16 March 2004

KEBAHAGIAAN

kebahagiaan itu ternyata sederhana saja. tadi pagi aku berangkat untuk bekerja dengan tubuh penat. semalaman aku tidak bisa tidur, penuh pikiran dan rasa kecewa. aku merasa tidak bahagia. awalnya aku berpikir betapa sulit hidup aku, penuh dengan kekecewaan dan kesulitan. begitu banyak masalah dan sangat sedikit lubang peluang untuk menyelesaikannya.
sore itu, istriku mengingatkan betapa banyak cicilan yang harus dilunasi. kerepotannya sudah terbayangkan. bayar rumah di bank ini, bayar motor di bank itu, bayar kredit di bank yang lain. mendadak hidupku penuh tanggungjawab dan kewajiban. ini bukan hidup yang kubayangkan.
kemudian mertuaku juga menelponku, ia mengingatkan untuk hadir dalam pesta keluarga, padahal hari itu aku seharusnya bermain sepak bola dengan teman-teman akrabku, salah satu hobi terbesarku yang sudah setahun tak kulakukan. padahal lagi rencanaku sudah ku rancang sebulan sebelumnya. aku tak punya semangat untuk berdebat lagi.

saat aku hendak merebahkan diri, istriku kembali menegurku. mengingatkanku untuk mengunci pintu, memastikan jendela tergembok, dan mematikan lampu-lampu yang tak perlu. sambil melakukan tugas harianku itu aku berpikir, besok pagi aku masih harus membuang sampah, menyetrika, berangkat kekantor dan mungkin menyelesaikan tugas yang masih tersisa hari sebelumnya. tentunya sebelum jam kerja.malam itu aku baru tidur larut malam.

pagi-pagi sekali aku bangun dengan lelah. untuk ke kantor aku harus naik kereta jabotabek yang penuh dan padat. bergelantungan sambil sesekali menahan nafas karena bau keringat seseorang. aku merasa semakin pepat.
di depok lama kereta mencapai puncak kepadatannya. penumpang yang akan masuk mendorong sekuatnya, tak peduli penumpang di dalam hanya berdiri sebelah kaki atau tersuruk ke ketiak orang yang lebih tinggi.aku mencoba bertahan mendekati pintu, tapi badanku seperti menolak untuk berjuang. aku terseret gelombang manusia yang naik sampai ke tengah-tengah kereta. terjepit diantara seorang ibu-ibu gemuk yang terus mendesak mendekati kursi dan remaja yang kelihatannya pertumbuhannya hanya keatas. aku hanya setinggi bahunya.
saat aku memandang keluar, mobil-mobil mewah berseliweran memancing cemburuku. kulihat didalamnya anak-anak muda berumur nyaris separuh umurku duduk santai. kulit mereka terawat baik. postur mereka bagus tanda gizi yang cukup. mereka tampak tampan dan cantik, karena kulitnya terawat baik tak tersentuh keringat dan ultra violet. mungkin juga rambut warna-warni itu dirawat seminggu sekali. aku cemburu.

saat aku hampir memutuskan bahwa dunia tak adil, terdengar suara tawa dibelakangku. para pekerja yang setiap hari berangkat ke tempat kerjanya naik angkutan rakyat bobrok yang dinamakan kereta api itu, ternyata tengah bermain kartu. entah apa yang mereka mainkan. hanya saja aku terhanyut pada suara tawa mereka. terdengar tulus dan lepas. walau hanya empat orang yang memegang kartu, delapan teman lainnya ikut menonton dan berkomentar. sesekali ucapan lucu atau porno meluncur dari salah satu mulut mereka, dan yang lainnya tertawa. mereka kelihatan bahagia. mereka orang-orang yang menarik.


di kantor kepalaku dipenuhi dengan kebahagiaan mereka. pekerjaanku nyaris terbengkalai. aku terpesona pada orang-orang kecil yang kutemui. mereka punya banyak kebahagiaan, tak kalah dari mereka yang bergelimang harta. pulangnya sengaja aku naik kereta, dan tidak menunggu mobil hantaran. diatas kereta aku mulai mencari.

dimana-mana aku melihat orang bahagia. sebagian tersenyum, sebagian tertawa terbahak, dan banyak yang hanya diam saja. beberapa diantara mereka tahu mereka bahagia, sementara lainnya belum sadar bahwa dari wajah-wajah mereka terpancar cahaya kebahagiaan. aku lihat kebahagiaan di sekujur tubuh sekelompok pemuda yang bajunya tertutup lumpur. muka mereka bercahaya sementara mereka membicarakan pertandingan sepakbola yang baru selesai mereka lakukan. disudut kulihat sepasang kekasih, yang sibuk berbincang sambil berpegangan tangan. didepan mereka seorang pekerja memperhatikan para pemain kartu yang menggelar kardus dilantai. ia ikut mengutak-utik kartu ditangan pemain disebelahnya. ikut menebak apa langkah selanjutnya. di sudut yang lain sekelompok mahasiswa asyik bercanda ria. sesekali tawa bernas mereka keluarkan. mereka tampak bahagia. sebagian hanya senang tapi sisanya menjiwai peran mereka. mereka tampak bahagia.

dan didekat pintu, bersandar di tempat duduk sisi, seorang bapak setengah baya menggendong putranya yang masih balita. disisinya sang ibu bermain cilukba dengannya. mereka tak kebagian duduk. mereka berdiri mungkin dari stasiun kota, mungkin hingga stasiun bogor. sang ayah jelas-jelas baru pulang bekerja dan tampak lelah, sementara sang ibu membawa sekantong kecil belanjaan. mereka semua tersenyum. kebahagiaan mereka terpancar menyilaukan aku.

aku mendadak ingat pada raditya, anakku yang ditinggal sendirian dirumah. ayah ibunya harus bekerja dan memasrahkannya pada seorang penjaga. setiap hari ia ditinggal saat belum terbangun, dan baru bertemu saat hendak tidur, tapi ia selalu berlari menyambut ayah ibunya dengan tawa yang paling ramah. kegembiraan paling tulus. aku jadi teringat istriku yang selalu memahamiku, dan mengingatkanku. aku ingat bagaimana dia merawatku saat aku sakit, dan menopangku saat aku kehilangan arah.

ya Allah, aku terlalu sibuk mengeluh. terlalu sibuk meminta. sampai-sampai tak sempat menikmati kebahagiaan yang dianugerahkan padaku. aku ingin segera pulang dan memeluk raditya dan istriku tercinta.

No comments:

Post a Comment