16 June 2011

Meals On Wheels, program perhatian untuk Lansia


22 Desember 2005

“just called me Pete,”
itu katanya saat aku bertanya, bagaimana cara saya memanggilnya. Awalnya agak sungkan juga memanggilnya Pete. Bagaimana tidak, usianya hampir 3 kali lipat usia saya. Pete berumur 71 tahun, tapi masih tampak segar dan sangat energik. Tubuhnya cukup tinggi, lebih tinggi beberapa centi dari saya yang 173 centimeter, dan cenderung kurus. Rambutnya yang menipis dan sebagian besar sudah berwarna putih tersembunyi dibalik sebuah topi baseball warna merah tua.

Saya bertemu Pete di daerah pedesaan di Montana, Amerika Serikat. Saat itu saya sedang mendapat kesempatan melawat ke negara adidaya itu, untuk menyelesaikan sebuah tugas sebagai seorang jurnalis. Di Amerika itu saya mencoba menjawab pertanyaan ini; di Negara individualis seperti Amerika, bagaimanakah kepedulian masyarakatnya terhadap minoritas, orang dengan keterbatasan ataupun orang tua.
Pertanyaan itu yang akhirnya membawa saya bertemu dengan Pete.

Seorang teman memperkenalkan sebuah program yang disebut Meals on Wheels atau MOW. Program ini bertujuan memberikan bantuan makanan pada orang-orang yang terpaksa tinggal terikat di rumahnya, dan kesulitan mendapatkan makanan. Karena syaratnya adalah terikat pada rumah, kebanyakan yang menjadi pelanggan dalam program ini adalah orang cacat atau berusia lanjut yang tinggal sendirian. Saat di Montana, saya sempatkan datang ke markas MOW di Negara bagian itu.

Ide awal dari Meals On Wheels datang dari kegiatan The Women's Volunteer Service for Civil Defence, atau WVS di Hertfordshire, inggris tahun 1947. Kelompok ini adalah tenaga relawan yang membantu menyediakan hantaran makanan ke rumah-rumah pasca perang dunia II. Saat itu banyak keluarga mengalami kesulitan karena banyaknya laki-laki yang menjadi korban perang. Di Amerika Serikat sendiri, program ini diawali Januari 1954, saat

Margareth Toy, seorang relawan dari Philadelphia's Lighthouse Community Center memulai sebuah program hantaran makanan atas permintaan lembaga kesehatan dan kesejahteraan Philadelphia.
Sejak itu kegiatan sejenis dilakukan di banyak Negara bagian, dan dilembagakan sebagai sebuah kegiatan sosial, antara lain oleh The Meals on Wheels Association of America (MOWAA).
Saya bertemu dengan JR. Styles, direktur program Meals on Wheels di kota kecil Mankato, negara bagian Montana. Styles adalah pria tinggi besar dengan logat selatan yang kental. Ia menyediakan makanan dibantu 7 relawan dalam satu shift. Seluruh pekerja MOW, kecuali Styles adalah relawan yang bekerja tanpa dibayar, kebanyakan juga sudah berusia lanjut, tapi masih bersemangat menjalani hari-harinya.

Walaupun nyaris seluruh pekerja nya adalah relawan, MOW dijalankan dengan professional. Pendanaan MOW sebagian besar adalah sumbangan dari warga masyarakat ditambah sedikit bantuan dari pemerintah daerah. Dana itu di distrbuskan langsung kepada pelanggan yang kekurangan. MOW juga memiliki divisi khusus penarian dana, yang berusaha meminta donasi pada perusahaan besar atau mengadakan penggalangan dana dengan berbagai cara.

