02 November 2010

Bosan Jadi Jurnalis

Seingat saya, sejak kuliah saya sudah kagum pada para Jurnalis. Mereka sepertinya selalu tahu lebih dulu, cerdas tak kepalang dan selalu berani mengkritik kesalahan rezim penguasa. Bisa dibilang jurnalisme sudah menjadi passion saya yang terpendam. Dulu saya tak berani memimpikan bisa menjadi jurnalis. Saya tak terlalu cerdas, saya juga tak terlalu bisa membina hubungan baik dengan teman. Dunia jurnalistik seperti bulan purnama yang dirindukan sang punguk, yaitu saya.

Tapi dunia memang penuh keajaiban.
Tiba-tiba saja saya sudah tercebur kedalam dunia jurnalisme, walau tempatnya di dunia pertelevisian. Saya tidak menjadi lebih cerdas atau lebih pandai berteman, tapi saya sudah boleh memakai gelar jurnalis saat mengisi kolom pekerjaan. Dunia jurnalistik ternyata keras. Setiap hari selalu dipenuhi dengan usaha mempertinggi ketrampilan, menambah jumlah narasumber, mempelajari cara menulis yang berbeda-beda. Semuanya bukan pekerjaan ringan. Walau begitu, saya tetap penuh semangat. Rasanya antusiasme saya selalu bernyala setiap mendapat tugas liputan. Buku-buku teori maupun tips jurnalistik saya lahap habis. Bekerja sesuai passion yang kita miliki bagaikan hidup didalam mimpi setiap hari.

Saya mulai berjalan dalam garis batas seorang jurnalis. Saya memilih mengambil gambar daripada memisahkan perkelahian. Saya memilih meliput daripada terjun membantu. Saya baru menyadari jargon yang disuntikkan ke kepala saya: Jurnalis itu berpihak pada masyarakat, dan keberadaannya membantu masyarakat secara keseluruhan. Tapi untuk itu, sang jurnalis harus selalu berada di ambang batas kebaikan dan kejahatan. Seorang Jurnalis harus memilih; menjadi jurnalis yang baik atau orang yang baik.
Di masa itu, saya selalu mendahulukan pilihan menjadi jurnalis yang baik. Saya percaya pada tugas besar yang diemban seorang jurnalis..

Setelah beberapa tahun bekerja sebagai jurnalis, saya berkesempatan mencoba menjadi pengajar. Sejak itu saya mulai belajar Jurnalistik dengan lebih terstruktur. Dunia mengajar membuat gejolak memahami dunia jurnalise semakin besar, apalagi saya baru tahu bahwa dunia tulis menulis punya cabang perkembangan begitu luas. It’s a whole new ball game, begitu kata seorang teman dosen saya yang juga wartawan.
Ibarat menuang bensin kepada api, semakin saya kesengsem dengan dunia jurnalistik.

Berkali-kali saya bicara tentang Jurnalistik di hadapan berbagai jenis kelompok. Mulai mahasiswa, para pekerja sampai anak SMP dan biasanya berhasil mempesona mereka dengan antusiasme saya. Walaupun tak pernah menjadi Jurnalis dengan ”J” besar, saya merasa berharga saat menjalankan fungsi sebagai pewarta.
Saya sempat menjadi seperti itu, menjadikan jurnalisme sebagai gaya hidup dan hidup mengikuti gaya para jurnalis. Mungkin itu masa-masa dimana arah perjalanan hidup saya paling tegas.

Tapi rasanya masa-masa itu sudah selesai.

Minggu lalu mendadak Mentawai terhantam gempa, yang dilanjutkan dengan Tsunami. 300 orang lebih meninggal dunia. Ribuan orang kehilangan rumah tinggal. Sampai seminggu setelah kejadian, bantuan masih tersendat-sendat, masih banyak anak-anak, wanita dan bahkan bayi tak bisa makan enak .Saudara saudara saya menderita disana, dan saya tak mampu membantu apa-apa.
Belum lagi hilang sesak di dada ini, Gunung Merapi mulai berulah. 30 nyawa lebih direngkuh dan berhektar-hektar sawah dileburkan. Lebih dari 22 ribu warga tercerabut dari rumah mereka. Saya hanya bisa mendengarkan penderitaan mereka.

Mendadak, meliput dan memberitakan penderitaan itu pada khalayak luas terasa tak cukup lagi. Ada sesuatu di hati ini yang mendesak-desak saya untuk jadi orang yang lebih bermanfaat. Dada saya mendadak semakin pepat.
Saya ingin jadi orang bermanfaat yang dapat membantu mereka.

Mendadak menjadi jurnalis terasa tidak lagi sepnting dulu.

Saya ingin benar-benar langsung membantu saudara-saudara saya yang tertimpa musibah. Datang kepada mereka, memegang tangan mereka dan membantu mereka dengan apa yang saya bisa. Saya bosan berada jauh dari tempat kejadian dan hanya berkoar-koar merasa ikut membantu hanya dengan memposting simpati di jejaring sosial.
Menyisihkan sebagian harta untuk disumbangkan memang cara yang baik, tapi rasanya tenaga dan pikiran saya juga dibutuhkan. Paling tidak lebih dibutuhkan di daerah sana daripada di kantor saya yang dingin dan ber AC.

Saya tahu Jurnalis bisa membantu banyak sekali orang. Mereka bisa membangkitkan gerakan moral dan kepedulian sosial yang sangat besar sampai bisa merobohkan tembok Berlin, meruntuhkan rezim yang berkuasa, bahkan memperbaiki tatanan sosial. Saya tahu itu. Tapi rasanya sekarang saya hanya ingin jadi orang baik-baik, yang mengulurkan tangannya pada orang-orang yang sedang ’terjatuh’ dan membantu mereka berdiri dengan kekuatan saya sendiri.

Ah... Bencana ini mengingatkan saya pada sebuah mimpi yang dulu sering datang dalam tidur, mimpi membantu orang lain. Mimpi menjadi bermanfaat bagi orang lain. Mimpi menjadi orang yang baik,
benar-benar orang yang baik.


Bogor, 1 november

No comments:

Post a Comment