07 November 2010

Catur Kolong Jembatan

Eddi Saptawan


Malam kemarin saya mengunjungi lagi sebuah tempat dari masa lalu saya.
Sebuah klub catur kecil yang diberi nama Cawang Chess Club.
Jangan bayangkan klub itu bertempat di gedung olahraga mewah bin megah. Letaknya memang di sebelah Menara Saidah, sebuah gedung pencakar langit bergaya romawi di sisi jalan raya Gatot Subroto, tapi bangunan tempat klub catur ini sama sekali bukan gedung megah. Bahkan bukan gedung sama sekali.
Markas klub catur itu hanyalah sebuah warung kopi yang diperbesar.

Warung kopi itu bahkan tak akan terlihat dari jalan raya, karena letaknya jauh di bawah jalan Gatot Subroto. Tepatnya di kolong jembatan fly over stasiun cawang.
Kalau anda ingin mengunjungi klub ini, anda bisa menuruni tangga batu yang terletak di samping kanan gerbang depan Menara Saidah. Tangga itu akan membawa anda ke kolong jalan Gatot Subroto. Kalau anda meneruskan langkah ke arah kanan, anda akan sampai ke stasiun kereta api Cawang dalam 3 menit. Tapi kalau ingin mencari Cawang Chess Club itu, anda harus mengambil arah kiri dari ujung tangga batu.
Dalam sepuluh langkah, anda sudah bisa menyentuh tiang kayu markas klub itu.

Markas Cawang Chess Club itu hanya bangunan kayu semi permanen beratap asbestos. Ukurannya hanya sekitar 6 kali 4 meter. Tiang-tiangnya hanya tiang kayu di cat kasar, Warnanya putih dan hijau kusam, seperti juga warna seluruh bangunan itu.
Di salah satu sisinya, ada ruang berdinding kayu yang digunakan sebagai warung kopi dan mie instan, sementara ruangan sisanya dibiarkan terbuka. Di dalam warung ada satu meja catur. Meja ini adalah meja elit, yang biasanya ditempati pemain catur yang pertama datang, atau kalau ada pecatur tamu undangan.
Saya tak terlalu jago bermain catur. Mungkin karena saya hanya menganggapnya permainan yang menyenangkan. Sebaliknya, para pecatur di klub ini banyak yang benar-benar serius. Mereka rutin menguji ketrampilannya dalam berbagai turnamen nasional dan seminggu sekali mengundang seorang master nasional.


Para pecatur lain biasanya bermain di areal yang tak berdinding.
Sebenarnya hanya dua sisi yang tak berdinding. Dua sisi lain sebenarnya tertutup. Sisi selatan yang berbatasan dengan warung kopi tertutup dinding papan. Sisi yang mengarah ke utara, ditutup triplek tipis. Kedua dinding itu dipenuhi tempelan. Mulai Piagam keanggotaan Persatuan Catur Seluruh Indonesia, alias percasi, Peraturan catur versi organisasi catur dunia FIDE, tata tertib klub, serta undangan-undangan turnamen catur. Mulai tingkat kelurahan sampai tingkat nasional.

Ada dua meja panjang dari kayu. Masing masing meja panjang dilukisi 3 set meja catur. Kotak-kotak hitam putih, seperti kain dodot pendeta Bali. Di sisi tiap-tiap meja catur ada stoples bening berisi bidak-bidak catur dari plastik. Siapa saja yang ingin main bisa duduk di bangku kayu panjang di meja itu dan mengambil bidak catur dari stopless itu untuk dimainkan.
Total ada 6 meja catur di bawah atap itu.

Antara setiap set papan ada jarak ruang kosong. Kalau dilihat noda-noda hitam melingkar yang tersisa, sepertinya fungsi tempat kosong itu adalah menaruh kopi atau piring makanan yang biasanya dipesan para pecatur yang sedang bertarung.
Memang main catur paling seru kalau ditemani kopi dan cemilan ringan.

Dulu saya sering berhenti di stasiun Cawang, sekedar bermain satu dua set di klub ini. Saat itu, klub catur ini lokasinya masih di stasiun Cawang, menempel di bagian luar pagar besi stasiun itu. Sekitar 5 tahun lalu, klub itu mendadak pindah ke lokasinya sekarang. Sejak itu, walau nyaris melewatinya setiap hari, saya jarang sekali berkunjung.

Malam kemarin saya putuskan untuk mampir menonton sebentar. Markas klub keliatan penuh saat saya datang sekitar jam 7 malam. Lima meja terisi pemain, dua diantaranya menggunakan jam catur. Mereka bermain lima menitan.
Ini menarik!

