Malam dari atas pencakar langit ini sungguh mempesona. Kemilau lampu lampu jalanan dan selasar warna yang diciptakan kendaraan yang melaju di jalan lengang berpadu apik dengan kegelapan yang abu-abu. Aku sendiri bersandar di balkon baja mungil apartemen mewah milik temanku. Sendiri disini aku merasa bagai raja dunia. Tinggi dan tak tersentuh. Rasanya tak masuk akal, begitu banyak kemewahan yang tersebar disini. Kemewahan yan bahkan tak mampu aku impikan. Setiap Kerlip lampu seolah menjanjikan kenikmatan dunia. Mendadak perutku mual. Aku tahu aku tak akan sanggup menjadi salah satu pemilik cahaya lampu-lampu ini. Mendadak aku muak. Entah iri atau jijik. Sebenarnya sejak kecil aku punya mimpi jadi salah seorang penguasa kerlip lampu itu, tapi aku tahu apa yang mampu mereka lakukan pada sepotong hati manusia. Sejak itu aku berhenti berharap, sejak aku tahu aku tak mampu mengeraskan hati dan membutakan mata, merenggut kesempatan menjadi pemilik gemerlap kota. Perutku mendadak sakit, entah sejak kapan aku bermimpi akan bisa berdiri diatas kota ini. Bermimpi menjadi pemilik. Perutku mulas karena terlalu bersemangat, tapi segera ku teringat alasanku berada di gelimang lampu-lampu kota ini. Ini bukan kehidupanku. Ini bukan gedungku. Hari Minggu ini aku tengah mengunjungi temanku, mustapha kelana, seorang pelaku bisnis sukses di ibukota. Ia adalah pemilik saham besar di berbagai blue chip company.
Mustapha kelana, adalah kawan kecilku. Kami sama-sama besar di desa karang mulya, jawa barat. Mustafa, atau Tapa, dari kecil memang lebih pintar dari aku. Ia selalu juara kelas, nilainya pun jauh diatas kami, teman-teman lainnya. Tapa juga selalu menjadi pemuka saat bermain, selalu menjadi yang terdepan. Sayangnya banyak anak yang tak suka padanya, karena ia keras dan mau menang sendiri. untuk melawan kami segan, selain badannya bongsor, ia juga anak kepala kampung. Walau begitu, Tapa baik buatku, ia sering membagi bekal favoritnya, roti tumpuk rasa strawberry. Waktu itu roti masih barang mahal buat kami. Tapa juga rajin memboncengku naik sepeda saat pulang dan berangkat sekolah, walaupun aku juga yang harus menggenjot sepedanya.
Aku berpisah dengannya saat kami lulus SD. Ia melanjutkan ke SMP favorit yang biaya masuknya selangit, sedangkan aku cukup di sekolah kampung.
Kami bertemu lagi 9 tahun kemudian. Kami sama-sama masuk sebuah perguruan tinggi negeri di depok. Lucunya saat itu ia baru masuk, sedangkan aku sudah mahasiswa tahun ketiga. Pertama kali aku melihatnya, aku tak mengenalinya. Ia lebih dulu menegurku seusai ospek mahasiswa baru.
“Nang, ini nanang, kan?”
“siapa ya?”, aku merasa mengenalnya. Tapa saat itu bertubuh kurus dan lebih kecil dari aku.
“ini Tapa, teman SD kamu dulu…”, ia tersenyum dan menggenggam tanganku erat. “aku anak pak RK karang mulya..”
“oh.. Tapa?” aku mendadak teringat padanya. Anak galak yang rada cengeng. Terbayang olehku lezatnya roti strawberry masa anak-anak itu.
“apa kabar?.. kok lo kurus sekarang? .. “ kuperhatikan Tapa saat itu tampak kurang terurus.
“iya nih…”, senyum Tapa tampak getir.
“bagaimana kabar bapak dan ibu?”,
“Bapak sudah nggak ada, Nang..” aku tercenung saat Tapa perlahan-lahan menangis.. ia terduduk di tangga kampus dan sesenggukan seperti anak-anak. Aku duduk disebelahnya dan menepuk pundaknya. Perlahan, tapi tampaknya perhatianku cukup untuk membuatnya bercerita..
Ayahnya, Sudiro atau pak RK, meninggal dunia dalam keadaan miskin. Penggilingan padi yang menjadi tumpuan kehidupan mereka mati, setelah muncul penggilingan listrik yang lebih murah. Sudiro lalu banting stir usaha persewaan mobil. 5 mobil sebagai modal kemudian berkembang menjadi 10 mobil. lalu Sudiro meminjam uang kepada seorang pengusaha papan atas jakarta, Rahmat Suroyo. Dalam setahun usahanya berlipat tiga, tapi bencana pun datang. Mendadak usaha Sudiro disita oleh perusahaan Rahmat Suroyo, alasannya tak pernah bayar pajak. Sudiro mengamuk, jalur hukum ditempuh tapi enam bulan kemudian baru berkas awal yang diajukan. Sementara keluarganya diteror debt kolektor. Setahun kemudian Sudiro kalah di pengadilan. Hari itu juga ia terserang stroke dan meninggal. Hartanya disita, meninggalkan Tapa dan ibunya terlunta-lunta. Mereka terpaksa menumpang hidup di keluarga ibunya di sukabumi. Disana Tapa dan ibunya diperlakukan seperti pembantu. Tapa akhirnya lari ke jakarta, bekerja sebagai loper koran. Ibunya pun akhirnya lari dari rumah saudaranya. Selama beberapa tahun Tapa hidup sendiri, ibunya rutin mengirim uang untuknya sekolah di jakarta. Setelah sempat tertunda, Tapa yang memang cerdas berhasil melanjutkan sekolah, dan kuliahnya.
