13 November 2010

memaki maki

Pagi ini dimulai dengan memaki-maki. Ransel kesayangan saya jatuh tepat dikubangan lumpur, gara-gara jalan yang rusak berlubang-lubang. Pertama saya memaki dinas PU yang tak juga memperbaiki jalan. Gara-gara mereka malas, tas saya jadi kotor berlumpur. Kemudian makian berkembang kepada segenap pengguna jalan disekitar saya. Pengendara motor yang tidak punya aturan, pengemudi mobil yang tak mau kalah, sampai pejalan kaki - yang karena menghindari lumpur - masuk ke badan jalan.
Pokoknya dimata saya semuanya sialan..

Sampai di stasiun kereta, hati saya masih dipenuhi makian. Kereta yang terlambat lebih dari 30 menit menambah ‘gondok’hati saya, apalagi petugas PJKA seperti alergi meminta maaf kepada para penumpang. Maki-makian dalam hati pun berkembang seperti jamur di musim banjir.

Saat mencari posisi nyaman untuk berlindung dari sang surya yang tampaknya semakin miskin belas kasih, saya kebagian disisi tong sampah. Stasiun memang penuh, tempat teduh nyaman berbangku pastinya sudah habis diduduki orang lain. Berdiri di sisi tong sampah yang setengah penuh dengan sisa jualan para pedagang kaki lima, seperti mangga busuk, bungkus-bungkus nasi uduk dan plastik-plastik kemasan sambil menunggu kereta, pastinya tidak menyenangkan.
Kontan membuat beberapa makian kreatif beredar lagi di hati saya.

Sedang kesal-kesalnya berdiri sambil membersihkan lumpur di ransel saya, seorang tua berpakaian kumal datang mendekati saya. Dari matanya yang tidak fokus dan gerakan yang khas saya langsung menduga; ia adalah seorang kurang waras – atau paling tidak stress berat – yang dikirim langsung oleh Tuhan untuk menambah koleksi umpatan saya
hari ini.

Dan saya benar.. dia dikirim langsung oleh Tuhan... tapi hanya untuk memperingatkan saya...

Orang tua kecil kumal itu mendekati saya dan mulai mengorek tempat sampah disebelah saya. Kelihatannya mencari sesuatu. Tak berapa lama ia mengangkat tangannya, wajahnya menekuk aneh – saya pikir mungkin itu senyuman -. Di tangannya ada sebuah mangga yang sudah busuk separuh.

Saat itu hati saya bergerak melecehkan – ya Allah ampuni hambamu ini – menduga itu hanya akting yang akan dilanjutkan dengan meminta-minta pada orang terdekat, yaitu saya. Saya sudah menyiapkan hati batu untuk menolak permintaan itu, betapapun memelasnya...

Ya Allah ampuni hati hambamu ini....

Tapi saya keliru menduga.
Ia tidak meminta apapun dari saya. Ia merogoh gembolan yang dibawanya, mengeluarkan sepotong besi engsel pintu yang sudah ditipiskan. Menggunakan potongan pisau itu sebagai pisau, orang tua itu duduk mencakung diatas tong sampah itu. Pelan-pelan ia memisahkan bagian mangga yang sudah busuk dan membuangnya. Kemudian perlahan mengupas mangga yang belum busuk, membuang kulitnya, dan mulai memakannya. Perlahan dan tidak terburu-buru. Ia membuang semua kotoran yang dibuatnya ke tempat sampah dan tak menoleh sedikitpun pada saya.
Ya, ia tidak meminta sesuatu pada saya, ia malah memberikan sesuatu pada saya. Mengumpankannya langsung kedalam hati saya..

Saya merasa seperti ditampar.
Semua prasangka saya tentangnya tak terbukti. Satu-satunya yang dibuktikan hanya bahwa hati saya masih kotor. Sangat dangkal.
Bahkan pada orang yang kurang waras pun hati saya masih berprasangka buruk. Sekotor apa hati saya ini? Entah lebih kotor mana tempat sampah itu dengan hati saya yang dipenuhi umpatan dan prasangka.

Mendadak saya malu. Malu sekali.
Penumpang yang hilir mudik di peron tak mengambil peduli pada orang tua itu. Kerumunan dengan pakaian berwarna-warni itu terus bergerak, tidak berhenti sejenak untuk melihat pada si orang tua. ia seperti tembus pandang bagi mereka, seperti sebuah subyek yang kelabu dengan background pelangi.
Pasti saya tadinya sama seperti mereka. membatukan hati untuk tidak mempedulikan orang lain karena prasangka.
Entah sudah sekeras apa hati kami sekarang.

Hati saya jatuh kasihan, mungkin ia lapar. Tapi teguran dari saya sepertinya tak berguna bagi dia yang tengah menikmati rizqi miliknya.
Tidak seperti orang-orang berdasi yang pergi bekerja dengan niat mengambil hak orang lain. Ia tak mencuri.
Ia tak mengganggu atau merepotkan orang lain. Tidak merasa perlu membentak-bentak, seperti majikan yang meneriaki pelayannya.
Ia bertindak jujur dan tidak munafik. Tidak seperti kita yang memaki-maki artis di televisi, tapi tetap menonton gosip tentang mereka.
Ia berjalan pelan dan hati-hati.
Tidak seperti ratusan pengguna jalan, yang selalu berusaha menyalakan klakson keras-keras untuk memberitahu orang lain bahwa saya orang penting, bahwa saya harus dibiarkan lewat !, bahwa sayalah yang selalu benar.
Ia berjalan menunduk dan rendahkan kepala. Tidak seperti kita, yang memaki orang lain yang memotong jalan kita, dan kemudian malah melakukan hal serupa pada orang lain.


Mungkin dia tidak waras, tapi tindakannya terasa sangat waras buat saya.
Saya semakin malu. Malu sekali.

Pagi hari ini diakhiri dengan air mata. Rasa malu di hati ini membuat aku mengeratkan jaketku dan beranjak pergi dari bayangan orang tua itu. Air mata menggenang di mata saya dan rasa malu, sedih, takut dan kecewa yang menekan, membuat saya berpikir,:
Masihkah saya layak menepuk dada dan mengaku beriman, kalau hati saya dipenuhi umpatan dan serapah?
Masih layakkah saya bersujud, bahkan masuk ke lindungan Allah, kalau hati saya penuh prasangka dan kemunafikkan?
Masih pantaskah saya berdoa memohon sesuatu pada Sang Rahman dan Rahiim, kalau hati saya telah mengeras oleh rasa tak peduli pada penderitaan orang lain?
Masih bisakah aku mengaku berada di Jalan yang lurus, kalau sehari-hari aku terus merasa benar, menyalahkan orang lain dan mementingkan diri sendiri?.

Saat kuangkat ranselku, sisa lumpur yang menempel malah mengotori celanaku. Tapi noda lumpur itu terasa tak penting lagi. Saya tahu bisa membersihkannya kapan saja, dengan mudah.
Yang saya tidak tahu, bagaimana saya bisa membersihkan hati saya dari noda-noda yang melekat padanya.....

----------

“ya Allah, jika Engkau menentukan tas ku harus jatuh dan bernoda lumpur, aku menerimanya, ya Rahman ya Rahiim, tapi tolong selamatkan Hatiku dari noda lumpur prasangka dan kesombongan ini.”

reposting... Agustus 2010

No comments:

Post a Comment