10 November 2012

Sekolah komunitas CipCem


Tulisan ini saya buat, terinspirasi dari percakapan saya dengan Istri tentang pendidikan di Indonesia. Kami  sadar sulitnya mencari sekolah  untuk anak-anak saat ini. Kalaupun ada sekolah yang bagus dari segi fasilitas dan pandangan orang tua, seringkali sekolah tersebut malah membuat sang anak menjadi tidak nyaman. Kebetulan anak kami yang sulung dianggap termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, bahkan sempat dicap sebagai penyandang autisme. Tentunya itu membuat mencari sekolah yang layak untuknya menjadi jauh lebih sulit.

Saya lantas saja teringat pada sebuah sekolah komunitas, CIPCEM namanya.   CipCem bukan sekolah besar, lokasinya pun hanya dirumah orang tua dari salah seorang siswanya di daerah Cipinang Cempedak atau CipCem, dan .. ya anda benar, dari sanalah nama sekolah komunitas ini diambil.

Sekolah ini berawal dari kegalauan beberapa ibu-ibu terhadap masalah yang sama dengan kami, yaitu susahnya mencari sekolah cocok buat anaknya. Karena anak mereka masih usia dini, tentunya yang dibicarakan adalah preschool dan pengganti taman Kanak-kanak.  Dari pengalaman, mereka punya kekecewaan terhadap sekolah formal dan  mulai mempertimbangkan homeschooling.
Setelah banyak bicara dan berinteraksi dengan orang-orang yang dianggap lebih mengerti, ibu-ibu inipun sepakat membuat sebuah sekolah dirumah untuk anak-anak mereka, sekolah komunitas istilah kerennya.  Walau disebut  sekolah sebenarnya siswanya hanya  4 orang anak usia pra sekolah, yaitu Pasya, Banyu, Kei dan Hana.

 Pasya adalah seorang anak berkebutuhan khusus.   Indranya yang terlalu sensitif dan kemampuan yang belum terasah untuk memahami lingkungan membuat Pasya sangat mudah tantrum.  Ia biasanya Tantrum atau  mengamuk saat berada ditempat yang banyak orang.  Dengan tambahan  komunikasi reseptif (penangkapan) dan ekspresif (penyampaian) nya yang terlambat berkembang, Pasya sulit membaur di sekolah biasa.  Orang tua Pasya sempat mencoba mengajak Pasya ‘bersekolah’, tapi suasana yang ramai, banyak anak berkeliaran  minimnya kemampuan menghadapi suasana baru, membuat Pasya sering tantrum. Sekolah tampaknya jadi siksaan buatnya.

