Satu lagi film aksi tentang Indonesia dibuat oleh pembuat film
Eropa. Java Heat judulnya.
Film ini di shooting di Jogjakarta. Tak
tanggung-tanggung, mereka melakukan shooting di sekujur Jogja, mulai dari
keraton, Sarkem, Borobudur sampai sebuah
restoran mewah yang dijadikan setting rumah sang tokoh utama; komandan detasemen
88 anti terror.
Sebagai film aksi, film ini plotnya berjalan lambat, tapi aksi didalamnya cukup menarik. Dengan resep Hollywood –wanita sexy, cowok
kekar, dar der dor, kejar-kejaran mobil dan komentar-komentar ’smartass’ ala Hollywood- seharusnya membuat Java Heat tidak terlalu buruk sebagai film aksi.
Diawali dengan flashback seorang bule, Jacob (Jake) Travers
yang ditahan karena menjadi saksi peledakan istana sultan Jogja. Putrid Sultan
yang dipanggil Sultana – yang diperankan oleh si cantik Atiqah Hasiholan –
diduga tewas dalam serangan terorisme. Densus 88 anti terror pun dipanggil, dan
munculah Letnan Hasyim (Ario Bimo) jagoan nan bijak dan cerdas, komandan densus
anti terror itu. Mereka berdua adalah tokoh utama film ini.
Jake dan Hasyim kemudian bahu membahu memecahkan misteri
pengeboman di istana. Situasi
semakin tak terduga saat mereka mengetahui fakta (yang mudah diduga) bahwa Sultana
masih hidup. Dua serangkai inipun terjebak dalam pusaran intrik perebutan
kekuasaan istana, dan rencana terorisme yang mengancam Jogja.
Saat makin dekat
dengan dalang semua peristiwa itu, Letnan Hasyim kemudian menyadari Jake telah
membohongi dirinya, dan saat keluarganya diculik, ia terpaksa harus memilih;
membiarkan keluarganya disakiti atau mencoba melawan istana dan seluruh Jogja.
Karakter para tokohnya dibuat cukup detail walau terkesan
klise. Letnan Hasyim yang walau polisi
tapi sangat sembarangan dalam mengendarai mobil, Jake yang desersi tapi masih
selalu bisa mengandalkan teman-teman marinirnya dengan jargon simper fi
(kesetiaan corps), Jendral Sriyono atasan densus 88 yang korup dan terlalu
peduli pada citranya. Konflik rumit dan teka teki juga dicoba dihadirkan di awal cerita, termasuk
dengan memunculkan Achmed, teroris dengan gaya
islami yang nyaris selalu menenteng senapan serbu. Sayang gaya
berteka teki itu terabaikan dengan memunculkan tokoh Malik, diperankan Mickey
Rourke dengan gaya
khasnya. Sejak muncul tokoh ini, rasanya alur cerita mulai tertebak dan
bergerak sederhana.
Banyak jargon dalam masyarakat Jawa yang dimanfaatkan film
ini. Bule, yang diterjemahkan sebagai “stupid white person”, atau gaya Achmed si
teroris yang serba islami, atau Romantisme prajurit keraton yang berseragam
tradisional tapi bukannya menyandang tombak atau pedang tapi malah bersenapan
mesin. Rasanya film ini memang dikerjakan oleh orang-orang yang mau bersusah
payah meriset tentang Indonesia
dan membumbui hasil risetnya agar menarik menjadi setting sebuah film aksi ala Hollywood .
Banyak juga beban yang disangkutkan dalam film ini, seperti
toleransi beragama di Indonesia
yang muncul dalam hubungan antara letnan Hasyim yang islam dan subordinatnya
Anton yang nasrani. Film ini juga memunculkan teroris bergaya muslim, tapi juga
bersusah payah menunjukkan bahwa terorisme itu bukan mengenai agama.
Banyak harapan dikepala saya
saat pertama kali menonton film ini, yang walaupun bukan film Indonesia
tapi sarat dengan nama-nama terkenal di jagad perfilman bangsa ini. Saya berharap menonton film tentang Indonesia
sekelas ‘The Year of Living Dangerously’ ‘eat, pray, love’ atau bahkan ’Merantau’ saat menonton Java Heat yang teasernya
sangat menjanjikan. Nama Rudi wowor (sultan Jogja), Frans tumbuan ( jendral
sriyono), Mike Luckok (ahmed), Rio Dewanto (Anton, anggota densus), dan Tio
Pakusadewo (vizier), rasanya cukup memberi harapan. Tapi ternyata makin tinggi harapan makin tinggi
juga kekecewaan yang mungkin timbul.
Secara
keseluruhan saya hanya akan menilai film ini sebagai 6 dalam skala 10 dari
penilaian terhadap film aksi. Film ini berjalan terlalu lambat, terlalu
banyak menjelaskan latar belakang sehingga aksinya terasa kurang. Terlalu banyak percakapan sok pintar diantara
dua tokoh utamanya. Sebagai penonton yang berharap aksi, film ini jelas terlalu
lambat.. Munculnya Mickey Rourke, yang jelas kelihatan terlalu tua, juga tak
terlalu berhasil menghidupkan sosok penjahat cerdas dan dingin.
Meski begitu ada satu hal yang menghibur saya.
Gambar-gam,bar indah yang mengeksploitasi kota Jogja, budaya, angle-angle unik
dan detail yang mempesona dari Shane Dalley
sang Director of Photography, membuat
saya tak beranjak dari duduk. Rasa kangen saya pada sudut-sudut Jogja yang saya kenal seperti terpuaskan.
Rasanya memang
pujian tinggi pada pemilihan setting dan pengambilan gambar harus saya
sampaikan. Penutup yang di shooting dalam eksotisme Borobudur, seolah
menjelaskan bahwa film ini indah. Secara aksi memang kurang, tapi sebagai
tontonan mata, film ini cukup menyenangkan. Mungkin cocoknya film ini
dikategorikan sebagai film aksi pariwisata..
No comments:
Post a Comment