sebelum pindah.
Dia bukan berpindah dari Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah
tapi dari SD lama ke SD baru. Radit terpaksa dipindahkan ke SD didekat rumah
karena berbagai alasan. Salah satunya adalah jarak. SD Radit yang lama jaraknya
jauh dari rumah dan melalui sebuah proyek pembangunan jalan layang. Macet dan
jauh membuat Radit harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang sore. Radit
sering terlihat kelelahan dan beberapa kali sakit.
Dengan berat hati, kami memutuskan memindahkan sekolah
Radit. Maafkan kami ya, kak Radit. Benar benar berat hati, karena kami ingat
betapa susahnya mencari sekolah Radit.
Beberapa kali kami ditolak dengan halus, dan beberapa kali
dikecewakan, sebelum menemukan sekolah yang cukup akomodatif dengan
perkembangan Radit. Kebetulan sekolah yang menerima adalah sekolah Islam
terpadu dengan dua bahasa. Suasana cocok dan Raditpun langsung nyaman disana.
Sayangnya, saat baru berjalan tahun pertama, kabar buruk datang. Psikolog anak
yang saat itu merawat Radit menyarankan untuk pindah. Sekolah multi bahasa dapat mengganggu perkembangan
linguistik anak seperti Radit. Kami disarankan memindahkannya ke sebuah SD
berbahasa tunggal. Kami pun kembali mencari sekolah, pilihan yang tersedia saat itu adalah SD
negeri. Maklum, untuk pindah sekolah butuh biaya besar, ditambah lagi saat itu
kami juga masih harus menggunakan jasa guru pendamping.
Mencari SD Negeri inklusi di negeri ini bukan perkara mudah.
Perhatian departemen Pendidikan dan Kebudayaan terhadap pendidikan anak
berkebutuhan khusus masih sebatas wacana. Sedikit sekali bantuan yang didapat
orang tua yang mencoba mencari pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan
khusus mereka. Tentunya ada beberapa sekolah yang diberi stempel inklusi, tapi fasilitasnya
sangat minim. Jangan lagi bicara tentang guru dengan kemampuan mendidik anak
berkebutuhan khusus, dengan satu guru memimpin kelas berjumlah lebih dari 32 anak,
rasanya sulit berharap anak berkebutuhan khusus yang ditempatkan di kelas itu
bisa berkembang.
Memang ada lembaga swasta yang menyediakan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus secara inklusi di Bogor, tapi dari beberapa yang kami datangi
kurang cocok dengan harapan. Ada yang menganggap
anak berkebutuhan khusus harus ‘dipaksa’ menjadi anak normal dengan terapi
keras, Ada lagi
yang walau berlabel inklusi ternyata menyiapkan ruang kelas khusus bagi anak
berkebutuhan khusus, sementara di tempat lain malah mewajibkan pemakaian
obat-obat penenang untuk menangani anak tersebut.
Saya bukan orang yang mengerti luar dalam soal pendidikan
anak berkebutuhan khusus, tapi yang jadi alasan menolak lembaga pendidikan
tersebut adalah paradigma yang mereka gunakan. Rata-rata menganggap anak
berkebutuhan khusus sebagai pengganggu, yang harus dipaksa mengikuti ‘aturan
normal’. Buat saya itu sama saja tidak
menerima perbedaan mereka.
Saat kita tak bisa menerima dan punya prasangka buruk
terhadap sesuatu yang berbeda, menganggap perbedaan itu memberi kita hak
menekan, menghukum dan memaksa orang lain berubah menjadi sesuai keinginan
kita; bukankah itu mirip dengan Rasisme?
Saya hanya ingin mencari tempat dimana anak-anak saya bisa
mengembangkan potensi, sesuai dengan keinginan dan keunikan pribadi mereka.
Dan menggunakan obat penenang untuk meredam aktifitas anak
kita? Hey.. memangnya anak berkebutuhan khusus bukan manusia? Kalau pada orang
sakit saja kita berusaha menghindari obat penenang (baik karena efek
ketergantungan atau bahayanya pada otak) kenapa dengan seenaknya boleh
diberikan pada anak berkebutuhan khusus?
Beruntung, akhirnya kami menemukan sekolah dasar negeri
–yang walau saat itu- belum inklusi, tapi mau beradaptasi dengan harapan kami.
Butuh waktu lama membuat Radit nyaman dan butuh waktu lebih
lama lagi untuk mengedukasi teman-temann dan guruya agar mau mengerti Radit. Dengan
bantuan guru pembimbingnya, kami semua,
Radit dan keluarga, bisa mulai beradaptasi. Banyak keringat dan airmata tertumpah
di masa-masa itu. Saat naik ke kelas 4 SD, guru pembimbingnya pun menganggap
Radit sudah bisa dilepas sendiri. Sebah prestasi bagi kami semua…
Semua perkembangan itu terjadi di SDN itu. Kini, saat Radit
sudah ada dikelas paling akhir di SDnya, kami malah merasa harus
memindahkannya.
Terus terang ini keputusan yang berat.
