
Di sebuah harian ibu kota beberapa hari lalu, ada sebuah gambar yang menarik perhatian saya. Lokasinya di desa Sanghiang Tanjung, Lebak, Banten. Masih dipulau Jawa, relatif dekat dengan pusat pemerintahan.
Gambar itu menunjukkan anak anak berseragam sekolah menyebrangi jembatan gantung yg rusak parah. Mereka terpaksa bergelantungan menjalani titian berupa tali pengikat jembatan. Dibawah mereka tampak sungai yang besar dan dalam. Sekali terpeleset, kemungkinan mereka akan meninggal.
Membaca caption dibawahnya, ternyata mereka melakukan hal itu setiap hari, untuk berangkat dan pulang sekolah. Jembatan itu jalan tercepat dan termurah sampai di sekolah mereka yang diseberang sungai. Luar biasa perjuangan mereka.
Lantas saya mereka reka berapa kira kira biaya memperbaiki jembatan seperti itu. Menurut saya sekitar 150 juta rupiah. Mahal memang, tapi cukup murah dibanding nyawa anak anak itu.
Di Sukabumi lain lagi yang saya lihat. Anak anak sekolah terpaksa berdesakan di ruang kelas yang tak memadai. Dua ruang kelas untuk 6 kelas. Saat hujan, sebagian terpaksa mengenakan jas hujan agar tak basah. Sisanya terpaksa berteduh berhimpitan di pojokan kelas yang masih dinaungi atap.
Butuh lima ruang kelas baru dan sejumlah biaya renovasi untuk membuat sekolah itu terlihat sedikit normal. Sederhana saja, sekedar tak basah saat hujan dan tak terik saat panas. Dana yang dibutuhkan cukup besar, mungkin sampai 800an juta menurut pemborong setempat, tapi menurut saya sepadan untuk membayar semangat puluhan anak yang tetap belajar walau tubuhnya basah oleh air hujan.
Kelihatannya memang butuh uang besar menjaga semangat dan keteguhan anak anak itu belajar. Ratusan juta. Tapi anak anak itu memang masa depan kita, dimana bangsa dan negara akan menggantungkan harapannya nanti.
Saya jadi teringat berita lain tentang anggota dewan terhormat, yang untuk kursi saja butuh tempat duduk spesial seharga sampai 24 juta sebuah. Ah betapa mereka menghargai pantat mereka.
Pesanan kursi itu bukan hanya mewah, pesannya pun harus lewat supplier tertentu agar memastikan kursi itu diimpor langsung dari italia. Padahal saya yakin tempat duduk lokal bisa lebih nyaman, elegan dan yang pasti lebih nyaman didengar harganya.
Bukan cuma itu, saya dengar mereka juga berniat memperbaiki 210 WC di gedung DPR dengan biaya 2 miliar rupiah. Kalau di rata-rata berarti perbaikan setiap WC dibiayai 9,5 juta rupiah lebih. Mewah? mungkin buat rakyat memang mahal, tapi kalau sudah urusan pantat kelihatannya dana di Dewan terhormat kita itu sangat mudah cair.
Bayangan bahwa biaya menyediakan enam atau tujuh kursi anggota dewan bisa membangun jembatan dan menghindarkan puluhan anak dari bahaya, benar benar membuat saya marah. Para anggota dewan yang sangat menghargai pantat itu, sibuk tuding menuding kesalahan, tapi tak satupun berusaha menolak menggunakannya. Mereka seperti sengaja menghina kebodohan para pemilihnya dulu.

Sekolah buat ratusan harapan bangsa dimasa depan yang hanya 800 juta tak juga terbangun, sementara WC tempat anggota dewan dan pembantunya meletakkan pantat untuk buang hajat -yang cuma dipakai sekali kali- segera dibangun dengan dana 2 milyar.
Cuma dua penjelasan yang ada di kepala saya; para dewan yang mengaku wakil rakyat ini memang sengaja hendak menghina rakyatnya atau mereka memang sangat menghargai segala sesuatu yang berhubungan dengan pantat mereka.
Dan kalau benar begitu, sangat menyedihkan. Mungkin pada pemilu berikut para pemilih harus memastikan bahwa pilihan mereka bukan sekedar pemimpin berjiwa pelayan yang hanya peduli pada hal-hal yang menempel pada pantat mereka...
sebenarnya mereka perwakilan rakyat yang mana sieh..?
ReplyDeletegak percaya tiap kali dengar angka biaya renovasi gedung dpr. ckckckck....
bener Novi... mereka ini bukan dewan perwakilan kok...
ReplyDeletewhahaha... ini perumpamaan yang bagus Dit! Bisakah dibuat tajuk di beita Trans Dit? Gue rasa ngga sarkas kok, dan masih bisa diterima: Anggota Dewan yang Lebih Peduli Pantat...
ReplyDeletejadi ingat karikatur di kompas. ada wakil bupati pengen jadi bupati. wakil gubernur pengen jadi gibernur. lah wakil rakyat apa gak pengen jadi rakyat?
ReplyDelete