Beberapa hari ini saya kembali merenung karena
tulisan seorang guru saya. Dia yang saya sebut guru ini melalui
tulisan-tulisannya yang sederhana dan bermakna dalam memang selalu membuat saya
tertegun dan melakukan perenungan. koreksi diri istilah kerennya.
Tulisan yang membuat saya tertegun kali ini
adalah ocehan di social media tentang
melakukan ‘dosa besar’ saat menjadi jurnalis. Tulisannya sontak
mengingatkan saya pada sebuah buku karya bang Pepih Nugraha tentang Citizen Journalism. Ada bab dalam buku itu yang menyinggung khusus
tentang tujuh dosa besar dalam jurnalisme[i]
yang sering dilakukan, baik disadari maupun tidak, oleh seorang jurnalis. Saat
saya melakukan browsing di Internet, ternyata sangat banyak ‘dosa’ itu
dilakukan oleh para peselancar di dunia maya. Tidak hanya oleh para ‘citizen
journalist’, tapi juga para jurnalis resmi dari institusi media resmi. Saya bahkan mendapat kesan, mereka menulis
tanpa mempertimbangkan tata sopan santun berinternet[ii] .
“Dosa-dosa”
itu adalah:
1. penyimpangan informasi2. dramatisasi fakta3. serangan privasi4. pembunuhan karakter5. eksploitasi seks6. meracuni pikiran anak7. penyalahgunaan kekuasaan
saya ingin merinci sedikit dosa-dosa besar
yang berbahaya ini. Mudah mudahan dapat berguna bagi kita semua, mengingatkan
agar lebih bijaksana saat ingin menjadi jurnalis.
- Penyimpangan Informasi
Kalau pewarta warga (citizen journalist)
memasukan banyak opini dan informasi yang belum terverifikasi dalam tulisannya,
tentu masih dapat dimaklumi, tapi jika media profesional dengan institusi resmi
juga memasukkan informasi yang belum jelas, tentu itu bukan masalah sepele.
Alkisah sebuah media online memberitakan tentang seorang buruh pabrik bernama
Saih menemukan satu tas uang berisi 435 juta rupiah. Alih alih mengambilnya, ia
malah mengembalikan kepada orang yang berhak; seorang bendahara yang
menjatuhkan uang gaji karyawan perusahaan yang baru diambilnya. Cerita berakhir happy ending, Saih diberi
sepuluh juta dan sang bendahara selamat dari pemecatan.
Tentunya berita tersebut menarik perhatian
banyak orang. Di zaman edan seperti ini,
saat sang wakil rakyat hobi menghambur
hambur uang yang diwakili, saat petugas malah memeras para pembayar pajak, dan
nyaris semua hal memerlukan upeti demi kelancaran; kejujuran terasa lebih berkilau
dari emas. Wajar kalau berita tersebut menyentuh hati banyak orang.
Sayangnya berita itu ternyata tidak seluruhnya
benar.
Ada banyak versi yang beredar dari media
online itu. Versi yang kemudian dikutip banyak anggota forum sosial di internet
(diantaranya bahkan forum kompas dan kaskus)
yang berpikir sederhana, bahwa kalau sebuah berita muncul di media massa
resmi pasti sudah terverifikasi kebenarannya.
Ceritanya makin simpang siur. Bahkan diantara
sesama media online pun berbeda. Seorang
jurnalis televisi pun penasaran dan mencoba menelusuri cerita sebenarnya.
Segera setelah selesai ia memberi tahu saya, bahwa cerita yang sesungguhnya
berbeda. Saih, sang buruh memang benar-benar jujur mengembalikan tas yang
ditemukannya. Penerimanya juga bendahara sebuah pabrik. Itu benar. Tapi yang lainnya seperti
mengarang indah.
