Malam tadi saya menginap di sebuah hotel mewah di Semarang. Biasalah, alasan tugas.
Iseng-iseng saya mencoba-coba TV kabel di kamar. Lengkap...ada HBO, ada Cinemax, CNN dan Al Jazeera.
Tapi akhirnya saya pilih menonton berita daripada fiksi. Kelihatanya buat saya, kenyataan biasanya selalu lebih menarik daripada mimpi. Saya putuskan menonton sebuah tv berita lokal berita yang menurut saya masih cukup baik menyampaikan kabar tanpa harus membuatnya menjadi kontroversi dan tontonan debat vulgar. Saya memang berharap berita terbaru, tapi dalam berita malam -tanggal 25 Maret pagi- itu, malah muncul sesuatu yang mengerikan menurut saya.
Berita yang muncul adalah berita tentang kondisi anak dibawah umur korban perkosaan yang menolak sekolah karena malu pada teman-temannya. Alih-alih bersimpati dengan rasa malu anak itu, tim berita TV berita itu dengan santainya menayangkan gambar rumah si anak, dengan ibu dan si anak yang bersandar dipelukan ibunya.
kesan itu saya dapat karena saat sang presenter mengatakan tentang korban pekosaan di bawah umur, gambarnya adalah baju si anak yang didekap ibunya tersebut
Saat itu gambar wajah si ibu terlihat tak tertutup, walau agak jauh. Saya pasti bahwa semua yang mengenal keluarga itu akan tahu siapa mereka.
Saya merasa berduka bagi mereka. Mudah-mudahan tak ada satupun tetangga atau siapapun yang mengenal mereka tengah menonton berita.
Awalnya saya kira itu kesalahan saja, karena 10 detik berikutnya hanya kaki dan bagian-bagian tubuh si anak –yang mengenakan piama pink- yang diambil. Syukurlah, pikir saya, teman-teman di TV berita itu hanya silap.
Ternyata kelegaan saya hanya bertahan beberapa detik. Saat sang presenter bicara tentang tanggapan LSM yang berwenang tentang korban perkosaan bawah umur dan penangannya. Muncul gambar seorang wanita tengah di wawancara –kelihatannya juru bicara LSM tersebut. Saya tidak bisa tahu, karena tak ada suaranya. Berita itu hanya sebuah VO yang dibacakan presenter. – yang membuat saya berduka, selama sekitar 7-8 detik, di bahu kanan sang juru bicara LSM, terpampang wajah si ibu dan si anak yang mungkin adalah korban perkosaan- secara frontal.
Anak itu juga tengah memandang ke kamera.
Sebagai seorang praktisi televisi saya jadi berduka.
Masa’ tidak ada toleransi sekedar mem Blur wajah atau menghitamkannya? Kita sedang bicara tentang anak-anak korban perkosaan... dimana hati nurani yang tega menambah rasa malunya dengan menunjukkan muka mereka ke penonton secara nasional?
Saya benar-benar kaget dan kecewa. Kalau bicara peraturan KPI, perbuatan itu jelas melanggar. Tapi saya kurang terlalu peduli pada peraturan penyiaran, saya lebih peduli pada hati nurani para pelaku penyiaran..
Sudah begitu bekukah hati kita? Sudah begitu mirip robotkah dalam mengerjakan tugas kita? Sampai-sampai menambah effort untuk melindungi identitas korban perkosaan tidak lagi dilakukan?
Beberapa menit kemudian, di paruh kedua Metro malam VO yang sama –dengan penyiar berbeda- ditayangkan kembali. Tanpa perubahan satu katapun dan blur satu inchi tambahan.
Saya memikirkan anak itu. Tanpa disiarkan TV saja dia sudah malu, bagaimana besarnya rasa malunya kalau ada keluarga jauh yang mengenalinya? Bagaimana masa depannya.
Mendadak saya juga memikirkan rasa malu saya.
Apakah saya juga sudah sampai taraf seperti teman-teman itu?
Saya bergidik memikirkannya....
Tak terasa saya merubah channel saya ke HBO.
Paling tidak saya tahu, segala kekejaman di film-film yang saya tonton di channel ini hanya rekaan, dan bukan kenyataan yang sesungguhnya....
Grand Candi, Semarang
25 Maret 2010
No comments:
Post a Comment