04 November 2006

MATAHARI TAK BERMATA

Bab I

Tangisan miris membelah udara malam itu. Arahnya dari sebuah rumah tua dari batu bata kokoh. tangisan itu benar benar menyedihkan sekaligus mendirikan bulu roma, bahkan menghentikan langkahku yang tengah menuju ke rumah itu. tetes hujan membasahi jaket parasutku. kuseka wajahku, tapi kakiku tak jua melangkah, seolah membeku mendengar suara tangisan yang timbul tenggelam. tiba-tiba tangisan itu lenyap dan Aku termangu berdiri di jalan setapak menuju rumah tua di kaki bukit itu. berdiri di tengah gerimis menatap rumah peninggalan kakekku yang baru meninggal dunia.

Hari beranjak senja, langit mulai menggelap. Untung deretan obor yang dipasang jarang-jarang sepanjang setapak menuju rumah itu membantu menerangi langkahku. setiap tiga ratus meter terpasang lampu kecil yang dayanya dicantol langsung dari tiang listrik di sekitarnya. Rumah itu memang agak terpencil. rumah peristirahatan milik kakekku berdiri ditengah-tengah perkebunan karet miliknya. hanya ada tiga rumah dan sebuah kandang kuda. sebuah rumah kecil yang berdiri agak jauh dari rumah utama ditempati pengurus rumah tangganya, Bi Muk dan Pak Acep. Sementara rumah terkecil yang satu lagi dibiarkan kosong. Setelah nenekku meninggal, kakek mengurung diri dirumah ini.

Kakekku dulu orang kaya. ia pemimpin sebuah perusahaan kayu di kalimantan. Setelah anaknya menikah semua, termasuk bapak saya, kakek menyepi ke tengah perkebunan karet luas ini. Kakek menjual perusahaannya, membagi hartanya pada semua anaknya, dan menyisakan sebuah perkebunan yang disebutnya bekal hari tua. Kakek dulu sangat disayangi penduduk sekitar, pasalnya ia rela memberikan sebagian hasil kebunnya untuk diurus masyarakat sekitar. Kakek dan nenek juga populer karena rumah dan halamannya biasa menjadi tempat perayaan jika ada hari besar atau kejadian penting seperti pernikahan atau khitanan. Tapi sayang, nasib kakek tidak terlalu baik. Pengelola perkebunan yang sangat dipercaya malah menipunya, melarikan semua aset dan ijin-ijin yang diperlukan untuk menjadi pemasok karet ke perusahaan besar. Perkebunanpun terpuruk dan kredit bank mulai tersendat. Akhirnya hanya kebun karet dan rumah tua zaman Belanda itu yang tersisa. Kebangkrutannya menimbulkan penyesalan mendalam. Beberapa bulan setelah itu, nenekku meninggal dan kakekku mulai mengurung diri. Awalnya anak-anak dan cucunya mencoba mengajaknya keluar dan bergembira, tapi setelah dua tahun hanya sedikit yang masih mengunjunginya. Aku salah satu diantaranya.

Saat di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, hampir setiap liburan panjang aku menginap di rumah kakek. Aku sendiri mengenang kakek sebagai lelaki tua yang ramah. Pendiam tapi ramah. Kakek selalu mau bermain denganku di siang hari, tapi di malam hari ia jadi pemurung dan lebih banyak menghabiskan waktu di kursi malasnya. Aku sendiri senang berkunjung dan berlibur di tempat kakek. Selain cuacanya yang sejuk, makanan lezat dan camilan yang selalu disediakan Bi Muk selalu menjadi alasan untuk menyelinap ke dapur. Aku juga punya banyak teman dari kampung sekitar, yang paling dekat ada 3 orang Siti, Josef dan Bunga. Kami selalu bermain bersama setiap liburan. Selain itu aku juga sering bermain bola dengan anak-anak kampung Situ Aren. Aku ingat beberapa orang, Jalu, Rangga dan Oli selalu menjadi rekan satu tim ku. Pendeknya, aku punya banyak teman disana.

