18 October 2010

HAMJA NAMANYA

Namanya Hamja, itu saja. Saya curiga nama itu sebetulnya adalah terjemahan bebas lidah orang Sunda untuk nama yang berbau ke Arab-Araban yaitu; Hamzah. Entah ayah ibunya yang tidak mengerti penulisan nama itu dalam bahasa Indonesia, atau ada kesalahan ketik di akte kelahirannya. Hamja bukan orang ternama, dia hanya seorang tukang buah yang saya temui saat naik kereta Jabotabek malam menuju Bogor.

Sebenarnya sudah seringkali saya bertemu, bahkan membeli buah dari dia. Hamja menjual berbagai macam buah, tergantung musimnya. Biasanya dia mengasongnya dalam keranjang anyaman bambu dari gerbong satu ke gerbong lainnya. Biasanya saya hanya mengangguk dan tersenyum padanya, sampai malam itu.
Saya kembali pulang dengan kereta terakhir malam itu. Saya tidak lagi kebagian ekonomi biasa, karena hari sudah terlalu malam. Terpaksa saya membeli tiket kereta ekonomi AC seharga 5.500 rupiah. Sejak beberapa bulan terakhir, kereta sapujagat alias kereta terakhir menuju Bogor memang berubah, dari ekonomi biasa menjadi ekonomi AC.

Kereta terakhir hari itu terasa tidak biasa. Lebih penuh dan sumpek. Saya bergeser menuju ke tengah menuju arah sambungan. Biasanya disana lebih kosong. Saat itu saya melihat Hamja. Ia sedang duduk di pojok, dibawah kaki seorang pekerja yang berdiri. Keberadaannya terasa canggung dan tidak cocok. Hamja hanya mengenakan kaos oblong kotor dan celana hitam. Dikakinya pun hanya sebuah sandal jepit butut, sebuah lagi terselip di pantatnya sebagai alas duduk. Dihadapannya sebuah keranjang buah yang kelihatan masih penuh ditutupi kain sarung lusuh. Kontras sekali dengan mayoritas penumpang AC yang isinya adalah pegawai-pegawai kantoran rapi yang pulang kerja.
Saya juga tak pernah melihat Hamja di kereta ekonomi AC, karena diatas kereta ini berdagang diharamkan. Para pedagang asongan hanya boleh berdagang di kereta ekonomi biasa yang semakin berkurang frekuensi perjalanannya setiap hari. Karena itu seketika saya mengenalinya, dan menegur.

Awalnya saya lupa siapa namanya, maklum hanya kenalan sekilas saja. Untung saja dia tidak keberatan mengingatkan saya. Namanya Hamja, yang menurut saya mungkin lafal sebenarnya adalah Hamzah, seperti nama seorang paman Rasulullah.
Hamzah bin Abdul Muthalib, adalah paman Muhammad SAW yang gagah berani, tak kenal takut, dan nyaris tak terkalahkan dalam pertarungan satu lawan satu. Hamzah selalu ada di barisan paling depan menantang kaum kafir yang mencoba mencelakai Rasulullah. Dengan kecerdasan dan keberaniannya, Hamzah sangat ditakuti lawan. Apalagi Hamzah tak kenal kata menyerah. Ia akan terus menerjang lawan selagi masih bisa berdiri. Saking ditakutinya, Hamzah mendapat julukan keren; Asadullah, alias Singa Allah.

Membuka obrolan saya katakan mau membeli buah yang ia jual; hari itu kebetulan Jeruk mandarin. Hamja tertawa kecil, mengeluarkan sebutir Jeruk dan memberikannya kepada saya. Hamja bilang saya boleh makan gratis, daripada nanti malah bosok dan mubazir. Dia tidak mau menjualnya, katanya saat itu; ”di kereta AC kagak boleh jualan, saya mah taat aturan aja..”

Jeruk itu tak jadi saya makan dan saya masukkan di kantong jaket. Saat itu saya sudah merasa Hamja adalah seorang yang menarik, bukan sekadar penjual asongan biasa.
Saya pun mulai memperhatikannya. Hamja mengaku berumur 40 tahunan, badannya kurus tapi liat. Ototnya bertabrakan dengan urat-urat halus. Tangan yang sudah bekerja melewati takaran.

Ketika saya tanya, sedang apa dia berada di kereta ekonomi AC, Hamja tersenyum. Dengan getir ia bercerita bahwa sejak pagi perjalanan kereta api berantakan. Banyak yang terlambat dan banyak yang dibatalkan. Kebanyakan yang dibatalkan jadwalnya adalah ekonomi biasa. Tentunya itu membuat kesempatan berjualan Hamja juga terganggu. Dari pagi ia baru dapat untung 15 ribu, dan itupun dipotong tiket kereta ekonomi AC terakhir yang dinaikinya. Pembatalan kereta ekonomi biasa membuatnya rugi 3000 rupiah. Saya sempat ingin tersenyum saat ia tampak sangat kesal kehilangan uang 3000 rupiah, sampai kemudian saya sadar penghasilan hariannya rata-rata krang dari 20 ribu rupiah. Seringkali, seperti hari itu, ia mendapat kurang dari lima belas ribu rupiah.

