01 October 2005

CLASS ONE SYSTEM

Hari ini aku jalan ke sebuah sekolah di cheney, dekat kota Lincoln, Nebraska. Kami bermaksud mencari sekelompok orang yang berusaha merubah undang undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Negara bagian Nebraska.

Undang undang itu sederhana. Pemerintah Negara bagian Nebraska akan menghapus sekolah sekolah kecil (class one) yang kekurangan murid. Di Nebraska ada sekolah umum yang berskala besar, dalam arti sekolah itu memiliki jumlah murid besar dan tingkatan kelas yang lengkap. Biasanya dari kelas K (pre school) sampai kelas 12 (SMA). Selain itu di pelosok-pelosok daerah Nebraska juga ada sekolah yang disebut class one. Sekolah sekolah itu kecil, biasanya hanya sampai kelas 8 atau sembilan. Jumlah muridnya relatif sedikit, dan biasanya hanya mempunyai sedikit lokal bangunan.

Sekolah sekolah class one biasanya dimiliki bersama sama oleh masyarakat daerah tersebut. Anggota board of director adalah pemuka masyarakat sekitar, mereka mencari dana dan mengatur sekolah tersebut. Guru gurnya biasanya dibayar sebagai professional.
Sekolah sekolah class one inilah yang menjadi sasaran dari peraturan baru di Negara bagian itu. Class one yang kekurangan murid atau tak berprestasi akan di gabungkan ke sekolah publik terdekat.

Masyarakat tidak setuju. Beberapa diantara mereka berinisiatif membuat petisi. Di Negara bagian Nebraska, memang masyarakat punya kesempatan mengubah atau mencegah sebuah kebijakan. Syaratnya tidak mudah, mereka harus bisa mengumpulkan tanda tangan persetujuan dari 10 – 15 % jumlah penduduk. Sekitar 116 ribu tanda tangan. Jika berhasil, maka akan diadakan pemungutan suara seluruh Negara bagian untuk menentukan apakah peraturan itu bisa diajukan atau ditolak.

Jadi kenapa mereka berkeras mempertahankan sekolah sekolah kecil itu?

Untuk kejelasan, saya mencari sebuah sekolah class one di cheney, Nebraska. Bersama Adiguno, dan Michael, saya menemui para pemrakarsa petisi itu. Kami juga mengunjungi salah satu sekolah Class one itu.

Marry Jo, kepala sekolah sebuah class one menemui kami di gerbang dalam. Saat kami meminta ijin mengambil gambar anak-anak di kelas,ia berkata, hanya ada satu kelas yang tengah berlangsung. Gabungan kelas satu dan kelas dua. Anak-anak lain tengah berada di luar kelas. Ada yang tengah mengambil kelas IPA diluar ruangan, ada yang tengah menjalankan kelas seni di halaman. Kelas tujuh dan delapan tengah menjalani kelas diluar, di pangkalan angkatan udara dekat sekolah. Mereka selama 3 hari menjalani pendidikan tentang aeronotika disana. Kerjasama sekolah dengan lembaga itu.

Terus terang aku kagum. Saat masuk kelas, sang guru meminta anak-anak meninggalkan kegiatannya dan berpura-pura belajar sebentar. Memang sebagian dari mereka tengah bermain setelah menyelesaikan semua pelajarannya hari itu. Saat itu beberapa diantara mereka mengangkat tangan, dan berteriak; “the reason, pleaseee…?” saat sang guru menjelaskan dengan sabar, aku keluar.

Kemudian kepala sekolah menunjukkan padaku kuburan serangga mereka. Anak-anak itu memiliki program pengenalan serangga. Setiap anak kelas 2 dan 3 harus mencari seekor serangga dan memeliharanya selama satu minggu. Mereka mendiskusikan seekor serangga setiap hari. Karena memelihara beberapa lama, anak anak itu menjadi merasa dekat dengan serangga mereka. Saat serangga itu meninggal, beberapa anak memutuskan menguburnya dihalaman sekolah. Sang guru membiarkan, dan jadilah pemakaman serangga itu.

