28 March 2012

Resensi film: The Raid















Sebuah film action Indonesia mendapatkan berbagai komentar positif diluar negeri…hmm.. itu saja sudah cukup membuat saya menanti-nanti tayangan perdana The Raid ini. Apalagi setelah tahu hak siar dan hak remake dari film ini telah dibeli oleh perusahaan Hollywood. Apalagi kemudian tahu bahwa Mike Shinoda (linkin park) yang menjadi penata musik film ini.

Mendadak saja, buat saya, The Raid jadi film yang wajib ditonton.



Brutal! Itu kata pertama yang muncul dikepala saya melukiskan The Raid.

Cara bertutur Evans dalam The Raid mengingatkan saya saat pertama kali menonton Speed-nya Keanu Reeves. Nyaris tak memberikan istirahat pada penontonnya. Ketegangan demi ketegangan seolah tak putus tergambar. Waktu jeda antar ketegangan hanya cukup untuk mempersiapkan kita menerima ketegangan berikutnya yang -walaupun sudah diduga- tetap dinantikan. Popcorn yang sudah dibeli pun tidak tersentuh sepanjang penayangan….

Dari sudut cerita sebenarnya The Raid biasa saja. Sekelompok orang terperangkap dalam sebuah gedung penuh orang yang akan membunuh mereka. Satu-satunya jalan adalah bertarung untuk meloloskan diri. Rasanya sudah banyak sekali film laga yang menggunakan formula cerita yang seperti ini.


Yap, memang banyak klise yang dijahitkan dalam film ini. Misalnya adegan perkelahian di lorong-lorong gedung dan tangga mengingatkan pada adegan dalam film Evans sebelumnya; Merantau. Atau adegan tiga sekawan polisi yang tersisa, menyerbu sebuah pabrik narkotika. Ah entah sudah berapa kali saya melihat adegan yang mirip-mirip. Untungnya, koreografi pertarungan The Raid memang lain dari biasanya, sehingga hal yang klise itu bisa tetap menghibur.

Selain itu, hal lain yang sedikit mengganggu buat saya adalah dialog dalam film ini. Kata-katanya kaku dan agak aneh, seolah olah skenario film ini awalnya ditulis dalam bahasa Inggris baru kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Oh iya, Rasanya Piere Gruno juga terlalu tua dan lembut untuk film laga sekelas ini.


Tapi daya tarik utama film ini tentu saja adalah keunikan (dan kebrutalan) aksi pertarungannya. Pemirsa yang gemar akan aksi laga, rasanya wajib menonton film ini. Anda akan dikejutkan dengan banyak semburan darah dan kepala pecah. Perkelahian mati matian dengan memanfaatkan segala senjata yang ada, mulai dari pistol (yang lebih banyak digunakan dalam jarak sangat dekat), pisau, kursi, tembok sampai pecahan kaca lampu. Koreografi pertarungan di Film ini menurut saya juga kelas satu. Memang, masih terlalu banyak pukulan yang melayang tak beraturan, dan tubuh yang seolah olah dari baja tahan dipukuli puluhan kali, tapi hey… ini memang film action kan?

Aksi perkelahian dalam film The Raid memang brutal dan sangat realistis. Wajar kalau aksi tersebut mendapat banyak pujian –saya bahkan mendengar beberapa penonton bertepuk tangan menyaksikan aksi penyelesaian brutal dalam film ini.- Saya terutama terkesima dengan permainan pisau komando ala golok betawi yang ditampilkan Iko Uwais. Tentunya tak mudah melatih adegan perkelahian seperti itu. Dengan gaya penyampaian yang cenderung medium dan long shot, kelihatan jelas koreografi itu dilakukan langsung oleh pemerannya dan bukan sekedar tipuan kamera. Menurut saya, hal itu adalah kelebihan film ini. Sekaligus juga menunjukkan keseriusan crew nya dalam menggarap koreografi perkelahian mereka.


Iko Uwais dan Yayan Ruhian, yang juga berperan dalam film ini, menunjukkan perkelahian menarik di bagian akhir film. Tehnik silat dipadu aksi ala muaythai diperagakan dengan ciamik. Keseimbangan tubuh dan pukulan yang prima. Sayangnya Donny Alamsyah yang ikut bertarung terlihat kedodoran. Beberapa kali pukulan dan tendangannya terlihat off balance dan tak bertenaga. Mungkin karena dibandingkan langsung dengan kedua petarung handal lain.


Teman saya sempat mencibir, bahwa the Raid sebenarnya adalah film buatan Amerika yang diperankan orang Indonesia. Terus terang saja saya juga sempat pesimis, tapi setelah melihat credit title di akhir film saya menjadi lega. Nama-nama Indonesia memenuhi layar. Saya bertambah lega setelah membaca, koreografi pertarungan –yang merupakan bagian paling menarik dari film ini- juga dibuat oleh orang Indonesia; Iko Uwais dan Yayan Ruhian.

Yap, menurut saya ini film Indonesia…sah!


Saya berharap lebih banyak pertarungan tehnik khas silat, dengan kuncian unik dan jurus meliuk liuk dan bukannya adu pukul dengan sikut dan lutut yang mirip dengan muaythai. Tapi yah, manusia memang tak pernah puas.


The Raid rasanya salah satu film aksi terbaik tahun ini yang saya saksikan.

Pantas untuk dinikmati.


Para tokoh antagonisnya tidak lagi bergaya penjahat bodoh yang banyak omong, tapi lebih dekat pada psikopat yang haus darah. Aksi ledakan dan tembak-tembakan yang selalu jadi resep sukses sebuah film laga juga disajikan dengan unik, tidak biasa. Ketegangan yang disajikan, cukup memompa adrenalin.


Sedikit peringatan dari saya. Rasanya film ini sama sekali tidak cocok ditonton anak-anak dibawah umur, terlalu banyak adegan kekerasan vulgar. Selain itu, The Raid juga sangat tidak direkomendasikan untuk ditonton bersama kekasih. Kecuali kalau kekasih anda juga penggemar Quentin Tarantino, dan tidak terlalu merasa harus ada penjelasan untuk semua hal.


Wahai penggemar film aksi laga, duduklah dengan nyaman.


The Raid adalah tontonan untuk anda.


No comments:

Post a Comment