Sayang sejak aku tamat Sekolah Menengah Pertama, ayahku pindah ke pulau lain. Akibatnya aku tak bisa lagi mengunjungi kakek dengan leluasa. Apalagi sebuah peristiwa membuat ayahku semakin tak nyaman kalau aku menginap sendiri di rumah kakek itu.

Saat aku berusia 18 tahun, kakek mengirimi kami pesan untuk berkunjung. Katanya ia sakit keras. Ayah langsung mengajakku dan ibu menjenguk. Saat kami tiba rumah kakek telah dipenuhi oleh kakak-kakak dari ayah, dan sepupu-sepupuku. Hanya selang beberapa jam adik Ayah dan suaminya juga tiba. Awalnya aku menduga akan menemui kakekku terbaring di tempat tidur, tapi ternyata kakek malah memperkenalkan seorang yang mengejutkan semuanya.
“namanya Laila”, kakekku tersenyum dan menggandeng tangannya.

Yah.. namanya Laila Saraswati. Ia adalah istri muda kakekku. Bayangkan, kakekku yang berusia 71 tahun memiliki istri berusia awal 30 an. Hening sesaat, setelah itu suara yang muncul dalam ruangan itu tak terlupakan olehku. Mirip seperti raungan harimau digabung dengan dengungan seratus ekor kumbang.
“Bapak, kenapa …?”
“Bapak harusnya cerita dulu…”
“Kenapa bohong? Saya hampir serangan jantung saat dengar bapak sakit keras..”
“Apa-apaan bapak?”
Keributan lambat sekali mereda, tapi kakek hanya tersenyum sambil membelai tangan Laila. Istri muda kakekku itu tampak tertekan, tapi masih berusaha tersenyum. Laila bermata bulat hitam dan besar. Wajahnya bulat, cukup manis, tapi dia tak akan terpilih jadi gadis sampul majalah. Wajah dan penampilannya sederhana tapi bersih. Kakek berusaha meredakan keributan dengan lambaian tangan dan menarik istrinya mendekat ke kerumunan anak cucunya. “Maaf, kalau bapak bilang yang sesungguhnya.. mungkin kalian tak akan mau datang”

Tante Mira, adik ayah meninggalkan suaminya maju mendekati kakek.
“Kenapa papa tidak bilang sama kami?”
“bilang apa?”, kakek tersenyum. “kalian sudah sibuk, papa tidak mau mengganggu. Kali inipun papa hanya minta persetujuan kalian.”
“Papa tetap harus memberi tahu. Kami akan datang saat pernikahan”, Ayahku berkata keras. Nadanya tinggi, seperti biasa saat ia gugup atau marah.
“..aku tak akan datang..” Om Panji menggerutu. Mengalihkan pandangan dari pasangan didepannya ke arah pot bunga di sudut ruangan.
Kakek tersenyum sekali lagi, ia mengalihkan pandangan ke arah Laila yang menyambut senyumnya.
Entah apa yang dilihat orang –orang saat itu, tapi aku perhatianku tersita oleh Laila yang terus menatap kakek. Matanya yang bulat besar menatap wajah kakek seperti berusaha mengingat setiap kerutan dipipi renta itu. Dan pandangan itu, mengingatkanku pada pandangan ibu pada ayah, pada pandangan kekasihku padaku. Aku tersadar, sesuatu yang nyaris mustahil terjadi, Laila jatuh cinta pada kakekku!! Entah apa yang dilihat orang-orang lain di ruangan itu, tapi sinar mata Laila merampas seluruh perhatianku.

Kami hanya tinggal dua hari. Malam sebelum pulang, akhirnya anak-anak kakek sepakat membiarkan kakek berbahagia dengan istri barunya. Tidak semua setuju, tapi semuanya sadar tak akan bisa merubah keputusan kakek. Jadi ayah memutuskan kami pulang segera setelah memberi selamat pada kakek dan istrinya. Dalam perjalanan pulang aku ceritakan kesan ku tentang hubungan kakek dan Laila, Ayah ku agak kaget dengan penilaian saya. Tapi mau tak mau dia setuju dengan kesan ku bahwa kakek terlihat jauh lebih berbahagia hari ini dibandingkan hari-hari sebelumnya setelah nenek meninggal. Kami pun berbincang panjang dan sepakat membiarkan kakek menjalani hidupnya dan berbahagia di hari tua. Kami sepakat akan kembali pada hari raya idul fitri untuk bersilaturahmi, tapi tidak sebelumnya. Kakek sudah memiliki sebuah kehidupan lagi, dan kami ingin menghargainya.