Saya putuskan menonton salah satu dari mereka. Main lima menitan selalu seru. Kedua pemain berpikir secapatnya, dan melangkah juga secepat-cepatnya. Setelah melangkah, pemain langsung menekan tombol diatas jam catur yang diletakkan diantara mereka berdua. Karena cepatnya permainan, bunyi tombol yang ditekan bergantian bisa seperti bunyi petasan.
CTAK..... CTAK..... CTAK....... CTAK

Kadang bunyi itu berhenti cukup lama saat salah seorang pemain berpikir keras. Semakin lama berpikir semakin terdesak waktunya. Maka biasanya setelah jeda berpikir, bunyi tombol itu akan semakin cepat.
CTAK..CTAK..CTAK..CTAK..CTAK

Main lima menitan berarti setiap pemain hanya memiliki waktu 5 menit untuk berpikir dan melakukan langkah dalam permainan. Yang kalah adalah pemain yang rajanya di skakmat, atau yang lebih dulu kehabisan waktu.
Untuk bermain dengan batasan waktu seperti itu, mereka harus menggunakan jam catur.

Biasanya jam catur berbentuk kotak dengan dua pengukur waktu berdampingan dibagian depannya. Dua pengukur itu akan menghitung mundur waktu yang tersisa bagi masing-masing pemain. Diatas kotak jam itu ada dua tombol. Setiap usai melangkah pemain harus menekan tombol pada jam catur, tombol itu akan menghentikan waktu di jamnya dan mulai menggerakan jam lawannya.

Pasangan yang saya tonton kelihatan sangat serius. Yang satu berambut pendek dan berbadan gempal. Wajahnya keras, dengan rahang agak kotak. Sekilas dari makian yang dikeluarkannya, tampaknya ia berasal dari sebuah daerah di Sumatera. Bajunya kaos berkerah polos warna krem. Jelas ia sedang terdesak. Tangannya kaku dimeja, matanya terkunci pada papan catur dan nafasnya pendek-pendek. Ia sedang tegang. Saya jadi curiga ada taruhan uang dibalik permainan itu.
Lawannya berpakaian rapi seperti pekerja kantoran. Sepatu fantofel hitam, kemeja warna cerah bergaris-garis yang agak kusut. Mungkin dia memang pegawai yang baru pulang. Wajahnya lumayan tampan dengan alis yang terlalu tebal. Rambutnya tersisir rapi.
Sepertinya ia sudah biasa main di klub ini. Meminta api untuk menyalakan rokoknya pada pemain lain disebelahnya. Gayanya akrab dan juga sangat santai.
Sebelah kakinya terangkat ke kursi kayu yang di dudukinya. Dengan akrab ia memanggil penjaga warung kopi. Minta disediakan kopi dan semangkuk mie rebus spesial.

Kelihatannya dia sedang diatas angin. Wajahnya banyak tersenyum, dan suaranya keras menyentak-nyentak.

Saya bukan satu satunya yang menonton mereka. Belasan orang lain mengelilingi lima papan catur yang sedang dimainkan. Ada yang berdiri di belakang pemain, disebelahnya, bahkan ada yang duduk nyempil di sisi jago andalannya. Semua terlihat berpikir, mereka-reka langkah apa yang kira-kira akan dimainkan jagoannya.

Markas klub ini penuh, dan bisnispun laris manis buat pemilik warung kopi.
Saya kenal dia, walau tak tahu namanya. Biasanya saya memanggilnya akang saja.
Walaupun hanya pemilik warung kopi, sebenarnya dia ini juga pemain catur kelas satu.
Karena saya lebih sering datang sore hari, waktu markas sedang sepi, maka beberapa kali saya bisa main dengan dia. Jarang sekali saya menang, tapi bermain dengannya selalu menyenangkan.
Sayangnya, dia lebih suka mencari uang daripada main catur.
’ Ngabisin waktu aja, kang’.... Taim is monei” begitu selalu jelasnya.

Berkali-kali pria gemuk itu mondar-mandir mengantarkan pesanan kopi, minuman dingin dan mie rebus. Terkadang berhenti sebentar mengambil uang bayaran, menyeka wajah berkumisnya dengan handuk yang tersampir di pundak, sebelum kembali berkutat dengan gelas kopi dan mangkuk mie. Sesekali ia berhenti juga di samping para pemain dan memberi komentar pedas.
”udah dah, nggeus paeh tah raja na.... nyerah wee...dung”
”wuih, eta raja kunaon ti hareup?”
”anggeus...atur ulang deui!! ”
Biasanya komentarnya hanya disahuti dengan senyum pahit si kalah dan tawa riuh sang pemenang.

Mendadak mata saya bertatapan dengan seorang bapak tua yang duduk di depan meja catur yang kosong. Matanya mendadak melebar dan senyumnya menyusul. Dengan isyarat tangan ia menunjuk kursi kosong di depannya. Dia mengajak saya bermain catur. Sempat tergoda sebentar, tapi kemudian saya sadar bahwa waktu tidak ada dipihak saya. Jam setengah sembilan saya harus sudah ada di kantor untuk bekerja di shift malam.
Sesopan mungkin saya menolak dengan isyarat tangan dan gelengan kepala. Bapak tua itu terlihat kecewa dan kembali memalingkan pandangan. Mencari-cari lawan yang bisa diajaknya beradu strategi malam itu.

Malam sedikit berangin saat saya menembus gerimis meninggalkan klub catur itu. Hari ini saya hanya bisa jadi penonton, besok atau lusa saya pastikan mencari waktu lagi untuk mampir dan turut bermain.

November, 2010
Saya sedang belajar deskriptif feature

No comments:

Post a Comment