Sebenarnya tas yang ditemukan Saih tidak
berisi ratusan juta seperti kabarnya, tapi hanya berisi 900 ribu uang milik
sang bendahara. Sisanya adalah slip gaji karyawan yang memang totalnya
mencantumkan 400an juta. Saih hanya
menerima uang jasa sekadarnya dari sang bendahara, bukan 10 juta rupiah. Intinya, berita awal
disebuah media massa online itu menyimpangkan informasi demi sesuatu; entah
dramatisasi, atau pemanjaan khayalan romantis sang reporter.
Menyakitkan buat saya yang juga sempat menjadi
jurnalis, karena ini adalah institusi/media massa resmi yang membuat kesalahan
ini. Dulu saya dicekoki bahwa menurut Joseph Pulitzer salah satu ‘bapak’ jurnalisme dunia, yang terpenting dalam jurnalisme ada tiga hal. Yaitu: Akurasi,
Akurasi dan Akurasi..
Penyimpangan informasi ini sangat mungkin
terjadi, mungkin dalam rangka mencari dramatisasi suatu kejadian, mempertegas
kesalahan salah satu pihak atau bahkan supaya menarik perhatian dan bisa
ditayangkan oleh sang editor. Kesalahan ini sering dialami, dan tidak disadari
oleh para jurnalis. Padahal tanpa membelokkan informasi pun, seringkali kekeliruan
terjadi. Misalnya, kalau anda membaca
tulisan saya dan tidak familiar dengan berita itu, maka mungkin sekali anda
akan menyangka bendahara yang saya sebut diatas adalah seorang pria. .. dan
saya tidak berniat menyimpangkan informasi apapun.
Beberapa link yang saya bahas diatas
ada dibawah ini:
2. dramatisasi fakta
Drama memang menarik perhatian. Baik di media
tulisan ataupun (apalagi!) di media audio visual. Hal itu menyebabkan banyak
orang (baca: jurnalis) berusaha mencari unsur drama dalam beritanya. Tentunya
hal itu tidak dilarang, karena dalam nilai berita yang diajarkan di kampus-kampus
pada para calon dosen dan jurnalis muda juga selalu ada nilai Human Interest
dan Drama. Kalau ada sebuah peristiwa yang punya nilai dramatis tinggi berarti
memang nilai beritanya akan ikut melonjak, Itu bukan masalah, yang jadi masalah
adalah saat orang berusaha menambahi drama pada sebuah berita yang
fakta-faktanya sendiri kurang jelas.
Contoh paling nyata adalah berita bunuh diri,
di koran atau di televisi sering ada tulisan atau narasi yang berlebihan
mendramatisasikan peristiwa bunuh diri itu. Misalnya dalam tulisan di sebuah
media online ini.
PEKANBARU-
Tim SAR berhasil mengevakuasi jenazah Ahmad Afandi (25) di tepian Sungai Siak,
Pekanbaru, Riau. Korban diduga bunuh diri dengan terjun ke sungai karena
frustasi tidak bisa melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2).
Penemuan jenazah pemuda yang baru lulus sarjana oleh tim SAR itu dibantu masyarakat sekira pukul 10.00 WIB. Jenazah ditemukan di dekat jembatan Siak III Pekanbaru atau sekira 3 kilometer dari lokasi terjunnya Afandi di Sungai terdalam di Indonesia itu.
"Korban ditemukan oleh warga tersangkut kapal dengan posisi telungkup," kata Kapolsek Sektor Kawasan Pelabuhan Pekanbaru, AKP Hermawi, Rabu (6/3/2013) di lokasi.
Kapolsek mengatakan bahwa korban terjun ke Sungai Siak pada Minggu, 3 Maret 2013 sekira pukul 20.00 WIB.
Setelah ditemukan, tim SAR bersama pihak Kepolisian langsung mengevakuasi korban. Selanjutkan korban dibawa ke rumah duka di Perumahan Putri Tujuh,Panam Pekanbaru.
"Motif sesungguhnya mengapa korban nekat terjun masih kita selidiki," imbuhnya.