Lain lagi pengalaman orang tua Banyu. Anak ini memiliki gejala hiperaktif yang parah, tidak bisa diam dan cenderung cepat berpindah-pindah  fokus perhatiannya.  Banyu juga memiliki kesulitan verbal  yang membuatnya sulit dimengerti keinginannya, sehingga mudah sekali tantrum. (kemudian diketahui  setelah bersekolah di CipCem, bahwa kesulitan verbal itu karena adenoidnya yang membengkak menutupi jalan nafas) 
Banyu sudah sempat dimasukkan ke lembaga pendidikan anak usia dini. Sayangnya perlakuan para pengajar, dan juga beberapa orang tua murid justru membuat Banyu trauma. Dia selalu tantrum setiap mendekati sekolahnya, dan bahkan kemudian takut mendekati sekolah lainnya.
Kei dan Hana bukan anak-anak berkebutuhan khusus, tapi orang tua mereka juga kesulitan menemukan sekolah yang nyaman buat anak-anaknya.  Takut anak-anaknya terlanjur menjadi tidak menyukai sekolah,  mereka pun sepakat dengan orang tua Banyu dan Pasya untuk membuat sekolah komun itas yang paling tidak akan bisa menjadi pengantar sebelum anak-anak mereka masuk ke sekolah formal.
Setelah keputusan membuat sekolah komunitas itu bulat, mereka mulai mencari hal yang paling penting dari sebuah sekolah; sang guru!.
Mereka mewawancarai banyak orang, mulai dari mahasiswa sampai seorang psikolog bergelar master. Mulai dari orang yang tidak pernah bersentuhan dengan anak berkebutuhan khusus sampai praktisi dan terapis khusus.  Sayangnya ternyata benar kata pepatah; bahwa mencari guru yang baik tidak semudah mencari bongkahan emas murni. Kebanyakan yang diwawancarai memiliki anggapan keliru tentang anak berkebutuhan khusus dan sebagian besar menawarkan metode pemaksaan baik secara fisik maupun obat-obatan yang tidaksesuai dengan sikap orang tua itu. Ada juga yang cocok tapi mengajukan biaya sangat tinggi untuk pelayanan mereka. Terlalu mahal, sangat komersial, seolah-olah apapun yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus adalah sebuah bisnis yang baik.
Saat mereka kebingungan dan hampir putus asa, kemudian merekapun mendiskusikannya dengan istri saya.  Kami, saya dan istri pun mengajukan seorang kandidat.
Namanya Tati Mulyani kami mengenalnya dengan panggilan Antzi Tati. Antzi adalah panggilan untuk guru wanita di sekolah TK anak kami, Antz School. Sekolah taman Kanak-kanak ini memiliki konsep inklusi yaitu menggabungkan anak-anak biasa dengan anak berkebutuhan khusus.  Antzi Tati memang mantan guru di sekolah anak kami tersebut. Disebut mantan guru karena  hanya setahun setelah anak kami lulus, Antzschool ini terpaksa  ditutup karena ada masalah internal dari pengelolanya.
Kami  masih ingat bagaimana Antzi Tati sanggup menguasai kelas dengan tegas, tapi tetap ramah pada anak-anak. Buat kami yang dilakukan Antzi Tati saat itu luar biasa, karena di kelas yang dijaganya dan seorang rekan, ada  5 orang anak berkebutuhan khusus.  Dengan alasan itu,  Istri saya pun mengajukan  nama Antzi Tati kepada  para ibu yang ingin membentuk sekolah komunitas tersebut.
Akhirnya Antzi Tati pun diajak berbincang oleh ibu-ibu yang ingin membentuk sekolah komunitas tersebut.  Ternyata ada kecocokan antara sang guru dan orang tua para siswa. Visi dan misi mereka sederhana, menginginkan agar di saat awal anak-anak mereka mengenal dunia sekolah,   mereka tidak  bosan apalagi sampai trauma. Mereka harus menyenangi sekolah, sehingga di jenjang pendidikan berikutnya akan lebih mudah membiasakan mereka dengan institusi pendidikan.  Antzi  Tati yang antusias bahkan nyaris lupa membicarakan kompensasi .
Akhirnya tepat tgl 8 Desember 2010 dibukalah sekolah komunitas itu. Tidak ada upacara atau kegiatan formalitas,  hanya ada kedatangan dua Guru; ibu Tati dan Ibu heni, rekan yang dipilih oleh ibu Tati sendiri, dan empat muridnya: Pasya, Kei, Banyu dan Hana.  Sekolah ini memang hanya dilaksanakan 2 hari dalam seminggu, dari jam 13.00 wib s/d 15.00 wib.  Sangat singkat waktunya, bahkan lebih mirip kursus daripada sekolah resmi.
Ada beberapa pertimbangan kenapa jam belajarnya ada di waktu tidurnya anak. Pertama; tempat tinggal ibu guru yg jauh di Bogor.  Ibu Tati masih harus mengurus keluarga dan pekerjaannya sebelum berangkat ke jakarta.  Kedua; anak-anak yang diajari belum punya jadwal tidur jadi sebetulnya tidak terlalu masalah buat mereka, mungkin yang lebih bermasalah adalah ibunya. Jam tersebut    jadwal tidur siang buat ibu-ibu mereka.
Hari pertama semua ibu-ibu peserta sekolah tersebut datang dengan heboh. Semua khawatir bagaimana anak-anak mereka menerima sekolah ini. Sekolah dimulai dengan semua anak dan ibu guru masuk ke ruangan kelas, yang juga adalah kamar bermain Pasya. setelah semua masuk kelas pintu ditutup agar konsentrasi anak tidak terpecah, dan terjadilah tantrum secara massal. Ibu-ibu yang diluar khawatir, tapi dengan tegas ibu guru Tati melarang mereka masuk. Didalam tidak ada kegiatan apapun yang dipaksakan, dengan sederhana ibu Tati menjelaskan tindakannya: dihari pertama ini biarlah anak-anak yg mengobservasi ibu gurunya... Tak sampai satu jam kelas mulai tenang dan ibu guru dan anak-anak mulai berinteraksi.

Sejak hari pertama itu, banyak yang berubah dari komunitas yang menjalankan sekolah tersebut. Bukan hanya anak-anaknya yang mulai belajar bersosialisasi, tapi juga para orang tua yang menemani anaknya mulai membentuk komunitas yang saling mendukung. Ibu Tati dengan tegas mengatakan bahwa, supaya anak bisa berubah menjadi sesuatu yang diinginkan orang tuanya, orang tua harus berubah lebih dulu untuk mendukung keinginannya itu.  Perubahan tidak bisa hanya melalui perintah dan hukuman, tapi juga contoh dan dukungan terhadap perilaku yang diinginkan itu.

 Sekolah ini tidak bertahan lama, karena rancangan awalnya memang hanya sebagai jembatan mempermudah  persiapan anak-anak itu masuk ke sekolah formal, umurnya hanya sampai pertengahan tahun 2012. Toh dalam umur sependek itu, menurut ibu-ibu yang mempercayakan anaknya pada sekolah ini, terjadi perubahan yang cukup banyak.

