30 April 2004

JAKARTA SUDAH TUA

kearah manakah engkau akan membawaku?

pertanyaan itu melintas dipikiranku, saat menghilir di gatot subroto dengan angkutan kota raksasa yang sudah renta. bus buatan jerman itu, pada masanya mungkin sebuah mobil bergengsi. kini mercedes tua itu tertatih-tatih menyusuri jalanan kota. di ganduli puluhan orang di pintunya membuat bus itu miring kekiri. mengerikan juga, melihat bus yang seperti akan terbalik setiap membentur lubang di jalanan. lajunya tersendat-sendat, sementara sang supir disebelahku berusaha menjaga stir tetap lurus. walau begitu tak sedikitpun orang-orang yang bergelantungan di pintu bus ambil pusing. mereka terlalu biasa dengan keadaan ini. beberapa tampak menerawang, pikiran mereka mengembara sementara tubuh mereka tersangkut di pintu bus yang sudah penuh sesak.

"slipi siap-siap, awas kaki.." kodektur mengetok kaca bus kera-keras dengan sepotong uang timah. penumpang akan turun. bus menepi perlahan dengan bantuan lambaian tangan sang kondektur sebagai lampu sein cadangan.

di wisma BCA, bus itu berhenti cukup lama. supir di sebelahku, mati-matian mendorong tongkat persneling. berkali-kali ia gagal. mesin meraung keras. akhirnya dengan satu sentakan bus tua itu melaju perlahan. aku yang berdiri di sebelah supir menghela nafas. dari belakangku dorongan penumpang yang terombang-ambing goncangan bus, menekanku. mercedes raksasa buatan tahun 60 an itu penuh sesak orang yang bergelantungan. aku terjepit diantara mereka. beruntung aku cukup tinggi, sehingga bisa menghirup udara dan tidak terpaksa mencium bacinnya ketiak. walau begitu, akupun kesulitan melihat ke depan. terpaksa aku hanya mengandalkan teriakan sang kondektur untuk mengetahui tempatku berada. repotnya, teriakan itunyaris sepenuhnya tertutup suara cempreng kecrekan tutup botol dan suara bergumam pengamen cilik dalam bus itu.

dua pertiga lebih warga kota jakarta memakai angkutan umum seperti ini, sisanya naik taksi, dan mobil pribadi. kubayangkan jutaan warga jakarta yang berhimpitan di ratusan bis besar seperti yang kunaiki. aku tersenyum kecil. ironis juga, pikirku, di luar sana jumlah bis besar dan kecil, paling banyak hanya sepertiga jumlah mobil pribadi. padahal mereka bertanggungjawab pada transportasi lebih dari separuh warga kota. dan mereka selalu dituduh jadi biang kemacetan... ironis. kebisingan suara bus menenggelamkan lamunanku.

senyumku baru hilang ketika seorang anak yang menyodorkan kantong bekas permen kosong menyeruak dibawah ketiakku. ia menyodorkan kantongnya. sang pengamen telah berhenti bergumam.
"bagi uang om" katanya.
anak itu paling tua baru delapan tahun. tubuhnya kecil. matanya yang bulat besar tidak bening seperti mata anakku. kerasnya hidup sudah menggores dalam tatapannya. kulitnya kotor dan buram, tapi dengan penuh kepercayaan diri sambil setengah memaksa ia menggoyangkan kantongnya. aku merasa tersentuh dan merogoh kantongku. sebelum sempat mengeluarkan uang, pikiranku berubah. melihatnya menyedot ingus, dan mendadak merasa tak rela kalau uang dariku nanti akan diserahkannya pada boss nya, paling-paling ia hanya terima seperempat dari perolehannya mengamen.
pengamen cilik itu kembali menepuk pinggangku dengan kantongnya. bukannya memberikan uang, tanganku yang keluar dari kantong malah memberi tanda 'tidak' padanya.

makian sempat terlontar sebelum pengamen itu mengalihkan perhatian pada orang berikutnya. mendadak seluruh penumpang bis terperosok kedepan. kelembaman kami muncul saat bus itu berhenti mendadak. bus mini didepan bus kami mendadak memotong jalur, lalu berhenti mendadak setelah menabrak selokan. beberapa orang melompat keluar. kemudian terjadi keributan. hampir seluruh penumpang bus mini itu turun, memukuli 2 orang yang diseret keluar. seorang berambut cepak berdiri memperhatikan. mendadak seperti gangguan listrik, terdengar kasak kusuk penumpang di bus ku.
"ada apa, pak?"
"copet..!"
"copet?"
"salah sih..nyopet kok, polisi.."
"apes kali.."
"habis dah, tu.."
belasan penumpang turun dari bus yang kutumpangi. suasana jadi agak longgar. kulihat mereka mendatangi tempat kedua orang yang dipukuli. bus kecil di depan mulai bergerak meninggalkan kerumunan itu. beberapa orang bergegas naik. tapi lebih banyak yang tetap ditempatnya. dua orang itu dipukuli, ditendangi, di jambaki. baju mereka entah bagaimana telah terlepas. polisi preman itu masih hanya memperhatikan. orang-orang yang berkerumun bak binatang buas. tak berhenti mengeroyok, bak punya dendam kesumat. mengerikan.... semua dendam, kekecewaaan mereka, dan kebencian seperti dicoba untuk ditumpahkan.
"terus aja, pir... jadi masalah nanti" sang kondektur melompat kepintu. bus tumpanganku mulai bergerak perlahan. kali ini cukup banyak yang kembali naik. kabin bus kembali sesak mampat.
"ada apa tadi, bang?"
"copet,..biar mampus!"
"berapa?"
"dua ya"
orang-orang yang baru masuk diinterogasi beberapa ibu-ibu dengan antusias. barangkali untuk bekal bergosip dengan kawan-kawannya. beberapa orang lainnya tetap tak ambil peduli, lalu kami mulai menikmati kembali perjalanan bus yang penuh sesak. aku mengubah pandangan ke arah belakang. asap hitam mengepul dari knalpot bus, menutupi sedan-sedan mewah yang terjebak di belakangnya. asap juga memenuhi kabin sebuah mikrolet dan membuat penumpang di sebelah supir terbatuk-batuk. tapi tak ada komplain. di kota besar, semua serba tak pedulian, cuek. ini memang jakarta, bung. asap dan jelaga hanya sebuah hiasan jalan di kota metropolitan yang tak ramah ini.

bus kembali terhenti. beberapa orang naik, tapi salah satu diantaranya menyita perhatianku. wanita. tentu saja... cantik. pasti. ia mendesak naik masuk kedalam bus yang penuh sesak. berhenti di sebelahku. parfumnya yang lembut menyapaku. jarak dan pengapnya bus menguap begitu saja. aku baru ingat kenapa aku sangat senang naik kendaraan umum ini. saat itu kusadari mudahnya manusia beralih pikiran dan perasaannya. dari marah dan tertekan, kini aku malah melamun melihat pinggang ramping itu. ha..ha.. anganku kembali melayang, sampai indraku kembali menangkap suasana sekitar. tampaknya tujuanku sudah terlewati. sambil merutuki nasib, aku menerobos desakan penumpang lain. mengetok-ketok atap bis dan berteriak. tapi teriakanku tenggelam dalam gemeretak suara mesin mercedes tua itu. bus terus berjalan.

ah, bus kota tua..kemanakah kami akan kaubawa?

No comments:

Post a Comment