Sedih bukan kepalang melihat Raditya menangis saat
berpamitan pada guru-guru dan teman sekelasnya. Perlu banyak percakapan dan
pelukan untuk meyakinkan dia, bahwa kepindahannya bukan karena ‘dibuang’ atau
‘tersingkir’, - begitu kosa kata yang digunakannya – dari sekolahnya yang lama.
Perubahan itu pastinya berat untuk anak seperti Radit. Di
Sekolahnya yang lama semua orang sudah memaklumi dia. Teman-temannya sebagian
besar tidak lagi menganggapnya aneh atau mengganggu, banyak yang ikut menangis
saat radit berpamitan. Para guru pun sudah
maklum, tak memarahinya saat berteriak keras atau keluar ruangan saat jam
pelajaran. Intinya dia sudah nyaman disekolahnya yang lama. Sayangnya, karena
itu juga saya pikir memindahkan dia ke sekolah yang baru jadi lebih penting.
Perubahan memang berat, bukan hanya bagi Radit, tapi juga
bagi semua. Jadi kenapa kami berani memutuskan untuk berubah? Ada beberapa pertimbangan yang membuat saya
setuju untuk memindahkan sekolahnya.
Di sekolah lama, Radit merasa nyaman. Tak ada lagi orang
yang memperingatkannya atau menegur saat ia melakukan sesuatu yang diinginkan.
Radit tak merasa perlu lagi menyesuaikan diri, karena semua maklum atau tak
peduli lagi saat mereka tahu ada label anak special yang melekat pada
dirinya. Radit jadi kurang belajar untuk
menyesuaikan diri, karena lingkungannya yang justru sudah beradaptasi dengan
keberadaannya.
Di lingkungan yang baru, harapan saya, Radit akan belajar
sesuatu yang baru. Belajar menghadapi orang yang berbeda. Belajar menguasai
perubahan lingkungan dan beradaptasi dengannya. Itu harapan saya. Itu perubahan
yang saya inginkan dari Radit.
Tapi tahukah, teman? Ada
satu hal yang saya pelajari selama bersama anak cool yang saya sayangi ini. Untuk merubah perilaku anak, orang tuanya harus mau berubah lebih dulu..
Kalau kita berharap anak kita rajin shalat, maka sang orang
tua pun harus mau lebih rajin shalat. Contoh
dan teladan. Kalau kita ingin anak kita tidak bicara kasar dan main pukul,
orang tua harus mau menunjukkan penghargaan pada perilaku sopan dan santun. Dorong pada yang baik dan hindari contoh buruk.
Kalau kita ingin sang anak rajin bicara, orang tua harus lebih rajin bicara
pada anak dan tidak memilih menyodorkan tablet atau gameboy supaya sang anak
diam dan tidak mengganggunya. Buat
lingkungan yang mendukung dan dampingi dia.
Saya tahu, saat kami ingin Raditya berubah dan memperoleh
pengalaman dari perubahan itu, kami harus lebih dulu siap untuk berubah. Saat
kami ingin Radit mampu menanggung ketidaknyamanan atas perubahan yang terjadi,
kami juga harus mau mengalaminya agar bisa tetap mendampinginya. Tak apa, kami
sayang dan bangga pada Radit kok. (Icha jangan cemburu ya… kami juga sayang dan
bangga sekali pada mu.)
Sekarang Radit bersekolah dekat dari rumah, di sebuah SD
Negeri yang tidak sebagus sekolah sebelumnya. Sebuah SDN di kampung, yang
mayoritas diisi oleh anak-anak dari kampung disekitar sekolah itu. Hari pertama
datang, Radit sudah jadi tontonan teman-temannya karena sikapnya yang memang
jelas berbeda.
Secara fasilitas sekolah ini tidak lengkap, dengan kelas
sempit yang penuh dengan anak-anak sehingga satu meja harus dihuni dua sampai
tiga anak. Jelas tidak nyaman secara fisik. Tapi disini, Radit tidak perlu
menggunakan shadow teacher. Radit juga bisa merasa sudah dipercaya oleh kami,
dia bahkan sudah berencana akan naik sepeda sendiri ke sekolahnya.
Yang membesarkan hati, Gurunya meminta istri saya yang
menemani Radit di hari pertama sekolah, untuk pulang saja. Radit akan baik-baik
saja katanya…
Kami benar-benar berdoa keputusan memindahkan Raditya ke
sekolah baru ini tidak salah…
Malam hari setelah pertama kali di sekolah barunya, Radit berkata: “ayah, jangan
kemana-mana aku butuh memelukmu erat”, saya terdiam. Saat itu yang mampu saya
lakukan hanya berada disana, memeluknya sambil mendengarkan celoteh Radit.
Saat ia tersenyum dan berjanji untuk sekolah keesokan
harinya, saya ikut berjanji dalam hati; untuk selalu ada saat ia butuh dukungan
atau sekedar pelukan.
Radit, lets change together to become a better person - and then, lets
change the world, so it can be a better place..
No comments:
Post a Comment