Semua orang pasti memiliki impian.
Saya punya banyak mimpi saat beranjak dewasa. Saya bermimpi keliling dunia, saya bermimpi punya cukup banyak uang untuk membeli semua yang saya inginkan, Saya bermimpi berpetualang seperti Indiana Jones dan hidup dalam kegairahan selamanya. Saya bahkan bermimpi pensiun sebelum usia 40 tahun dan hidup nyaman tanpa perlu bekerja.
Itu mimpi-mimpi saat menjelang dewasa, yah, indah memang tapi tetap saja hanya mimpi. Dunia memang lebih sering bergulir berlawanan dengan keinginan kita.
Jadi saya tumbuh seperti anak-anak lain. Lulus sekolah menengah dan Hidup sedikit keras memang, tapi tetap menyenangkan. Saya tak pernah punya cukup uang untuk membeli barang-barang keinginan saya, tapi saya tak pernah kelaparan. Saya tak bisa bepergian keliling dunia, tapi traveling sekujur pulau jawa bisa terjalani. Saya tak jadi petualang seperti Indiana Jones, tapi hidup saya sama sekali tak membosankan.
Sejak kecil saya memang sulit bergaul dengan orang lain, makanya saya tumbuh sebagai penyendiri. Kesunyian dan kesendirian tidak menakutkan bagi saya, karena memang saya sudah sangat terbiasa dengan kesepian.
Tak heran mimpi-mimpi saya dulu pun semuanya hanya tentang saya yang sendirian.
Saya hidup dan tumbuh, belajar mengkompromikan mimpi saya dengan kenyataan yang ada. Tapi mimpi itu sendiri tak pernah berubah. Saat SMA dan di tahun-tahun awal kuliah, saya menabung semua pendapatan saya. Uang hasil menjadi penterjemah, mengajar les anak SMP, menjadi kenek tembak metromini dan bahkan hasil taruhan permainan catur, semua saya tabung untuk melakukan perjalanan dan petualangan.
Setiap menjelang liburan atau saat saya sudah jenuh sekolah, saya mengambil peta pulau Jawa dan mencoretkan sebuah garis sembarangan menuju sebuah kota besar, biasanya Jogja atau Semarang. Selama beberapa hari kemudian, saya akan sebisa mungkin mengikuti arah yang ditunjukkan garis di peta itu, sampai uang dikantong habis. Itu petualangan versi saya, itu perjalanan yang menyenangkan menurut saya. Sendirian melangkah seenaknya, hanya berbekal buku dan mata terbuka.
Tapi kenyataan hidup segera menyusul saya. Prestasi saya di SMA merosot jauh karena perjalanan-perjalanan itu. Terpaksa saya berusaha lebih keras diawal-awal masa kuliah. Belajar mengejar cita-cita sesuai yang digariskan budaya dan masyarakat.
Belajar supaya bisa bekerja mengejar harta.
Tapi itupun tak bertahan lama. Mimpi saya kembali menggoda, dan terlupalah lagi cita-cita sosial saya. Maka perjalanan-perjalanan kecil pun dimulai. Banten, Purwakarta dan Garut. Mengikuti garis di peta, numpang shalat di semua mesjid yang dilalui, menulis puisi kascangan di setiap kelurahan. Yogyakarta, Solo, Madiun. Nebeng di bak belakang truk, kucing-kucingan dengan kondektur di kereta ekonomi, numpang tidur di pom bensin atau ruang tunggu stasiun.
Hidup terasa penuh dan menyenangkan saat saya punya waktu untuk seharian beradu catur di Cawang, nongkrong bareng tukang-tukang becak perempatan Purwakarta sambil bermain gaple, atau sekedar mencoretkan kata-kata indah sambil menyaksikan puncak Merapi mengepulkan asap.
Sendirian, selalu sendirian.
Waktu itu saya hidup hanya untuk sekarang.
Bukan karena masa lalu ataupun demi masa depan.
