26 December 2012


Refleksi akhir tahun : 

Alkisah sebuah kapal pesiar megah telah diluncurkan. Crew-crew nya pilihan, yang dilatih bersama dan memiliki mimpi yang sama. Tak heran begitu kapal pesiar itu diluncurkan, segera menjadi buah bibir. Walaupun bukan kapal pesiar terbesar yang pernah diluncurkan, tapi banyak hal menjadikannya kapal pesiar yang unggul. Nahkoda yang trampil, juru arah yang mahir mencari jalur pelayaran nyaman, dan juga para crew cabin yang senantiasa berhasil membuat suasana selalu ceria dan sempurna. Semuanya bekerja dengan penuh dedikasi dan kepercayaan pada sesama pegawai. Tujuan mereka sama, memuaskan para penumpang dalam mengarungi perjalanan mereka.

Empat tahun pertama, kapal pesiar itu menjadi buah bibir dan standar kesempurnaan pelayaran bagi banyak pelanggan kapal pesiar. Kebersihan, pelayanan crew dan ketepatan waktu pelayaran menjadi panutan bahkan bagi kapal pesiar lain.  Para crew kapal itu seolah jadi istimewa karena bisa melayani secara istimewa para pelanggan itu. Masa keemasan bagi kapal pesiar kecil itupun tiba.
Nyaris semua orang yang ingin berlayar, memilih naik kapal ini. Penumpang antri menunggu dinaikkan, pelamar menjadi calon crew pun memanjang sampai disekitar pelabuhan terbesar di Jakarta.

Melihat fenomena itu, sang pemilik kapal pun ingin mengubah standar pelayanan di kapal itu demi keuntungan. Keluarkan makanan semurah mungkin dan jual semahal mungkin. Sprei, sarung bantal dan guling, tak lagi diganti setiap akhir pelayaran, cukup dilondre dan ditisik bila berlubang. Mesin-mesin tak lagi dilumasi setiap hari, seminggu sekali cukuplah. Penghibur bermutu yang mahal disingkirkan, diganti penyanyi kelas kampung-yang penting menor dan berani pamer paha dan dada.

Sang Nahkoda ternyata keberatan. ia memilih keluar daripada menghinakan kapalnya. Sang pemilik tak peduli, toh pelamar kerjanya masih antri sampai tanjung priok. Maka dicobanya beberapa nahkoda, sampai dia bertemu yang cocok; penurut, dan bervisi 'tergantung padanya'.

Sebelas tahun kemudian kapal itu masih berlayar. Walau mesin kadang kadang mogok. Walau bed cover, sofa dan taplak ruang makannya sudah compang camping penuh tisikan. Walau sebagian besar crew yang dulu sangat dihargai sudah menghilang karena tak tahan dengan kondisi kapal pesiar itu. Kapal itu masih tetap mampu berlayar, dan masih dengan nahkoda yang penurut dan selalu mengiya pada sang pemilik kapal.

Hanya ada beberapa crew dari awal yang masih tersisa. Mereka kini justru dipandang aneh. Semangat untuk memberikan pelayanan terbaik dicibir para crew yang lebih baru. Buat apa memberikan pelayanan terbaik, dikasih pas pasan seperti apapun penumpangnya tetap akan naik kok, begitu pikir mereka.

Para Crew baru merasa mereka istimewa karena berada di kapal pesiar yang istimewa.  mereka meminta diistimewakan karenanya. Sebaliknya Crew lama merasa istimewa dengan memberikan pelayanan yang istimewa, karena mereka merasa yang terpenting bukan mereka -para crew- tapi citra kapal pesiar itu sendiri dimata para penumpang.

Tapi tak bisa dipungkiri. Di tahun kesebelas, citra kapal pesiar itu sudah sangat menurun. Kalau dulu segala hiburan yang dilakukan dalam kapal pesiar itu orisinil dan segera akan jadi tren, sekarang semuanya hanya tiruan yg sudah ada ditempat lain. Kalau dulu para penumpangnya adalah para hartawan cendekia berselera tinggi, sekarang hanya kelompok yang kebetulan berduit, dengan selera hiburan yang tak jauh dari slapstik; pocong pocongan dan senang kalau melihat orang lain sengsara.

Para crew lama yang tersisa pun makin prihatin. Satu persatu tak tahan dan pergi. Apalagi nahkoda tak tampak peduli. Yang penting baginya hanya mengetatkan budget pengeluaran agar terlihat sukses dimata pemilik kapal.

Kemudian terjadilah hari itu, mualim satu akhirnya tak tahan dengan kelakuan nahkoda. Ia pun memutuskan pindah kesebuah kapal pesiar baru dan mengajak belasan kelasi terbaik yang bisa diajak. Kapal pesiar itupun semakin kesulitan. Disaat genting itu, nahkoda malah memutuskan pergi ke negara lain untuk berlibur, meninggalkan anak buahnya dalam kebingungan.

Sang nahkoda memang meninggalkan mualim satu lain sebagai wakil penggantinya. Tapi mualim ini nyaris serupa sifatnya, walau sudah diberi tanggungjawab dan kekuasaan untuk mengambil tindakan jika diperlukan, saat suasana genting ia tetap memilih menunggu sang nahkoda pulang untuk mengambil keputusan. Tak ada keberanian sedikitpun menentukan arah dan melakukan tindakan, walau memiliki kekuasaan dan dibebani tanggungjawab.

Saat ini kapal pesiar itu tengah menuju perairan penuh gejolak. Arahnya tepat menuju mata badai yang bisa merontokkan bahkan kapal perang yang terkuat. Para crew lama yang sudah berpengalaman telah menyalakan mesin dan menghitung arah untuk menghindarinya, tapi mualim satu belum juga mengeluarkan perintah untuk melaju. Ia hanya sibuk mengumpulkan berbagai alternatif cara untuk menghindari mata badai itu, tapi tak berani ambil keputusan. Ia hanya berencana menyerahkan keputusan pada sang nahkoda saat ia kembali.

Angin membesar, langit berubah makin kelam, lautanpun mulai memamerkan gelombang. Satu persatu crew yang ada berpindah ke kapal lain yang berpikiran lebih waras, mengambil arah menghindari mata badai.

Berhasilkah kapal pesiar itu melewati badai? Mungkin sekali.
Akankah kapal pesiar ini mampu mengembalikan citranya? Bisa jadi. Tapi bahkan para crew lama yang sangat mencintai kapal itu mulai benar benar ragu, jangan jangan mereka hanya akan membuang umur sia sia jika terus berlayar dengan  nahkoda dan mualim pertama yang seperti itu...

No comments:

Post a Comment