Penemuan jenazah pemuda yang baru lulus sarjana oleh tim SAR itu dibantu masyarakat sekira pukul 10.00 WIB. Jenazah ditemukan di dekat jembatan Siak III Pekanbaru atau sekira 3 kilometer dari lokasi terjunnya Afandi di Sungai terdalam di Indonesia itu.
"Korban ditemukan oleh warga tersangkut kapal dengan posisi telungkup," kata Kapolsek Sektor Kawasan Pelabuhan Pekanbaru, AKP Hermawi, Rabu (6/3/2013) di lokasi.
Kapolsek mengatakan bahwa korban terjun ke Sungai Siak pada Minggu, 3 Maret 2013 sekira pukul 20.00 WIB.
Setelah ditemukan, tim SAR bersama pihak Kepolisian langsung mengevakuasi korban. Selanjutkan korban dibawa ke rumah duka di Perumahan Putri Tujuh,Panam Pekanbaru.
"Motif sesungguhnya mengapa korban nekat terjun masih kita selidiki," imbuhnya.
Djoni Kusbiono, seorang praktisi Periklanan, menulis: “Bohong dan
dramatisasi memang jelas berbeda. Bohong berarti, fakta tersebut tidak ada
alias tanpa fakta. Sedangkan dramatisasi berarti, fakta tersebut ada narnun
disampaikan secara berlebihan.[iii]”
Dalam Contoh,
sang penulis seolah tahu persis alasan orang yang tewas itu membunuh
diri, padahal di bagian akhir polisi pun masih mencoba menyelidiki. Memang ada fakta bahwa orang yang mati baru
lulus kuliah dan gagal mendapatkan beasiswa ke jenjang berikut. Dengan (hanya)
berbekal data itu, penulis membuat dugaan bahwa itu adalah alasannya untuk
bunuh diri. Ia mendramatisasi fakta yang ada.
Kalau memang ada yang menduga bahwa orang yang
tewas itu bunuh diri karena tak bisa melanjutkan S2, maka sebaiknya orang yang
menduga itu juga dimasukkan ke kutipan. Itu cara menulis berita yang lebih
baik.
Lain lagi dramatisasi di sebuah media cetak
harian yang sering dianalogikan sebagai koran kuning, dengan judul-judul
provokatif dan ‘lebay’ mereka berusaha menarik minat para pembacanya. Fenomena itu juga sempat dibahas oleh Iwan
Awaluddin Yusuf dalam blog[iv]nya.
Salah satu bahasannya saya kutipkan disini:
berita berjudul “Burung Mau Matuk, Istri Ngantuk, Yang Punya
Burung Ngamuk” berikut.
“…Malam itu, Suminah sudah
pulas tidur. Apalagi, seharian penuh mengurus rumah dan anak-anak…Suminah pun
dibangunkan. Tapi karena sudah telanjur pulas, Suminah tak juga bangun.
Padahal, malam itu Rahman sedang on alias sedang kepingin. Mungkin kalau Rahman
itu Ahmad Dhani, dia tak ragu berteriak. “Aku sedang ingin bercinta!”.
Tapi Suminah sudah terlanjur
malas. Rahman terus memaksa. Dan Suminah pun marah sambil menggerutu. Mendengar
itu, rahman tak suka. Biarpun tengah malam, mereka cuek saka ribut mulut.
Saling memaki dan makin lama suara mereka makin keras. Sampai akhirnya,
“Plakkk!” Tangan Rahman sudah mendarat di pipi Suminah.
Kali ini Suminah tak bisa
menahan air matanya. Melihat istrinya menangis. Rahman makin semangat. Dia
terus memukuli Suminah seperti Mike Tyson memukuli lawan-lawannya yang gendut.
Tak peduli Suminah menangis, rahman malah cuek saja memegangi tangan Suminah.