Prestasi kuliah saya pun langsung tiarap. Mulai IP Nasakom alias Nilai satu koma, sampai Nolkoma, pernah saya alami. Tapi hidup saat itu terasa penuh arti, jadi mana mau saya pedulikan sekedar nilai. Mana mungkin membiarkan ke khawatiran melambatkan langkah saya.
Tapi sekali lagi kenyataan hidup menabrak saya dengan keras, sampai terjungkal dari kesombongan kanak-kanak saya.
Usia saya beranjak dewasa. Teman-teman saya lebih dulu mencapai sukses mereka dalam standar sosial saat itu. Mereka lulus dan bekerja lebih dulu. Saat itu saya mencoba mengumpulkan segenap kekuatan hati dan determinasi untuk melanjutkan kuliah. Untuk memenuhi keinginan Bapak agar semua anaknya lulus sarjana.
Tapi rasanya berat...
Mimpi-mimpi itu terus membebani hasrat hati saya. Kenangan akan perjalanan dan petualangan seperti mantra yang berulang-ulang terdengar. Mengundang saya kembali hanya peduli pada saat ini.
Untung kekasih saya membantu menyusun kepingan hidup saya.
Mulailah saya mau datang kuliah, menyusun tugas akhir, mengejar ijasah. Lulus, mencari kerja lalu menikah. Hidup saya mulai normal, mulai seperti orang lain yang mengejar cita-cita mereka. Cita-cita dan harapan yang di tentukan oleh keinginan masyarakat.
Kepingan demi kepingan mulai terpasang di puzzle hidup ini.
Mulailah kewajiban-kewajiban dan kebiasaan yang teratur mengisi hari-hari ini. Saya pun mulai menikmati hari dengan cara yang benar-benar berbeda. Berangkat kerja, membayar tagihan, pulang setiap hari. Bermain dengan anak-anak, menyaksikan mereka tumbuh dan menyelesaikan masalah yang selalu terkait dengan orang lain.
Tiba-tiba saya sadar, hidup seperti yang dianggap sempurna oleh masyarakat ini sebenarnya tidak sempurna. Tapi tentunya, memang tak ada satupun yang sempurna di dunia ini.
Saya kehilangan banyak hal yang bisa didapat dengan kehidupan saya yang dulu, tapi sekaligus mendapat banyak hal yang tak terimpikan. Ini hidup yang tak pernah saya impikan, tapi toh saya sangat menikmatinya.
Melihat ke masa lalu, saya mencoba mengingat mimpi-mimpi yang dulu. Warna-warnanya tampak berbeda. Saat mencoba menyalinnya lagi dalam hati ini, saya disadarkan sesuatu. Mimpi-mimpi saya di masa lalu sudah berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Mimpi-mimpi itu menjelma menjadi kenangan, dan saya telah di karuniai mimpi-mimpi yang baru.
Saya punya banyak mimpi yang baru. Saya masih bermimpi keliling dunia, tapi bersama istri dan anak-anak saya. Saya bermimpi memiliki rumah dengan halaman luas, tempat anak-anak saya bisa bermain dan saya bercocok tanam. Saya bermimpi bisa membantu puluhan anak yang kurang beruntung, memberi mereka makanan, pendidikan dan harga diri agar bisa bertarung di dunia yang semakin keras ini. Saya bermimpi tidak pernah pensiun bekerja, agar selalu ada saja karya yang bisa saya berikan pada nusa. Saya bermimpi bisa hidup dengan bijaksana dan mati dengan senyuman bahagia.
Saya punya banyak mimpi baru, dan semuanya tak ada yang sendirian.
Bogor, 20 Oktober 2010
Didit
Suddenly i hear Jason Mraz in my head...
....
I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky we're in love in every way
Lucky to have stayed where we have stayed
Lucky to be coming home someday
......
I’m a brand new man, thank you to my wife and children.
You all gave me a new dream to live for.
No comments:
Post a Comment