Selain pendanaan yang independen, administrasinya juga sangat rapi. Petugas administrasi sebagian besar adalah relawan dari kelompok professional. Relaan itu ada yang pekerjaan aslinya adalah pengacara, ahli pajak, pegawai bank, dokter dan bahkan buruh kasar. Masing-masing membantu dengan kemampuannya sendiri, bahkan ada yang hanya membantu dengan tenaga. Biasanya mereka menyediakan satu hari dalam seminggu untuk kegiatan MOW ini, semuanya dibawah penjadwalan dan komando dari direktur wilayah tersebut tentunya.
Di setiap wilayah ada petugas yang bertanggungjawab mengatur jumlah relawan yang bertugas setiap hari dan jadwal mereka. Para petugas itu juga memastikan jumlah makanan yang dibutuhkan dan melakukan pendataan rutin dari pelanggannya. Semua pelanggan MOW ini memang harus mendaftar dulu. Direktur seperti Styles juga bertugas memastikan, apakah pelanggan itu masuk criteria yang layak dibantu atau tidak.
Dengan pendaftaran itu MOW dapat mendata pelayanan seperti apa yang terbaik untuk Pelanggannya. Bahan makanan bergizi dimasak dengan memperhatikan pantangan khusus yang dimiliki pelanggannya. Untuk memastikan makanan itu sesuai dengan kebutuhan para lansia itu mereka dibantu seorang ahli gizi, yang tentunya juga relawan. Pengawasan ini dianggap penting karena pelanggan mereka yang umumnya sudah tua, biasanya memiliki sejarah penyakit yang berbeda-beda.

Para relawan MOW akan mengantarkan makanan satu sampai dua kali sehari, tergantung kebutuhan pelanggannya. Semua makanan akan dimasak secara bersama-sama oleh para relawan di dapur umum.
Didapur umum ini mereka juga menerima pelanggan yang ingin makan bersama ditempat ini, tentunya mereka juga harus mendaftar sebelumnya supaya tidak terjadi kekurangan pasokan makanan.
Setelah makanan selesai dimasak dan siap dikirim, giliran para supir relawan yang akan bekerja mengantar makanan itu. Salah satunya adalah Pete. Pria berusia 70 tahun ini sudah beberapa tahun menjadi relawan MOW. Setiap hari ia mengantarkan makanan kepada para lansia yang kesulitan memperoleh makanan atau hidup sendiri. Hari itu saya memutuskan ikut di mobil van nya.

“just called me Pete,” katanya saat saya tanyakan nama lengkapnya. Beberapa kali saya tanyakan, tapi jawabannya sama saja.
Sampai selesai mengikutinya saya tidak berhasil menanyakan nama belakangnya. Bukan karena Pete tertutup atau pendiam, bahkan sepanjang 2 jam perjalanan, Pete terus bercerita. Tapi sepertinya ia memang lebih senang dikenal sebagai Pete saja..
Cerita tentang dirinya sederhana. Pete sekarang tinggal sendirian dirumahnya. Anak-anaknya sudah beranjak dewasa dan pergi mencari kehidupan sendiri. mereka sempat memintanya menghuni sebuah panti relaksasi untuk lansia, tapi Pete merasa masih cukup sehat untuk berkarya, maka Ia memutuskan tinggal sendirian dirumahnya.
Kisah seperti itu memang sering terdengar di Amerika. Banyak kaum lansia di Negara ini yang memilih tinggal sendiri setelah anak-anaknya dewasa.

Saat mendengar cerita tentang MOW, Pete memutuskan mengunakan sisa hidupnya untuk membantu para lansia yang tidak seberuntung dirinya.Ia pun mendaftar sebagai relawan.
Kami berkeliling ke beberapa tempat. Adakalanya Pete hanya menyerahkannya didepan pintu, tapi dibeberapa tempat Pete juga masuk ke dalam rumah pelanggannya. Terkadang ia hanya menyerahkan makanan, tetapi di beberapa tempat ia berhenti untuk mengobrol.
Disalah satu rumah, saya memutuskan ikut masuk bersama Pete. Rumah itu cukup besar dan tampaknya berkecukupan. Pemilik rumah itu bernama Jacqueline, ia tinggal sendirian saja, padahal ia di kursi roda.
Pete duduk sebentar menemani Jaqueline mengobrol. Selain itu Pete juga membawakan beberapa obat yang dibutuhkan wanita itu. Jaqueline seumur dengan Pete, tapi ia terikat pada kursi roda. Osteoporosis kelihatan menggerogoti kesehatannya. Saya sempat berbincang sebentar dengan Jaqueline tentang MOW.
“ apakah program ini berguna untuk anda?”
“ sangat… tentunya sangat berguna. Anak muda seperti anda tentu tak bisa membayangkan hidup orang-orang tua seperti saya. “
“ Apakah sangat susah? “
“ kesepian tepatnya.. kedatangan Pete selalu dinantikan..” Jaqueline tertawa kecil.
“ Do you like Pete? “
“ yes, he is funny… “ Jaqueline tertawa lebih keras “ Pete teman bicara yang menyenangkan…”
Pete berkata bahwa Jaqueline memberikan sumbangan untuk MOW. Dia bukan salah satu pelanggan gratisan, tapi perlakuan padanya sama saja dengan kepada pelanggan lainnya. Saat kami berpamitan untuk melanjutkan tugas, saya sempatkan bertanya pada Jaqueline; apakah dia tahu nama lengkap Pete.
Jaqueline tersenyum dan menjawab:
“ dia Pete… buat saya, dia cukup sebagai Pete saja… saat ini untuk saya, susah mengingat nama belakang seseorang “