Dan “Krakk” tangan Suminah pun dipelintir… (LM, 9 Agustus 2008)”
Menarik memang gaya penulisannya. Menarik karena seolah-olah bercerita, tapi
jadi mengurangi akurasi karena dramatisasi berlebihan pada fakta-fakta yang
didapat. Berita mengenai sebuah kekerasan dalam rumah tangga malah menjadi
cerita ringan ditangan penulis ‘berita’ ini.
Tentunya dramatisasi yang berlebihan juga terjadi di media televisi dan
radio. Lihat daja, ada beberapa stasiun televisi yang tidak sungkan memberikan
backsound musik pada berita-berita mereka. Kalau berita sedih maka musik pun
mendayu-dayu, saat berita kriminal backsound pun berubah seperti film laga.
Bahkan ada petinggi televisi berita yang beranggapan, kalau berita yang bagus harus didramatisasi...
- serangan pada privasi
Pada dasarnya semua orang (bahkan penjahat,
artis, koruptor dan pejabat) punya hak pribadi yang harus dihargai, sayang
media massa sebagai salah satu institusi yang seharusnya paling mengerti hal
itu malah kerap mengabaikannya.
Coba saja tonton televisi saat ini, berapa
banyak televisi yang dalam berita kriminalnya berusaha menutupi wajah sang
tersangka pelaku kejahatan. Padahal mereka baru tersangka, belum terbukti
melakukan kesalahan. Tapi itu belum
seberapa, lihat berapa banyak media televisi mengabaikan hak-hak korban
kejahatan asusila, bahkan anak anak.
Walaupun mengambil wajahnya dari belakang, tapi dengan jelas menyebutkan
sekolah dan kelasnya. Dengan gamblang juga memampangkan wajah sang tersangka,
padahal kebanyakan tersangka pelaku adalah orang dekat korban. Belum lagi saat
mewawancara ayah atau ibu korban.
Tentunya setelah menonton berita itu, semua teman dekat, tetangga, kawan
sekolah dan keluarga langsung tahu siapa korban itu.
Jadi perlindungan macam apa terhadap privasi
korban itu? bukannya dilindungi, ia malah menjadi korban kedua kalinya.
Saya bahkan tak mau lagi detil membahas
perlakuan pekerja infotainmen kepada narasumbernya. Hakikatnya saya memang tidak
menganggap teman teman itu sedang menjalankan tugas jurnalistik, jadi saya
tidak akan repot repot membahas pelanggaran mereka.
- Pembunuhan karakter
Menurut Dr. Erman Anom, MM pengajar komunikasi di Universitas Esa
Unggul, Jakarta. Pembunuhan karakter ini
umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang
diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan
dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka
saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
Dalam Jurnalisme pembunuhan karakter sering
terjadi saat media membahas tentang kesalahan-kesalahan seseorang atau
sekelompok orang. Untuk memperkuat berita mereka, seringkali para jurnalis
melakukan penyelidikan yang searah dengan bagian paling heboh dalam berita itu.
Saat seorang dokter di sebuah rumah sakit
dituduh membuat cacat seorang bayi oleh orang tua bayi itu, para jurnalis
berduyun duyun datang. Mereka mulai menggali-gali keburukan dari sang dokter,
rumah sakit tempat kejadian dan korban-korban lain yang pernah dikecewakan oleh
rumah sakit itu. Tujuannya memang memperkuat berita yang diperoleh, tapi
informasi yang dicari dengan gaya itu hanya akan menghasilkan informasi yang
senada; menjelekkan dokter atau rumah sakit tersebut.
Lain lagi kasus Aceng, sang bupati Garut.
Awalnya berita tentangnya adalah kasus kawin siri yang berakhir dalam 3 hari,
dan rentetan berita itu berakhir dengan cap tukang kawin dan suka melecehkan
wanita. Diluar bukti-bukti yang
dikumpulkan para jurnalis, berita yang susul menyusul dan nyaris semuanya
negatif tentang Aceng, telah membunuh karakternya sebagai politisi senior.