Saat diajak ke kelas seni (kelas musik), saya mengira akan melihat sang guru mengajak anak anak itu belajar not dan cara memainkannya. Ternyata saya keliru. Diawal kelas, sang guru memainkan piano dengan irama yang sangat dikenal dan anak-anak itu diminta bergantian menyanyi. Kata katanya dibuat sendiri. Tempo nada dirubah, dan anak-anak itu diminta menyanyi lagu sedih. Syairnya terserah.

Kemudian kertas dan krayon dibagikan. sang guru memainkan lagu gembira dan anak anak itu di minta menggambar sesuai irama lagu. Dengan enteng anak anak itu menebak, “itu lagu ceria…” dan mereka pun menggambar sebuah gambar dengan tema ceria. Saat irama lagu berubah, gambar mereka pun ikut berubah. Sebagian lain tidaK menggambar, mereka diminta menirukan mood lagu itu. Kalau lagu sedih, mereka diminta berpura-pura sedih. Kalau lagu gembira, mereka diminta tertawa terbahak-bahak. Sang guru secara mendadak merubah rubah irama lagu. Rupanya mereka belajar mengekspresikan dan menginterpretasi seni.

Kemudian ke kelas umum. Lucu juga melihat anak anakitu belajar sesuai kegemaran mereka. Ada yang belajar matematika, ada yang belajar biologi (menangkap serangga dan mencari jenis apa serangga itu di buku). Ada yang menggambar, ada yang membuat pekerjaan tangan.

Kemudian saya ditunjukkan kelas sandiwara boneka. Lagi lagi saya keliru. Kelas itu lebih mirip kelas membuat boneka. Anak anak diberikan clay untuk membuat boneka. Kemudian bergantian mereka menceritakan kisah boneka mereka. Misalnya: ada anak yang membuat kucing, lalu dia menceritakan kucing itu bintang menyusui, makannya ikan, biasanya punya anak lebih dari dua, dan seterusnya.. Kemudian boneka kain pun dikeluarkan. Bukan guru yang memainkan boneka. Anak-anak itu yang memainkan boneka bergantian. Satu orang melakukan sandiwara dan yang lain mengomentari atau menambahi cerita itu.

Saat saya datang, kelas tujuh dan delapan tengah menjalani kelas diluar, di pangkalan angkatan udara dekat sekolah. Mereka selama 3 hari menjalani pendidikan tentang aeronotika disana. Kerjasama sekolah dengan lembaga itu. Setelah hari terakhir, mereka akan mengadakan ujian lisan dan tertulis di lembaga itu. Mereka juga melakukan presentasi yang mereka lihat. Bagi yang lulus mendapat medali plastic berwarna emas dan perak. Saya sempat melihat medali dibagikan. Semua tersenyum dan bersemangat.


Kemudian Mike Nolles, pemrakarsa petisi itu menceritakan alasan mereka mempertahankan class one system.

Meskipun kecil dan terkadang fasilitasnya sedikit, class one biasanya lebih akrab. Belum lagi lebih dekat. Luas Nebraska yang hampir 77 ribu mil persegi, terdiri dari banyak daerah pedesaan yang masyarakatnya tinggal berjauhan. Mike mencontohkan anaknya, yang harus menempuh 20 mil untuk sekolah di class one. Kalau harus ke ibukota, tak kurang dari 100 mil harus ditempuh. Untuk anak anak itu sangat melelahkan.

Belum lagi lulusan class one terbukti lebih cerdas. Dalam tes tahunan nasional mereka mencapai nilai 70 persen lebih tinggi dari siswa sekolah umum. Menurut Mike, itu karena pendidikan lebih intensif. Apalagi biasanya orang tua lebih terlibat.

Mereka sebenarnya maklum, biaya administrasi dan pengawasan pemerintah akan membengkak dengan adanya sekolah sekolah kecil ini. Mereka juga maklum kalau ada sekolah yang ditutup. Tapi mereka minta penutupan itu bukan karena paksaan dari atas, melainkan harus atas keputusan masyarakat yang menggunakan sekolah itu. Walau nyaris mustahil, mereka tetap berusaha mengumpulkan 116 ribu tanda tangan. Hasilnya luar biasa, mereka bisa mengumpulkan hingga 82 ribu suara hanya dalam dua bulan. Banyak masyarakat pedesaan yang ternyata setuju dengan mereka.

Mereka, para orang tua ini, ingin selalu punya pilihan, kemana mencari pendidikan bagi anak anaknya…

No comments:

Post a Comment