Tapi ternyata kesepakatan itu tak bertahan sampai seminggu. beberapa hari kemudian kami terpaksa kembali ke rumah kakek, sebuah kabar menyedihkan membuat kami merasa kakek akan membutuhkan kami. Om Panji menelpon kami dan menyampaikannya ; Laila meninggal!!, itu berita yang sampai pada kami.
Om Panji menyambut saat kami tiba di teras rumah batu kakek.

“Mas, apa kabar? “, ayah menyalami om Panji yang tampak prihatin.
“baik, To.. ayo masuk..”, om Panji juga menyalamiku erat. Kemudian kami bersama melangkah ke dalam. Wajah om Panji tampak keras. Di ruang tengah kami bertemu tante Lies, istri om Panji. Rupanya baru kami yang datang.
Setelah meletakkan bawaan kami, ayah mau mencari kakek di kamarnya, tapi om Panji menarik kami duduk dulu di ruang tengah.
“ To, dengar dulu ceritaku.... kamu juga le. Biar nggak salah omong nanti sama bapak.”
“iya, mas,” ayahku mengambil sikap mendengarkan. Duduk di kursi makan yang ditarik mendekat ke om Panji. Aku ikut menarik sebuah kursi pendek mendekat.

Om Panji menghela nafas, dia tak buru-buru memulai dan malah seperti menunggu tante Lies selesai meletakkan beberapa gelas es sirup di meja kecil di depan om Panji. Aku meneguk ludahku. Sirup itu begitu menyegarkan di siang terik seperti saat itu. Es yang mengapung berasap saking dinginnya, embun di bagian luar gelas memperkuat kesan itu. Sementara sirup merah, yang kupikir pasti sirup cocopandan kegemaran keluarga besarku, tampak menggiurkan. Kepekatannya menggambarkan rasa manis, dingin dan besah yang akan mengalir lewat kerongkonganku. Lamunanku dibuyarkan helaan nafas berat dari om Panji. Berat, kelewat berat. Seketika tanganku yang sudah menjangkau kearah gelas sirup itu terhenti. Wajah om Panji mendadak tampak tua dan terbebani. Kesan itu membuatku tersadar apa yang akan disampaikannya akan mengubah banyak hal mulai hari itu.
Ayah juga sepertinya merasakan hal yang sama.
Om Panji menghela nafas lagi dan bicara dengan suara yang datar.
“Laila.. tidak meninggal dunia dengan wajar..”, seakan memberi penekanan pada kata-kata itu, om Panji berhenti dan menarik rokoknya keluar. Saat menyalakan rokok itu pemantiknya bergetar. Aku perhatikan, ternyata jari-jarinya yang bergetar.
“maksud mas, tidak wajar ? bagaimana tidak wajarnya? Apa dia berpenyakit berat?“, ayahku menggeser duduknya ke ujung kursi. Ia tertarik.
“tidak wajar.. bukan, bukan sakit.” Om Panji membuang pemantiknya begitu saja. Saat pemantik besi itu menghantam meja, suara benturan terdengar bagai letusan senjata di keheningan suasana.

