Mbok Mini namanya, orangnya juga mini. Tingginya tak lebih dari 150 sentimeter, umurnya sekitar 50 tahun. Dia orang biasa, sama seperti puluhan orang di desanya; desa Tanahlum, Karang Moncol, Rembang. Bukan orang penting atau berilmu, Mbok Mini termasuk golongan ekonomi lemah, orang tak berpunya atau yang lebih sering disebut dalam propaganda kepartaian saat ini sebagai rakyat miskin. Diukur dari ukuran siapapun; BPS, Pemerintah, LSM atau sekedar kelurahan setempat, Mbok Mini memang akan terhitung hidup dibawah garis kemiskinan.
Mbok Mini tinggal di gunung, tepat disebelah air terjun. Dibelakang rumahnya ada hutan yang masih berisi hewan-hewan liar. Kedengarannya menawan –dan memang pemandangannya memabukkan- tapi masalahnya Mbok Mini tidak tinggal disebuah villa. Bersama dua orang anaknya, ia menempati sebuah gubuk berukuran 6 X 2,5 meter, berdinding gedek dan beratap seng. Tak ada listrik di tempatnya, dan kalau malam hanya sebuah lilin yang menerangi rumah itu. Kegelapan pastinya memeluk mereka erat saat malam tiba, apalagi rumah terdekat berada sekitar 500 meter dari gubuk mereka. Si Mbok sangat sayang dan disayangi oleh Fitri dan Salim, anak-anaknya. Buat mereka, bagaimanapun kekurangannya hidup, tetap harus dinikmati dengan kegembiraan.
Mbok Mini adalah pencari madu. Biasanya ia berangkat ke hutan pagi hari, dan kalau beruntung membawa pulang madu yang bisa dijual 10 sampai 15 ribu rupiah. Itu kalau beruntung. Sekarang madu lebih susah dicari, sehinga ia biasa mencari madu 2 sampai 3 hari dengan hasil serupa. Mbok Mini memasak dengan kayu bakar, bukan gas dan bukan minyak tanah, seperti tetangga tetangganya. Karena transportasi yang sulit, harga minyak tanah di desa mereka mencapai 10 ribu per liter. Dengan penghasilannya itu, Mbok Mini dan anaknya lebih sering makan singkong atau ubi liar yang dibakar didalam arang perapian kayunya.
Beras murah ditempatnya saja sudah 3000 rupiah per liter, jadi biasanya ia dan anak-anaknya hanya makan nasi sehari sekali, kadang dua hari sekali. Itupun lauknya hanya ikan-ikan kecil yang dicari di air terjun, atau sekedar sambal dan lalapan yang ada di hutan belakang rumah. Buat keluarga mereka, bisa makan adalah anugerah apapun menunya.
Kalau subsidi bahan bakar minyak dinaikkan April ini, maka mungkin Mbok Mini akan kehilangan kesempatan makan nasi sekali sehari. Terkadang memang tetangga dan saudara-saudaranya urun makanan dan sedikit uang untuknya, tapi mereka juga hanya petani kecil di desa terpencil. Penghasilan mereka tak sebesar pegawai yang mengurusi peredaran minyak dan gas di negeri ini. Saat BBM naik, mereka juga akan terkena imbasnya, dan menjadi termiskinkan. Tentunya uang mereka tak akan tersedot membeli bensin. Mbok Mini dan saudara sekampungnya itu bahkan jarang yang memiliki mobil. Jalan menuju rumah mereka masih batu batu dan sangat curam di musim hujan untuk motor atau mobil. Naik mobil -bagi mereka- bisa dihitung dengan jari dalam sebulan. Masak pakai kayu dan listrik nggak punya. Kok rasanya nggak adil mereka juga terkena imbas untuk menutup subsidi BBM yang sangat sedikit mereka nikmati.