Sejak saya mulai naik kereta tahun 1993, Hamja sudah wara wiri berjualan di kereta ekonomi. Saya masih ingat, dulu ia berjualan dengan keranjang bambu yang diasong dipinggang, tapi sekarang ia sudah mendorong-dorong keranjang plastik yang diberi ’laher mesin sebagai rodanya.

Saat ini umurnya sekitar 45 tahun, tapi anaknya yang tertua baru berusia 11 tahun. Ia memang mengaku telat menikah. - Terlalu asyik hidup di jalanan – katanya.
Menanggung 2 anak yang masih duduk di sekolah dasar, dan seorang istri yang tidak bekerja, Hamja terpaksa hanya bisa mengandalkan penghasilan berjualan buah-buahan yang tidak menentu. Tidak setiap hari ia mendapat pasokan buah. Apalagi seringkali modalnya pun tersedot untuk biaya hidup sehari hari.

Tapi Hamja tidak mengeluh pada saya.
Sesekali senyumannya terlepas diiringi keceriaan yang tak dibuat-buat.
Kelelahan seolah tak mengubah keramahannya mengahadapi gangguan saya yang terus bertanya. Ia hanya terus bercerita dengan nada datar. Tidak ada emosi kesal atau kecewa dalam suaranya, hanya sorot matanya sesekali menyiratkan keheranan, kenapa saya terus mau mendengarkan ceritanya.

Bercakap dengan Hamja, saya benar-benar teringat pada cerita-cerita tentang Hamzah yang saya baca. Hamja yang ini juga pejuang yang tak kalah hebatnya. Kisahnya pun buat saya seperti kisah dongeng yang menarik dan tak bisa ditebak.

Hamja terus berjuang mengarungi hidup yang keras, yang bisa membuat orang-orang penuh semangat menjadi pengeluh yang pesimistis. Tapi Hamja tidak pesimis. Hidup buatnya bukanlah sebuah balapan yang harus dimenangkan dengan adu banyak harta dan adu tinggi jabatan. Hidup memang perjuangan yang sudah selayaknya dijalani dengan hati ringan, apapun nasib yang ditimpakan kepadamu.
Hamja terus berjuang, karena menurutnya itu adalah hal yang wajar.
Padahal kehidupan semakin sulit untuknya...

Perjalanan kereta api ekonomi biasa alias non AC semakin dikurangi oleh PT KAI, digantikan dengan kereta ekonomi AC –yang tidak boleh berjualan di dalamnya- akibatnya semakin sedikit kesempatan orang seperti Hamja untuk berjualan. Banyaknya pedagang asongan menumpuk di kereta ekonomi yang semakin berkurang juga membuat persaingan makin berat. Keuntungan yang dulu bisa mencapai 50 ribu sehari, kini rata-rata hanya sepertiganya. Itupun kalau sedang laku.
Tapi Hamja tidak mengeluh, ia hanya terus berjuang.

Sesampainya di stasiun Cilebut, kami berdua turun. Saya bantu dia menurunkan keranjangnya yang masih dipenuhi Jeruk. Saya minta ia mengambilkan sekantong jeruk untuk dibawa pulang. Wajahnya mendadak diterangi senyuman saat menyambut uang 10 ribu dari saya.
‘ - Alhamdulillah – katanya.

Saya salami tangannya sebelum ia berlalu mendorong keranjang buahnya yang beroda pergi. Saya masukkan se plastik buah itu ke ransel. Dengan sudut mata saya ikuti gerakan Hamja yang perlahan, ternyata dia mampir ke sebuah warung nasi. Kelihatannya membeli lauk untuk dibawa pulang.

Saat menuju kantor stasiun di arah sebaliknya, tangan saya menyentuh jeruk di saku jaket. Sambil terus melangkah saya kupas jeruk kuning keemasan itu. Dalam hati saya membatin; Kalau nama adalah doa, mungkin nama Hamja memang benar-benar doa orang tuanya agar dia setara dengan Hamzah, paman sang Rasulullah. Kelihatannya salah lafal dan ejaan tidak berpengaruh. Hamja benar-benar memiliki keberanian menantang dunia, seperti Hamzah bin Abdul Muthalib, sang singa Allah.

Hamja tak menyerah atau patah menghadapi tekanan dunia.
Saya bandingkan dengan kehidupan saya yang nyaman dan sombong, muncul rasa malu di hati. Dengan hidup yang jauh lebih santai dari Hamja saya masih juga mengeluh dan merengek meminta sesuatu. Benar-benar saya kurang bersyukur.

Malu sekali rasanya..

Jeruk di tangan saya rasanya manis, tapi saat berusaha menelannya sudut-sudut mata saya malah ber air.


Cilebut, September 2010
Didit,

No comments:

Post a Comment