Saya memikirkan jawaban itu sepanjang perjalanan kembali ke dapur umum MOW.
Dinegara dimana lebih dari 25% penduduknya adalah kelompok usia lanjut dan lebih dari sepertiganya tinggal sendiri, program ini menjadi penting. Apalagi individualitas yang tinggi kerap membuat orang tak lagi tahu keadaan tetangganya. Berita tentang seorang lansia yang meninggal dirumahnya dan baru diketahui beberapa hari kemudian sangat sering terjadi di Negara ini, padahal tinggal sendrian di masa tua semakin jadi pilihan bagi para lansia disana. Dengan adanya MOW, para lansia yang hidup sendiri –terutama yang tak bisa bergerak bebas – dan juga keluarga yang meninggalkannya sendiri, bisa lebih tenang. Para lansia itu bisa mendapat sedikit perhatian dan pengawasan dari orang lain. Tugas seorang supir relawan memang bukan hanya mengantar makanan. Relawan juga mengawasi kondisi lansia yang tinggal sendirian, apakah butuh bantuan kesehatan, atau mungkin sekedar ingin ditemani. Kalau Lansia itu butuh perawatan tambahan atau pertolongan, relawan MOW segera akan menyampaikannya pada dinas pemerintahan terkait.

Uniknya kebanyakan dari relawan Meals on Wheels ternyata juga berusia lanjut. Relawan tertua bahkan berusia 80 tahun. Bagi orang-orang tua itu meals on wheels bukan sekedar program makanan gratis, tapi lebih merupakan perhatian pada kelompok lanjut usia.
Terpikir kondisi d Negara saya tercinta. Fenomena lansia tinggal sendirian juga semakin marak. Di kota-kota besar, budaya bertetangga yang dulu erat –saling berkunjung, saling bersapa- juga sudah mulai pudar. Jangan-jangan sebentar lagi program serupa MOW juga dibutuhkan di Indonesia. Atau jangan-jangan memang sudah dibutukan…
Mengantarkan makanan bersama Pete rasanya lebh mrip bertamu ke rumah teman-teman lama. Walau waktu kunjungan ke setiap rumah paling lama adalah 15 menit, tapi keakraban yang terpancar sangat menyentuh. Rasanya ingin menambah beberapa lama lagi menjadi relawan wheelson meals ini, tapi apa daya waktu saya sangat singkat. Saya harus segera melanjutkan perjalanan ke tujuan berikut.
Pulang menuju dapur umum, saya masih mendengar celoteh Pete tentang bagaimana MOW mengangkat semangat temannya sesama lansia. Temannya itu, yang dulu sulit untuk bangkit dan sudah pasrah dengan keadaannya, menjadi bersemangat sejak rajin didatangi dan diajak mengobrol seorang anggota MOW. Ia jadi rajin mengikuti terapi dan penobatannya, dan kini temannya itu bahkan sudah menjadi relawan juga.
Ketika saya tanya nama kawannya itu, Pete berkata sambil tertawa:
“ Her name is Jenny… Just call her Jenny.”

2 comments:

  1. waduh, gak ngebayangin hidup sendiri....

    ReplyDelete
    Replies
    1. jangan sampai deh.... kesepian itu lebih pedih dari putus cinta

      Delete