Biasanya kendaraan mereka juga hanya mobil Coak, sebutan untuk mobil bak terbuka yang rutin melalui jalan kampong mereka saat tidak hujan. Naik mobil coak berarti juga kemungkinan bercampur dengan batu, kayu-kayu gelondongan dan kopra yang diangkutnya. Itu transportasi umum desa Tanahlum. Miris rasanya melihat kehidupan didesa ini, yang rasanya nyaris tidak disinggahi uang hasil pajak warga kota. Malu tak membayar pajak? Saya malu tak melihat hasil pajak saya…
Buat orang-orang di pucuk pimpinan negeri ini mungkin nama Mbok Mini, Fitri dan Salim tidak berarti. Mereka dan teman teman sekampungnya cuma salah satu dari ribuan orang yang akan termasuk 12 persen rakyat kemungkinan termiskinkan saat BBM naik (Bappenas). Total cuma beberapa (juta) orang saja, mungkin begitu menurut para pimpinan negeri ini. Itu cuma statistik buat para pimpinan. Saya terus terang tidak mengerti kenapa setiap kali ada masalah BBM solusinya hanya menaikkan harga di masyarakat, padahal semua tahu, sekali BBM naik segera kebutuhan pokok semuanya akan meroket. Harusnya para cendekiawan dan orang hebat di Pertamina yang dibayar mahal itu tak usah naik gaji saja kalau tak bisa memecahkan masalah ini, Toh gaji mereka tahun tahun kemarin sebetulnya sudah sangat besar.
Tentunya saya tidak bisa menyalahkan pemerintah begitu saja. Apalagi saya benar-benar tak mengerti system perekonomian, maklum orang bodo. Saya nggak mengerti bagaimana Pertamina yang pegang peranan (nyaris) monopolistis terhadap perminyakan di Indonesia bisa merugi, atau bagaimana Indonesia yang penghasil BBM ternyata harus mengimpor dari Negara lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya saja yang saya mengerti, orang orang seperti Mbok Mini ini hidup, berusaha keras dan ingin makmur juga –kalau bisa seperti bapak presiden atau gerombolan di DPR itu- sayangnya mereka tetap saja ‘kere seumur hidup. Walau begitu, mereka tetap manusia yang punya hak berkehidupan layak.
Mbok Mini biasa berjalan jauh untuk membeli beras, yang dimasak dengan kayu bakar di tungku yang hanya berbentuk tiga buah batu besar disusun berdekatan. Sebulan ia biasa hanya membeli 10 liter untuk cucunya. Kalau BBM naik, harga beras otomatis pasti naik karena desa Tanahlum itu jauh dari perkotaan. Naik 500 rupiah per liter saja mungkin membuat Mbok Mini harus mengurangi jatah berasnya. Alangkah baiknya pemerintah dan semua yang merasa cerdas dan smart sehingga mendukung kenaikan BBM kali ini mulai menganggap rakyat kecil, seperti Mbok Mini, anak-anaknya dan tetangganya sebagai manusia yang juga punya hak, bukan hanya sekedar angka statistik di atas kertas. 30 persen rakyat miskin di kertas kerja memang tak bisa mati, tapi Mbok Mini, saudara-saudaranya, dan ribuan keluarga miskin lain bisa sengsara, kelaparan, menangis dan mati. Berhenti menghitung seolah olah 150 ribu dana BLT bisa membuat hidup mereka layak setelah kenaikan BBM dan harga harga melambung tinggi. Coba saja, bisakah kita hidup dengan 150 ribu per bulan? Dapat apa? Mungkin beras kita sekeluarga saja sudah lebih mahal dari itu….
Saat meninggalkan Mbok Mini, saya tinggalkan sejumlah sembako yang mungkin bisa menghidupinya selama 1-2 bulan. Setelah itu si Mbok harus mencari sendiri lagi nafkah untuknya dan anak-anak. Saya benar-benar berdoa, apapun keputusan pemerintah tanggal 27 Maret, semoga membuat Mbok Mini masih bisa membeli beras buat anak-anaknya sebulan setelahnya.
aminnnn
No comments:
Post a Comment