PERHIASAN
hari ini aku berjalan di depan mesjid agung bogor (atau mesid raya?) menuju terminal baranangsiang. udara segar dibawah keteduhan pohon-pohon besar yang menaungi setapak itu. tak terasa aku menarik nafas panjang; bersyukur pada kebesaran tuhan. bersyukur atas keindahan yang masih bisa kunikmati. bersyukur atas rasa syukur itu sendiri.
pepohonan hijau nan gagah memang bak hiasan tersendiri bagi kota bogor. keteduhannya bukan hanya dirasakan tubuh, tapi juga mata dan hati. sepanjang jalan yang kuarungi pepohonan seolah menaungi dan menemani. cabang-cabangnya yang artistik menjadi payung yang menyelamatkanku dari terik mentari. daunnya yang bergerak seiring semilir angin seolah mengipasi lelahku. aku teringat lagi kenapa memilih tinggal di bogor, padahal aku bekerja di jakarta. jika jakarta adalah sesosok tubuh, bogor adalah mahkota bagi kenyamanan hidup.
beberapa puluh langkah kususuri jalan itu, tampak deretan pengemis yang membuatku merasa tak nyaman. jumlahnya bukan hanya satu. sepanjang jalan yang diteduhi pohon itu berderet 6 sampai 8 pengemis. mulai dari ibu-ibu tua, ibu membawa anak kecil, orang cacat, sampai sekedar orang tiduran dengan keropak di tangan. aku coba mengabaikan mereka, tapi baru melewati 2 orang hatiku sudah trenyuh. aku sodorkan sedikit uang receh pada pengemis berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya... sampai pengemis keenam uang di tanganku habis. tak ada uang kecuali ongkos bertahan hidup anak istri. terpaksa kuhela nafas sambil berusaha menghindari pandangan memelas pengemis berikutnya. ia menggendong seorang anak kecil, sementara seorang lainnya tertidur di depannya. kupersepat langkahku saat mata itu mengikutiku.
rasa tak nyaman tidak juga hilang, walau ditingkahi angin sepoi-sepoi dari kerimbunan pohon raksasa di kanan kiriku. mungkin harus kuterima, ini wajah kotaku. bogor yang dipercantik dengan hijaunya jamrud katulistiwa; ternyata punya perhiasan lain.
para pengemis itulah perhiasan yang saat ini menguasai wajah kotaku. hampir setiap sudut bogor dipenuhi mereka, orang yang mencari sesuap nasi dengan iba hati orang lain. di pinggir-pinggir jalan, di tangga-tangga penyeberangan, di bus-bus antar kota. mereka bertebaran bak berlian yang menghiasi mahkota sang putri.
bak sisi mata uang, keberadaan mereka di tengah kesejukkan kota yang sangat ramah pada penduduknya, terus menunjukkan masalah yang sesungguhnya harus diselesaikan; agar di kemudian hari, keteduhan pepohonan yang melingkari bogor juga menghadirkan keteduhan di hati penghuninya.
No comments:
Post a Comment