30 September 2015

fiksikota #28

Jamal terus menggerutu di dalam mobilnya, sementara Naila sang istri memegang tangannya berusaha menenangkan. Jalanan kota masih padat seperti biasa. Jarak hanya 30 kilometer terpaksa ditembuh dalam waktu nyaris 1 jam. Wajar saja kalau Jamal terus menerus kesal. Mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Naila.
Tiba-tiba terdengar jeritan klakson ditekan keras keras. Melalui kaca spion, Jamal melihat sebuah sedan mewah berjalan nyaris zigzag, mencari cari celah kosong. Klakson ditekan terus menerus.
“brengsek sekali orang itu… nggak sopan.. dia pikïr jalan ini punya nenek moyangnya apa? Dasar sombong..
“sabar, mas..”Naila menyentuh tangan suaminya.
“Orang kayak gitu ngeselin banget… sombong mentang-mentang mobilnya bagus, dia pikir semua harus minggir kalau dia lewat… mobil mahal kelakuannya murahan..”
Suara klakson masih terdengar, sekarang malah semakin banyak. Beberapa orang yang kesal dengan kelakuan sedan berkaca gelap itu ikut menekan klakson. Sedan itu tampak tak peduli dan terus mencari celah menuju ke kanan. Akhirnya masuk ke jalur bus transjakarta.
“tuh kan, emang nggak ada otaknya tuh orang.. egois. Mentang mentang kaya peraturan di langgar semua… dasar sakit jiwa”
“sabar mas.. mungkin dia terburu-buru..”
“Ma, kita semua ini terburu buru kok.. semua mau segera sampai… dia aja yang sok penting… nggak menghargai hak orang lain…”
“Ïnget Pa, jangan berprasangka buruk… “
“Ini sih udah bukan prasangka.. orang ada buktinya kok..”
Sedan mewah itu melintas melewati mobil Jamal yang terjebak macet. Jamal membuka jendela dan meneriakinya..
“sabar, mas… “
“orang gila itu… brengsek. Dia pikir Cuma dia yang terburu-buru?” Jamal menutup kembali jendelanya. “begitu itu mental orang sini… baru kaya dikit belagu. Semua hak orang dilanggar… peraturan dilanggar… apa aja dilanggar…”
“sudahlah mas… jangan berprasangka buruk. ”
Lampu hijau menyala, dalam hitungan menit antrian di depan mobil Jamal bergerak maju. Perlahan. Menjelang sampai di perempatan, lampu sudah menyala kuning. Jamal menekan klakson dan memaksa maju terus mengikuti mobil di depannya yang juga menerobos lampu merah.
“gawat kalau kena merah.. bisa lama lagi..” kata Jamal sambal tersenyum lebar, Naila menggelengkan kepala.
Lewat sedikit dari perempatan, Jamal melihat mobil sedan mewah yang tadi. Masih di jalur busway, sedan itu berhenti, di depannya sebuah mobil polisi berhenti. Dua polisi tampak berbicara pada pemilik mobil yang kaca gelapnya terbuka.
“hahaha… mampus lah dia… sok-sok an sih… ketangkep polisi lah ..” Jamal tertawa lebar. Naila memegang tangannya lembut.
“hush.. mas, jangan gembira lihat kemalangan orang…”
“biar ajalah.. dia nyerobot hak orang juga santai aja kok…”
“jangan berprasangka, mas..”
“ emang keliatan … orang kayak gitu sih nggak ada baik-baiknya..”
Naila diam saja, matanya memandang kedepan sambal tangannya mengelus perutnya.
Lalulintas masih berjalan lambat. Tinggal satu belokan saja, rumah sakit yang dituju akan terlihat. Jamal mulai menggerutu lagi. Mendadak suara sirine mengalun di belakangnya. Sebuah mobil polisi mendadak muncul dengan lampu yang menyala terang. Mobil mobil pun terpaksa menggeser ke sisi. Jamal pun semakin bersungut-sungut. Ia menggeser hingga mepet ke mobil di sebelah kirinya, memberi jalan pada mobil polisi itu.
“sial..lagi lagi ada orang kaya dikawal… siapa yg dikawal sih? Anggota DPR atau menteri lagi… haaah.” Saat mobil polisi itu melewatinya, sumpah serapah mengalir dari mulut Jamal. Di belakang mobil polisi itu, sedan berkaca hitam itu menempel. Dikawal oleh polisi, sedan itu sekali lagi melewatinya.
Naila sampai perlu menyanyi kecil agar tak perlu mendengar Jamal marah.
