PENERUS ALAMI REPUBLIK INI
seorang reporter, teman saya mengabari saya sebuah cerita untuk program saya. ini cerita sungguhan dan bukan mengarang. kontak sumber kita adalah seorang guru SD di jakarta utara. dia bilang punya kisah tentang sebuah keluarga yang luar biasa, dan dia tidak bohong. ini kisah mereka yang sempat kami datangi...
keluarga itu tinggal di sebuah gubuk, di jalur hijau jalan tol daerah jakarta utara. ibu bapak, enam anak, dan seorang menantu. semua berdesakan di rumah berukuran 4 X 3 meter. sang bapak tak bekerja, karena cedera kepala yang diperolehnya sebagai korban tabrak lari beberapa tahun lalu. sang ibu bekerja sebagai pembantu, mencuci, menyetrika buat orang sekitar. anak tertuanya dulu bekerja sebagai penjaga toko, tapi setelah menikah malah berhenti kerja. kini ia dan suaminya tinggal bersama-sama ibunya. sehari-hari mereka bertanam singkong dan sayuran di tanah rawa jalur hijau sekitar mereka.
mereka tinggal di gubuk jalan tol itu bukan tanpa alasan. kalau mau tinggal sembarang tempat, mereka pasti memilih tempat lain. untuk mencapai gubuk itu harus melangkahi sebuah empang, tanah rawa dan tembok pembatas jalan tol. tak ada jalan mudah... mereka memilih tinggal di situ karena itu adalah lokasi rumah mereka saat jalan tol belum berdiri. dengan ganti rugi 500 ribu, mereka hanya bisa mengontrak rumah sampai jalan tol itu jadi, setelah itu terlunta-lunta... maka mereka putuskan kembali ke tanah mereka.. sang ibu membanting tulang, nyaris sendirian membiayai dan mengasuh anak-anaknya. tapi dia tetap tersenyum ... tak terlihat penyesalan atau kekecewaan besar di wajahnya.
yang luar biasa lagi adalah anak - anak lainnya. semuanya bersekolah, SMP kelas 1 dan 2, masuk SMEA, dan SMU kelas 2. dua diantaranya sudah bekerja di pasar dan restauran. bantu-bantu sekedar mendapat serupiah dua rupiah. hebatnya semuanya selalu (saya ulangi: SELALU) mendapat rangking 10 besar di kelas sejak SD. bahkan si bungsu yang naik kelas 2 SMP, selalu (saya ulangi: SELALU) rangking 1. anak ini dibiayai guru SD nya yang menghubungi saya..
saya terkejut melihat anak itu tumbuh cerdas, sensitif, jauh melampaui usianya. berkali-kali reaksinya mengejutkan pewawancara. anak-anak ini seperti berlian yang belum terasah. kusam tapi jelas berharga. mereka tak sempat belajar, karena sibuk mencari uang. toh.. bukan alasan tidak berprestasi. sekolah mereka dibiayai sendiri lewat bea siswa-bea siswa yang di urus guru-guru mereka. walau selalu kurang tapi paling tidak mereka bisa terus sekolah.
hati saya teriris, apalagi mengingat keponakan saya yang merengek tak mau sekolah karena tak diberi ongkos jalan dan uang jajan. anak-anak ini rata-rata berjalan 5 kilometer sehari hanya untuk sekolah. kadang mereka tak mendapat makanan dari usahanya, dan saat itu sekeluarga mereka hanya akan makan singkong dan lalap yang ada di kebun sederhana mereka.
dan kata gurunya, makanan itu yang membuat mereka cerdas... ironis.
kalau dengan makan singkong sehari sekali mereka sudah juara, bagaimana kalau gizinya diperhatikan? aku jadi malu teringat beberapa tetangga yang sibuk menyalahkan guru dan sekolah karena anakny tidak bisa melampaui standar nilai kelulusan 4,5 lalu sibuk menjuali emas agar dapat menyogok masuk sekolah favorit.
saya merasa miris.. saya lakukan apa yang saya bisa membantu mereka. tapi tidak cukup. pada keluarga yang tidak mengeluh ini, pada keluarga yang tegar ini, aku merasa tak cukup membantu.
si bungsu menangis saat kami arahkan kamera kepadanya. katanya; tanpa muncul di televisi saja sudah banyak teman-teman menghinanya, bagaimana kalau muncul di TV? katanya dia malu... dan aku terperangah; siapa gerangan yang masih demikian sombong menghinanya? aku terus terang takluk pada cara alam membangun penerusnya, mengasuh orang-orang besar dari kubangan terkecil..
aku kagum pada mereka yang tegar dan mampu menunjukkan diri, tanpa berusaha menjadi sombong..
ah..
No comments:
Post a Comment