“jadi kenapa?”
“pulung...pulungnya datang..,” seperti mendadak tercekik om Panji menjangkau gelasnya dan meneguknya beberapa kali. Wajahnya pias. Ayahkupun terdiam. Wajahnya mendadak suram. Aku mengerti mengapa mereka terlihat pucat. Pulung yang dimaksud om Panji adalah pulung gantung.
Pulung gantung adalah kepercayaan masyarakat di Jawa Tengah, yang sebagian besar berakar di daerah Gunung Kidul. Pulung gantung adalah sebutan bagi semacam pertanda kasus bunuh diri -- biasanya dengan cara menggantung, yang akan terjadi. Pulung gantung berupa sinar di malam hari yang mengarah kepada rumah yang penghuninya akan melakukan aksi bunuh diri.
Untuk keluargaku pulung gantung mempunyai makna yang sangat mendalam..
“bagaimana dengan bapak?” Ayahku lebih dulu memecahkan keheningan.
“bapak terpukul sekali, ia tidak mau keluar kamar.”
“sebenarnya bagaimana ceritanya?”
“sebenarnya agak menyeramkan”. Om Panji bergidik.
“bagaimana mas Panji bisa lebih dulu sampai?”
hening terasa menggantung di udara sampai helaan nafas berat terdengar dari mulut om Panji. Ia menggeserkan badan di sofa, mencari posisi yang nyaman. Ayah juga menggeliat. Aku sadar mereka tengah mengendurkan kegundahan.

“aku kesini untuk meminta bapak menceraikan perempuan itu. Aku menduga dia Cuma tertarik pada harta bapak.”
“mas, kok aneh... bapak kan bukan orang kaya lagi?”
“untuk ukuran orang kampung sini, bapak benar-benar tuan tanah kaya..”
“iya juga, tapi bapak kelihatan bahagia..”
“tergila-gila lebih tepat. “
“itu namanya ikut campur, mas”
“aku Cuma tak mau bapak tertipu..”
“tetap saja namanya ikut campur.”
“Aku berencana menawarkan uang pada perempuan itu, agar dia meninggalkan bapak”
“itu sudah menghina namanya, mas!!”
ayah terus menyahuti kata-kata om Panji dengan ucapan-ucapan yang tajam. Tampak sekali ayah gusar. Ayah memang biasa bertengkar dengan Om Panji, mereka sangat dekat sekaligus sangat berlawanan. Om Panji emosional dan lantang berbicara, sementara ayah pendiam tapi tak pernah mau kalah berdebat. Iasanya mereka berdebat tentang berbagai masalah hanya karena senang saling berdebat, tapi kali ini aku bisa merasakan ketegangan dalam percakapan mereka. Ayah tidak bersuara keras, suaranya perlahan tapi seperti menyimpan magma yang siap meletus kapan saja, sementara suara om Panji terus meninggi.
“ Jadi kamu mau kalau bapak tertipu orang?”
“tidak mau, tapi bapak sudah lebih sepuh dari kita dan pintar, bapak tahu resikonya.”
“ bapak jelas jelas kesengsem setengah mati.. bahkan merasa tak perlu bilang pada kita untuk menikah!.” Om Panji meninggikan lagi suaranya, nyaris berteriak. Ayah malah merendahkan suaranya, memberikan penekanan pada setiap kata yang disebutkannya. Kursiku mendadak terasa tak nyaman lagi.
“ bapak kelihatan bahagia!!.. bapak sudah makan asam garam lebih banyak dari yang kita impikan, bapak mengerti resikonya.. kita ini tahu apa dibanding bapak?”
“Bapak memang sudah sepuh, makanya jangan sampai dia patah hati seperti ABG..”
“bapak kelihatan bahagia..apa itu nggak cukup,mas?”
“ bahagia sekarang, tapi bagaimana kalau ditinggalkan setelah seluruh hartanya disedot habis? Bagaimana ha?,” om Panji berdiri. Menumpukan kedua tangannya di meja untuk mendekatkan wajahnya ke arah ayah. Mata mereka beradu pandang.. tiba-tiba ayah berdiri dan berkata keras. Kali ini suaranya meninggi. Di kursi dekat pintu ruang tengah dalam kulihat tante Lies berdiri serba salah.
“mas...!! kebahagiaan yang terlihat di wajah bapak setara dengan harta bapak... walaupun seluruh harta bapak hilang, saya tetap lebih suka melihat senyuman di wajahnya... sudah bertahun tahun bapak murung, sekarang kalau wanita itu bisa bikin bapak bahagia saya akan serahkan berapapun yang dia mau.. lagipula anak bapak sudah tidak ada lagi yang meminta uang.. tak ada lagi yang butuh di openi, jadi biar bapak menggunakan sisa uangnya sesuka bapak... biar saja...!!”
beberapa jenak ayah dan om Panji beradu pandang. Sesaat kemudian om Panji menjatuhkan diri lagi di kursi. Ayah juga duduk lagi dan membuang pandangnya.
“maaf, mas... saya emosi” suara ayah kembali lirih.. ia masih memandang keluar jendela.
Om Panji bersandar di kursi dan mengusap wajahnya. Mendadak ia tampak sangat tua.
“ndak apa, kamu benar kok.. saya terburu nafsu menyangka wanita itu macam-macam.”

