05 September 2014

fiksikota #15



1 Mei.
Ratusan ribu buruh turun kejalan, memprotes apapun yang bisa diprotes. Satu hari ini pemimpin perusahaan harus mendengarkan.

Wati ikut dalam rombongan pendemo. digendongannya sikecil meringkuk tertidur, tidak terganggu korlap yang menjeritkan slogan dan jargon berulang ulang. Bus mereka meluncur santai dijalur busway, sementara kendaraan lain harus menikmati kemacetan. Seorang kamerawan yang ikut dalam bus mereka sibuk mengambil gambar. Reporternya menanyai semua yang bersedia diwawancara. Salah satunya Wati.

"ibu, kenapa ikut demo?"
"kan saya buruh... hari ini buruh berjuang.."
"berjuang bagaimana, bu?"
"ya.. minta kenaikan gaji gitu.."
"naik gaji harus dengan demo ya?"
"iya... gitu katanya mas korlap itu.. kalau kita tidak demo, nanti gaji nggak dinaikkan.."
"oh.. begitu ya"
"katanya begitu mbak..."
Wati memandangi reporter itu dengan kagum. Cantik terawat, badannya juga harum. Padahal.ditengah kemacetan dan kerumunan dalam bus yang penuh. Wati ingin seperti dia.

"kenapa bawa anak, bu?" wawancara berlanjut.
"yah dirumah nggak ada yg jaga"
"oh... iya juga ya.. terus kenapa ibu maksain ikut demo? memang ini demo tuntutannya apa saja sih,bu?"
"wah, nggak tau deh... ibu pokoknya diajak demo buat minta kenaikan gaji lagi... biar gede gajinya.. biar bisa beliin rumah dan sekolahin sikecil... pokoknya ngikuut dah... ngeramein."

Mendadak bus dihentikan. Puluhan buruh muda turun dan mengejar sebuah truk bertuliskan merk industri manufaktur di Tangerang. Mereka berteriak dan mulai merusak truk itu. Sang supir dimarahi karena tak ikut demo dan mogok. beberapa bogem mentah mendarat diwajah dan tubuhnya.
Sebagian kain dan bahan produksi yang diangkut dikeluarkan dan dibakar. jalanan pun berteriak lewat klakson mobil mobil pribadi dalam kemacetan yang makin panjang.

Wati ingin berteriak, tapi tubuhnya melemas. diujung jalan sana, ditrotoar samping truk yang rusak, suaminya meringkuk penuh luka. Tadi pagi ia pamit pada Wati untuk membawa truk bahan baku ke pelabuhan. Ia diancam dipecat jika menolak. airmata Wati menetes -suaminya juga cuma buruh yg mengikuti perintah.

disebelahnya, Ani, seorang buruh harian mengeluh dalam hati. Bahan dalam truk itu harusnya tiba di pabrik tempat kerjanya hari ini, agar besok bisa dikerjakan. Kalau tak ada bahan itu, tak ada pekerjaan.
Dan kalau tak ada pekerjaan, entah bagaimana anak anaknya bisa makan...

#fiksikota #microstory

No comments:

Post a Comment