Aceng yang tadinya adalah politikus yang cukup baik (terbukti bisa mencapai
jenjang bupati) sampai tak lagi laku, bahkan saat mendaftar menjadi caleg
sebuah parpol baru.
Sebenarnya sudah ada cara yang pas untuk
mencegah terjadinya berita satu arah yang menuju pada pembunuhan karakter
ini; namanya Balance Reporting. Dengan
menjalankan itu, jurnalis bisa tetap menjaga beritanya tetap benar dan
berimbang. Beri kesempatan seimbang
antara berita yang positif dan negatif tentang suatu hal, biar masyarakat yang
menarik kesimpulan.
5. eksploitasi seks
Seks memang selalu jadi daya tarik bagi media. Tak perlu membuka
majalah atau koran, cukup berjalan ke stand penjual koran dan perhatikan
display mereka. Perhatikan bahwa di
hampir semua majalah dan sebagian koran ada gambar yang mengeksploitasi
sensualitas. Perhatikan juga bahwa banyak judul yang dibuat bombastis,
provokatif bahkan vulgar secara seksual.
Bukan hanya koran dan majalah, buka juga situs situs berita online.
Buka bagian hot gossip, berita entertainmen dan selebritis. Gambar-gambar sensual mengundang niscaya
memenuhi monitor anda. Belum lagi iklan-iklan dikanan kirinya yang juga
mengeksploitasi seks dan sensualitas.
Buka juga bagian berita metro. Lihat bagaimana berita pencabulan,
pelecehan, perkosaan dan razia warung
remang remang selalu muncul. Saksikan
juga di berita berita televisi –terutama saat malam hari- entah kenapa
berita-berita sejenis muncul. Beberapa teman produser malah yakin bahwa pria,
sasaran audience berita-berita malam itu, selalu tertarik dengan kasus
perkosaan, pencabulan maupun razia para pekerja seks.
Tak tahu pendapat itu benar atau tidak, tapi saya sendiri muak dan
merasa jijik kalau melihat berita pencabulan murid oleh guru, perkosaan anak oleh kenalan di facebook atau
berita berita sejenis. Menurut saya,
kemunculan berita yang mengeksploitasi seks tanpa pertimbangan matang dan sekedar
mencari cerita heboh, pada gilirannya akan mempengaruhi pemirsanya.
Dalam tulisan lain mengenai bunuh
diri, saya menyampaikan bahwa media massa terutama televisi mampu memicu
pembenaran
Siaran yang berulang-ulang tentang suatu tindakan membuat masyarakat
menjadi lebih toleran, dan pada gilirannya menganggap tindakan itu layak
dipertimbangkan. Bahkan seolah-olah siaran tersebut memberi ide pada
orang-orang yang sudah memiliki kecenderungan menyetujui arah tindakan
tersebut. Contoh sederhananya peristiwa kawin cerai di kalangan artis yang
sangat sering diberitakan media, lambat laun dianggap wajar, dan bukan lagi
sebuah aib bagi seorang artis untuk kawin cerai. Kalau dulu bercerai
konsekuensinya sangat berat dalam masyarakat, kini kawin cerai hanya sekedar
peristiwa biasa. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau yang disiarkan
berulang-ulang adalah pencabulan anak oleh orang-orang yang seharusnya
melindunginya.
6. meracuni pikiran anak
Seperti apa yang digolongkan meracuni pikiran
anak? Kalau dari tayangan televisi saja mungkin saya akan berkata; sinetron,
infotainment dan film anak-anak yang menghalalkan kekerasan, sihir dan adegan
pacar-pacaran yang berlebihan antara dua anak dibawah umur. Tapi yang sedang kita bicarakan adalah
jurnalistik, jadi saya tidak akan berkata seperti itu.
