Saya baru saja diberi nasihat oleh seorang supir taksi bernama Taslim. Jangan bayangkan dia supir senior dengan jenggot lebat dan peci bulat menempel dikepala seperti para pengkotbah jumat. Taslim masih muda. Umurnya paling tinggi baru 30 tahun.
Saya menyetop taksinya di depan mesjid Cut Meutia, di daerah Gondangdia, dan memintanya mengantar saya ke bilangan Mampang Prapatan, tempat kantor saya berada.
Sebenarnya dengan jatah uang semakin menipis, pengeluaran dengan taksi akan menyakiti cash flow saya sampai terima gaji berikutnya. Tapi apa boleh buat, saya buru-buru.
Maka saya setoplah sebuah taksi putih. Awalnya saya pikir dia tipe supir taksi yang pendiam. Wajahnya memang tenang, cukup ngganteng walau mungkin hanya untuk perempuan jawa, rambutnya pendek dan rapi mirip dengan tampilan fotonya di kartu identitas pengemudi yang tertempel di dasboard. Baru meluncur beberapa menit handphone nya berbunyi nyaring, setelah meminta maaf Taslim menjawab panggilan itu.
Sekilas saja mendengar saya tahu yang menelpon adalah wanita, karena Taslim merendahkan nadanya, yang dihargai dan sangat mungkin disayang. Istrinya tebakan saya. penampilannya terlalu rapi dan old fashion untuk seorang supir taksi bujangan. Percakapan hanya sebentar, Taslim hanya berkomentar menyetujui dan menutupnya dengan janji segera akan ditelpon lagi," saya sedang bawa tamu," begitu katanya.
Dari logat bahasa jawa yang dipakai, saya menebak, Taslim hidup dan besar di daerah pertengahan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Ia mengaku berasal dari Indramayu...
" Istri di kampung, mas?," aku bertanya sekedar membuka pertanyaan. Kemacetan bakal membuat kami akan lama bersama-sama, mengobrol sepertinya sebuah opsi yang normal.
" iya, mas."
" Emang sebaiknya gitu ya, Nyari uang di Jakarta, keluarga di kampung. Kalau di kampung kan biaya hidup rendah."
" Betul juga mas.. DI kampung seratus ribu bisa makan seminggu sekeluarga... disini bisa cuma sehari buat satu orang."
" Memang... Jakarta cuma keren tampilannya doang. Biar gaji gede juga, income nya tetep kecil.."
" Bisa aja mas."
" bener kok. biaya hidup di sini gila-gilaan..."
" setuju kok mas. Saya sih yang penting bisa dapat untuk makan aja sudah seneng."
" mungkin mas Taslim dapet seharinya lebih gede dari mereka.." aku menunjuk pria dan wanita rapi yang berseliweran di sepanjang trotoar. Waktu makan siang sudah tiba.
Taslim hanya tertawa. Saya alihkan pandangan ke dashboard, kartu pengemudinya menunjukkan Taslim sudah tiga tahun jadi karyawan di perusahaan taksi itu.
" ya mungkin juga mas. Mereka makannya sama-sama di tempat seperti saya kok."
" keliatannya seperti orang sukses ya? kalau nggak tahu bisa iri terus, mas.."
" Sukses itu kan gak sama mas." Taksi kami sudah mencapai ujung jalan kuningan, Mampang tinggal sebentar lagi. Taslim tampak lebih rilex.
" Maksudnya apa, mas?"
" kesuksesan itu seperti memandang gunung, mas, dari jauh tampak begitu tinggi, halus, berwarna indah dan mempesona, tapi kalau sudah didekati dan di daki gunung itu malah menghilang. yang ada hanya tanah atau hutan yang nggak rata."
kata-kata itu membuatku berhenti bicara.
Analogi nya menabrak saya seperti sebuah truk tanah menabrak gardu hansip.
Kesuksesan nampak indah dari jauh, tapi saat sudah mencapainya, tidak ada lagi gunung indah hanya dataran tak rata. Mungkin mimpi begitu juga...kalau saya terlalu rendah menetapkan gunung yang akan saya daki, jangan-jangan saya segera akan sampai puncak dan kehilangan 'gunung' saya...
dan saat kehilangan mimpi, kamu akan kehilangan motivasi, kehilangan keinginan untuk melanjutkan dan pada gilirannya kehilangan dirimu sendiri..
Kami tidak bicara lagi sampai taksinya berhenti didepan kantor saya. Saat membayar ongkos, saya lebihkan sedikit untuksekedar makan siang. jumlahnya cukup besar dibanding bayaran seharusnya, tapi rasanya jadi murah kalau dihitung dengan makna kata-katanya yang dibagikan untuk saya.
Tak apa kantong saya menjadi kosong asal hati terasa penuh...
didit
as one sherpa wrote in his story:
never chase the mountain... become the mountain!
then everyone will come to you...
No comments:
Post a Comment