23 December 2009

Bapak

Memandangi anakku -Raditya- tidur, rasanya seperti mundur melewati pusaran waktu. hampir 30 tahun lalu, saya ada di tempat Raditya. mencoba tidur dengan perasaan gundah dan cemas. Bapak juga memeluk saya seperti saya memeluk Raditya. Bapak juga menunggui saya sampai tertidur.

Memandangi anakku, Raditya tertidur banyak sekali pikiran mengalir di kepala saya. berdenyut-denyut sampai terasa nyaris menyakitkan. Saya bertanya-tanya dalam hati, bisakah saya memberikan lingkungan yang cukup baik untuk perkembangannya? bisakah saya menyediakan semua kebutuhannya sampai dia mandiri? bisakah saya menemaninya sampai dewasa? mampukah saya melindunginya dari bahaya dan duka? Apakah kelak saya mampu membuat dia bangga saat dewasa?
Air mata saya menetes saat itu. Mendadak terlintas juga pertanyaan itu, apa kira-kira yang Bapak pikirkan ketika mengawasi saya tidur dulu? Apakah pikiran saya sama yang dipikirkannya dulu?

Bapak bukan orang sembarangan di mata saya. Meskipun saya tidak cukup lama bersamanya, Bapak telah meninggalkan kenangan yang mendalam. Banyak hal yang aku ingat tentang bapak, kebanyakan menyenangkan. Saya ingat, Bapak sering mengajak saya bermain catur, meski tak pernah sekalipun membiarkan saya menang -itu membuat saya tak pernah mudah menyerah. Bapak juga mengajari saya bermain kartu gaple sampai bridge. Pelajaran itu terbukti banyak berguna untuk saya bertahan hidup di dunia saya.

Saya juga ingat bagaimanapun lelahnya Bapak, sepertinya selalu sempat bermain bersama anak-anaknya. entah karambol, bersepeda atau sekedar menonton sepakbola bersama-sama, seperti yang dilakukan di malam Bapak meninggal.
Bapak juga tak pernah kelelahan mendengarkan cerita tentang hari-hari sekolah saya.

Entah bagaimana Bapak melakukannya. Sejak saya berusia 4 tahun, Ibu meninggal dunia karena sakit. Sejak itu praktis Bapak sendirian membesarkan ke empat anaknya. Bapak cuma pegawai negeri, jadi saya bayangkan pasti beliau harus pontang panting cari tambahan. Apalagi Bapak punya keinginan semua anaknya jadi sarjana.
- Alhamdulillah 4 anakmu sudah jadi sarjana, pak... Bapak tidak gagal. Bapak sudah jadi pemenang dan membuat saya bangga.-
Pasti sulit sekali mengatur waktu saat itu. Bekerja dan sekaligus mengurusi anak. toh, Bapak berhasil mendidik dan menyiapkan saya untuk berfungsi di dunia nyata seperti sekarang ini.

Entah bagaimana Bapak melakukannya. Padahal Bapak sendirian. Saat ini mengasuh dua anak dibantu seorang istri tercinta saja saya masih kerepotan. Saya masih tak yakin bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anakku.

Maaf kalau dulu saya sering melawan Bapak, sering menyusahkan dan membuat sedih.
Saya hanya belum mengerti keinginan Bapak. Maafkan saya Bapak.
Terima kasih atas jerih payah Bapak pada kami.
kalau saya bisa tumbuh dewasa dan meniru setengah saja kebaikan mu, Bapak...
saya akan merasa sangat bangga.



didit

dan saya sungguh sungguh berdoa agar anak saya nanti bisa merasa bangga pada saya,
seperti bangga saya pada Bapak.

No comments:

Post a Comment