Pintu gerbang berderit saat seseorang membuka pagar. Om Bayu, kakak tertua ayah tampak memasuki pintu gerbang bersama anaknya Gadis Cahyani, atau biasa dipanggil Adis, yang sebaya denganku. Istrinya, tante Ani, berjalan dibelakang mereka. Om Panji dan ayah bergegas bangun dan menyalami mereka. Aku mengikuti mereka.
“Mira sudah datang?”
“belum, mas. mungkin sebentar lagi.”
“tapi kamu sudah telpon dia kan?”
“sudah mas”

Om Bayu langsung memberondong om Panji dengan pertanyaan seputar apa yang terjadi. Tanpa mengambil minuman, kami kembali duduk di ruang tamu. Adis duduk disamping ayahnya, sementara tante Ani menuju ke ruang belakang. Ia bermaksud menemui tante Lies dan bersama-sama akan mengunjungi bi Muk yang masih shock di rumah kecil samping rumah batu kakek. Berkali-kali aku melihat Adis mencuri pandang padaku.
Sekali lagi om Panji bercerita tentang kejadiannya...


Bab 2
Om Panji

Pagi-pagi sekali saya dan Lies mendatangi rumah batu milik bapak. Sebenarnya saya kurang suka mendatangi rumah batu itu, entah kenapa rasanya tidak nyaman. Lies malah selalu memilih tidur di guest house kecil disamping rumah itu jika kami menginap disana. Rumah tua itu rasanya sangat tidak menyenangkan. Seperti ada aura yang membuat tubuhku letih dan merasa tidak betah.

Walau tak suka kali ini aku paksakan untuk menuju rumah bapak. Ada sebuah berita yang harus aku sampaikan. Berita tidak menyenangkan memang, tapi penting sekali untuk disampaikan. Beberapa hari lalu bapak baru mengenalkan istri barunya pada kami, seorang perempuan kampung – yang memang berasal dari kampung – yang usianya kurang dari separuh usia bapak. Kejadian itu benar-benar menampar harga diri saya. Bayangan bahwa bapak saya menikah lagi tanpa memberi tahu saya, benar-benar mengesalkan. Saya juga belum pernah tahu siapa dia. Kapan dia kenal bapak, bagaimana bisa dia merayu bapak. Benar-benar membuat saya penasaran.

Pintu rumah tua itu berderit membuka. Saya langsung masuk saja karena biasanya bapak memang tak pernah menutup pintu. Suasana agak sunyi, hanya terdengar suara wayangan dari radio kuno yang terletak dibagian belakang ruang leyeh-leyeh bapak.

"haloo, bapaak... ini Panji, paaak.."
Saya merasa harus berteriak-teriak dari pintu depan. Biar bagaimanapun sekarang ada orang asing di rumah bapak, yah.. istri mudanya itu.. Teriakan saya cukup keras, tapi tak ada yang menyahuti dari dalam. Malah dari luar ada yang datang. Pak Acep.

"Ada apa den Panji?"
"Oh.. nggak apa pak Acep. Kok sepi yah? Bapak kemana?"
"tadi ada den didalam. mungkin sedang tidur den."
"wah, temani saya ke dalam pak.. ndak enak kalau ketemu wanita itu.."
"oh.. monggo den, ayo."

bersambung...

No comments:

Post a Comment