Pasya sebelumnya sudah diterapi selama hampir setahun untuk mengurangi kebiasaannya tantrum kalau mendengar banyak suara. Setelah enam bulan mengikuti sekolah komunitas CipCem, perkembangannya menjadi pesat.  Kalau sebelumnya tantrum dan mulai menyerang orang disekitarnya kalau merasa tak nyaman,  Saat sekolah komunitas selesai, Pasya tidak lagi menyerang kalau dihadapkan pada suara yang terlalu keras. Ia memilih menghindar,  menutup kuping, dan meneteskan air mata kalau terlalu berlebihan.

Lain lagi Banyu, yang dulu sangat sulit diam dan berkonsentrasi, mulai mau mengikuti kegiatan yang dilakukan di sekolah. Kognitifnya berkembang pesat seiring semakin fokus perhatiannya. Banyu juga tidak lagi terlalu mudah marah, dan yang paling terlihat adalah Banyu mulai berani bergabung dengan teman-temannya terpisah dari ibu dan pengasuhnya. Kei dan Hana juga maju dalam kemampuan sosialnya.  Alhasil mereka bisa masuk ke sekolah (tentunya berbeda-beda) tanpa penolakan. Mereka semua sekarang antusias dengan kata-kata; ‘sekolah’.

Buat saya pribadi, yang menarik adalah Cipcem berhasil  terbentuk sebagai sekolah komunitas independen.  Yang dibentuk sendiri, berjuang sendiri, menyusun kurikulum sendiri yang dianggap paling tepat bagi murid.  Menyiapkan sendiri alat bantu dan penunjang pelajaran. Tanpa banyak repot dan gembar gembor, sekolah sederhana itu juga berhasil mencapai tujuan-tujuannya, baik tujuan umumnya sebagai jembatan sebelum anak masuk ke sekolah umum., maupun tujuan pengembangan khusus yang berbeda-beda setiap anaknya.

Menurut saya lagi Pendidikan Indonesia itu seharusnya juga begitu,  mementingkan perkembangan anak-anak sesuai potensi mereka, bukan sekedar membuat sekolah besar bermodal kuat dengan label internasional atau elit.  Pendidikan itu seharusnya dan sepantasnya bukan sekedar bisnis, tapi juga idealisme untuk menciptakan generasi baru yang lebih baik. 

3 comments:

  1. Anonymous2:09 AM

    Setuju Kurikulum Pendidikan Indonesia, hanya mendewakan kecerdasan kognitif, dan mengesampingkan kecerdasan lainnya, jadilah orang-orang pintar yang suka minterin orang lain, koruptor, kongkalikong, penipu, yang merugikan orang banyak bahkan ngambil hak rakyat kecil/orang yg kurang berpendidikan, yang seharusnya dibantu/diadvokasi.
    Kapan mau maju???

    ReplyDelete
  2. Anonymous11:40 AM

    Akhir - Akhir ini saya merasa berdiri sendirian,tak bertenaga merasa tak punya apa- apa, tak sengaja saya temukan blog ini yang pada awalnya saya mencari komunitas orang tua yang di amanahi anak berkebutuhan khusus.Saya salah satu pengelola sekolah usia dini, dan diamanahi tugas khusus untuk melayani anak - anak berkebutuhan khusus di KArawang, seminggu yang lalu kami menyatakan diri kami pada khalayak bahwa sekolah kami fokus pada pengembangan pendidikan karakter, kalau sekolah sekolah inklusif sudah berjalan 5 tahun namun belum juga ditetapkan secara resmi oleh pemerintah setempat dengan alasan diknas setempat belum mempunyai unit khusus yang menagani hal tsb. Alhasil kami membebankan semua biaya yang timbul kepada orang tua siswa, namun sejauh ini mereka tidak pernah keberatan, ketidak keberatan mereka membuat saya semakin tertekan karena menurut pemikiran saya pribadi hal tersebut adalahtangguang jawab semua elemen baik keluarga masyarakat maupun pemerintah. saat ini anak - anak berkebutuhan khusus yang tergabung di sekolah kami 23 orang dengan berbagai kekhususan yang berbeda dan kami mempunya 6 orang tenaga guru untuk melayani mereka dengan latar belakang pendidikan yang sangat terbatas, namun kami selalu menekankan bahwa modal kita TLC ( Tender Love Care ) walaupun banyak yang mempertanyakan kualitas kami, namun seiring waktu anak - anak tersebut mengalami banyak kemajuan dan terlihat secara langsung baik oleh orangtuanya maupun lingkungannya, padahal menurut saya, kami belum melakukan apa- apa... melalui tulisan ini sayya hanya ingin sedikit melepaskan tekanan bathin yang selalu menghantui saya ketika besitatap dengan mereka "Apa yang harus saya lakukan ? " Mau saya antar kemana anak - anak ini ? " "Apakah kami sudah lakukan dengan benar ?" Syukur pada Allah masih memberikan saya kesempatan sampai detik ini, bekerja dengan teman - teman yang luar biasa dan para orang tua yang istimewa.Terimakasih tulisan bapak dapat menghibur dan menambah vitamin buat saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sayang sekali saya tidak bisa menghubungi balik ke Bapak atau Ibu. Kalau saja ada email atau kontak balasan saya akan senang sekali bisa sharing dan bertukar pikiran..

      Delete