Dua puluh menit kemudian mobil mereka membelok masuk ke rumah sakit. Tepat di depan gerbang ICCU, sedan mewah tadi parkir agak melintang, mengambil sekaligus dua tempat parkir yang seharusnya bisa digunakan mobil lain. Di Sebelah kiri mobil itu terparkir rapi sebuah mobil patroli polisi.
“ini orang emang bener bener seenaknya… nggak takut Tuhan apa dia? Hak orang dilanggar seenaknya?... coba bayangin kalau ada ambulan yang mau lewat… dasar sewenang wenang.”
Jamal masih mendapat parkir tak jauh dari pintu samping rumah sakit, hari ini memang tak terlalu penuh. Ia pun mengantar sang istri masuk ke rumah sakit. Jamal dengan kasih sayang menuntun istrinya melewati tangga yang cukup tinggi sebelum masuk ke gerbang rumah sakit. Tiba-tiba Jamal berhenti.
“eh.. Ma, sepertinya kaca belakang lupa aku naikan. Mama duluan saja ya..”
“iya, mas.. ketemu di depan ruang periksa ya..”
“oke ma.. sebentar ya..”Jamal pun segera berlari ke mobilnya, sementara Naila melanjutkan perjalanan masuk ke gedung Rumah Sakit itu.
Beberapa menit kemudian, Jamal melangkah masuk gerbang Rumah Sakit itu. Di depan counter pendaftaran ia melihat dua polisi berseragam. –ini pasti polisi yang mengantarkan si songong itu - pikirnya. Sengaja Jamal berlama lama mendengarkan percakapan kedua polisi itu, dalam hati ia ingin tahu; dibayar berapa sih mereka itu… tapi yang didengarnya berbeda sekali dengan apa yang diharapkan.
“Untung sempat ya..”
“iya, kata dokter tadi, telat beberapa menit aja “lewat”dah itu ibu sama anak..”
“Ïya. Tapi orang itu keren ya… mau repot repot bantuin orang ketabrak..”
“iya juga… itu sampai gendong-gendong anaknya yang luka parah..”
“mobil mewahnya juga penuh darah itu…. Kalo orang laen boro boro mau angkut… nggak kenal lagi..”
Jamal merasa perutnya bergejolak. Ingin tahu, ia bergerak mendekati kedua polisi itu.
“itu tadi dia bener-bener nggak kenal ya?”
“Kata orang yang ikut dia sih gitu… ibu sama anak itu korban tabrak lari… dibiarin aja tergeletak di pinggir jalan.”polisi yang lebih muda meneguk air putih dari dispenser. “ bapak itu tahu-tahu berhenti… mengangkat sendiri anaknya yang berlumuran darah ke mobilnya, lalu ngebut kesini..”
“tadi gue liat juga, dia bayarin jaminannya…supaya si anak dapat kamar”
Jamal tercekat. Tak sadar ia berbicara terlalu lantang.
“Ïtu yang punya sedan mewah itu, pak?”
Kedua polisi itu memandangnya heran. Hanya sebentar, lalu polisi yang lebih muda tersenyum.
“Ïya pak.. benar..”
örang baik itu... masih muda, kaya tapi rendah hati."
Jamal merasa ada kupu-kupu beterbangan di perutnya. Tenggorokannya terasa gatal. Ia lalu bergegas menuju ke lift, menekan tombolnya dan berdiri gelisah. Jamal merasa dua polisi itu menatapnya heran. Entah perasaannya saja, atau memang demikian.
Saat lift terbuka, seorang anak muda berwajah cerah muncul. Senyumnya lebar. Ia mengangguk ramah pada Jamal. Walau pekaiannya rapi, tapi bajunya bernoda darah. Begitu melihat dua polisi itu ia melambai..
“pak, si anak sudah selamat…”teriakannya begitu gembira. Sebelum Jamal melangkah masuk ke dalam lift, ia sempat melihat kedua polisi itu menyalami sang pemuda dengan hangat. – ternyata dia bukan orang brengsek seperti yang kusangka – Jamal membatin. Ia sangat malu dan menyesal.
Saat ia memutuskan untuk menemui pemuda itu untuk minta maaf, pintu lift terlanjur tertutup.
“halo, mas.. kok lama bener? Udah ditutup semua jendela mobilnya?... lo kok mukanya begitu?” Naila menyambutnya saat Jamal keluar lift. “loh.. kenapa pa? apa masih inget sama orang brengsek itu?... sudahlah pa, nggak usah berprasangka gitu lah..”
Naila menggandeng Jamal yang malah merasa benar benar tidak enak.
ia teringat keempat ban sedan mewah milik pemuda itu, yang ia kempeskan.. Jamal merasa ia benar benar brengsek.
#microstory ‪#‎fiksikota‬

No comments:

Post a Comment