Banyak sekali cara meracuni pikiran anak-anak,
mulai dari iklan sampai tulisan jurnalistik. Racun yang disampaikan juga bukan
hanya berbentuk pornografi atau konsumerisme, tapi juga pemakluman dan
perusakan nilai/norma yang dianut anak-anak itu. Tengok beberapa contoh berita
ini:
Beberapa berita tentang anak yang bunuh diri
gara-gara tak bisa sekolah, menyakiti hati saya. Berita tersebut seolah membuat
anak yang bunuh diri adalah korban, dan tidak bisa sekolah adalah penyebabnya. Berita berita seperti ini seolah menafikan
bahwa sekolah adalah sesuatu yang wajib dan sangat penting, bahkan dibandingkan
nyawa. Beberapa berita yang terus di
follow up, mencerminkan anak yang bunuh diri adalah korban.. tidak bersalah…
terpaksa melakukan bunuh diri karena haknya sekolah tak diberikan. Luar biasa! Bunuh
diri adalah salah, tak bisa sekolah bukan akhir dunia, itu nilai nilai yang
ditanamkan pada saya sejak kecil.
Dan itu baru salah satu contoh.
Jargon kuno: “bad news is good news” membuat banyak jurnalis memilih memberitakan
kesedihan kesengsaraan dengan negatif. Menghilangkan optimisme dan kemampuan
berpikir positif.
Buat saya, itu juga racun yang sangat berbahaya
bagi generasi penerus bangsa..
7. Penyalahgunaan kekuasaan
Disaat pemerintah Indonesia sangat peduli pada
pencitraan, media masa (dan jurnalis sebagai pelakunya) mendapat suntikan kekuatan
yang sangat besar. Media seperti punya
kekuatan untuk menentukan nasib seseorang. Saat seorang selebritis atau
pemimpin politik terkena masalah, media
bisa jadi pemangsa yang sangat kejam atau justru tameng yang sangat kuat.
Pencitraan jadi senjata utama. Tak masalah
melakukan kawin cerai, memukuli kekasih atau bahkan membohongi public, selama
didukung oleh media.
Tak heran banyak politisi berupaya memperoleh
akses ke Media Massa. Penguasaan media jelas akan meningkatkan prosentase
keberhasilannya. Tentunya itu adalah penyalahgunaan kekuasaan media. Rasanya
bukan rahasia lagi persaingan politik dan pengaruh sudah merasuk ke media.
Akibatnya, jurnalis yang notabene hanyalah buruh
di media tempatnya bekerja juga terseret. Jurnalis yang bekerja disebuah media
akan dipaksa membela pemiliknya,
menghindari berita yang menyakiti pemiliknya dan mem blow up berita yang
merusak saingan sang pemilik.
Contohnya? Silahkan nonton saja televisi berita….
Itu adalah 7 dosa besar Jurnalis yang sering
terjadi dan masih terjadi. Saya juga tak luput dari dosa-dosa seperti itu. Dengan mengerti dosa-dosa itu, mudah mudahan
para jurnalis (baik yang memiliki institusi resmi ataupun pewarta yang warga)
dapat menghindari, atau paling tidak meminimalisasi kesalahan serupa.
Mudah mudahan tulisan ini bermanfaat…
Eddi Kurnianto
[i] Aslinya dimunculkan dalam tulisan karya Paul Johnson, “what is wrong
with the media and how to put it right”. Dikutip dari buku Pelanggaran Etika
Pers; Dewan Pers
[ii] silahkan lihat: Virginia shea. Netiquette(1994) dengan versi online
di: http://www.albion.com/netiquette/book/TOC0963702513.html
[iii] Utnuk tulisan lengkap, Silahkan
buka http://www.veegraph.com/production-articles/396-dramatisasi-versus-bohong-
[iv] Blog Iwan Awaluddin yusuf yang saya maksud: http://bincangmedia.wordpress.com/2010/07/28/nasib-perempuan-dalam-balutan-dramatisasi-berita/
Sangat lengkap pembahasannya, terima kasih utk artikelnya..
ReplyDeleteSalam kenal dari Pulau Dollar