“pahit hidupmu, Tapa…”
“makanya nang, aku harus jadi orang kaya… orang sangat kaya”
“kenapa?”
“orang miskin hanya korban, dunia itu milik orang kaya.. uang bicara, nang!” ia mendadak bicara penuh semangat. “aku bosan jadi orang miskin yang dipermainkan orang-orang kaya itu..”
Saat itu aku teringat tapa kawanku dulu, yang selalu semangat dan pintar membujuk.
“Jadi orang baik juga berharga,” ujarku.
“tidak,.. kalau tidak kaya kamu bukan apa-apa” Tapa kembali merenggut. Kata-katanya kering dan nadanya menyakitkan. Matanya bercahaya. Keras dan dingin.
“Kenapa kamu begitu terobsesi jadi kaya?”
Mendadak matanya kembali berkaca-kaca.
“ kamu tahu apa kerja ibuku sampai dia bisa membiayaiku?...”
Aku terdiam. Matanya menyemburkan api yang bahkan tak terpadamkan oleh air mata yang meleleh dipipinya..
“ibu ku melacur!!” ia menatapku. Matanya tepat didepan mataku tapi aku merasa ia tak sedang melihatku.
“ibuku jadi lonte…melacur… demi menyekolahkan aku..” badannya bergetar dan Tapa mengepalkan tinjunya. “keparat itu membuat ibuku melacur..”
Terbayang wajah ibu RK yang selalu dpenuhi senyum. Sebagai anak-anakpun aku bisa merasakan, ibunda Tapa cantik. Cantik dan halus. Tak terbayangkan keanggunan itu dilacurkan.
Aku memeluk bahunya. Ia masih bergetar oleh kesedihan. Mendadak tangannya mencengkeram bajuku, wajahnya setengah menengadah. Matanya mencari mataku.”
“Nang, kamu temanku kan,nang?” cengkeramannya makin kuat. “kamu tetap jadi temanku, kan?”
“pastinya..” kataku sambil tersenyum. Saat itu Tapa mirip anak kecil yang ketakutan.
“aku akan tetap jadi temanku, tapi ..kalau kau kaya, jangan lupa padaku..”
Matanya membesar, beberapa saat kemudian pecahlah ketawanya saat ia sadar kelakarku.
Sejak itu walau berbeda angkatan aku bergaul cukup dekat dengannya. Ia tinggal di kost ku untuk menghemat biaya, toh aku lebih sering hanya menggunakannya menyimpan buku. Aku lebih banyak menginap di balai pemuda tempat aku menulis dan berdiskusi dengan teman-teman akrabku. Tapa pelajar yang cerdas, ia juga punya bakat bisnis kental warisan ayahnya. Dimulai dengan memfotokopikan buku, kemudian ia beranjak ke bisnis jual beli buku bekas pakai. Usaha itu meningkat cepat. Setahun sebelum aku lulus, Tapa menemuiku. Ia menyerahkan kunci kamarku sambil menceritakan bahwa ia sudah punya usaha tetap. Ia menjadi agen buku bekas dan koran.
“yo.. pakai aja kost ku, Pa..” kataku sambil mengangsurkan kunci padanya.
“terima kasih, nang..aku sudah kontrak rumah kecil sekalian kios”, saat itu matanya bercahaya. Aku merasa melihat Tapa yang penuh semangat, Tapa yang memberikan roti strawberry bekalnya dengan rela pada anak kurus tetangganya, Tapa yang selalu jadi pemimpin. Tapa temanku.
“yo.. sukses ya…”
“Terima kasih, nang…” Tapa menggenggam tanganku. Erat. “kamu temenku, temenku selamanya…”
Itu kata-kata terakhirnya sebelum kami berpisah. Itu terakhir kali aku bertemu dengannya, sampai sekitar seminggu yang lalu.
Sejak itu aku lulus kuliah dan bekerja seperti orang-orang biasa lain. Tapa, sebaliknya, dia bukan lagi orang biasa. Dari koran aku ikuti karirnya yang terus melesat. Ia sempat jadi pialang nomer satu bursa efek. Sempat juga terdengar rumor akuisisi saham perusahaan informatika terkenal olehnya. Singkat kata, buat pelaku ekonomi Cuma ada satu kata yang bisa melukiskan Tapa. Fenomenal…
Seminggu lalu aku bertemu dengannya tidak sengaja saat menghadiri launching mobil mewah jenis baru. Bukan mau beli, aku diajak temanku, Harry, seorang wartawan otomotif. Katanya mobil ini bakal jadi rebutan para jutawan indonesia. Saat aku tengah mengobrol dengannya, bahuku ditepuk dari belakang. Awalnya aku tak mengenali, orang berjas yang tiba-tiba memelukku.
“Nang, apa kabar nang…”
“baik, siapa… loo… Tapa?” tiba-tiba kusadari siapa dia. Meskipun beratnya bertambah sekitar 25 kilo dari waktu terakhir bertemu, senyumnya belum berubah.
“sokur, nang…”
“wah, sudah makmur kamu, sekarang..”
“beginilah, sokur..aku bisa ketemu kamu… kerja dimana, Nang?”
“jadi kuli tinta, cita-cita dari dulu..”, aku balas pelukannya sebentar.
“Tapi sepertinya kamu juga sudah berhasil Pa, jadi orang kaya… hebat kamu..”
“belum cukup, hahaha… masih ada yan lebih kaya… hahaha”, gaya tertawanya mengingatkanku saat ia kanak-kanak. Saat ia tahu ia lebih dari yang lain, dan tak ada yang berani melawannya. tapi ia tertawa lepas, membuatku senang, berarti Tapa tak berusaha mengambil jarak dariku.
“Sudah keluarga, nang..?”
“sudah, anakku satu… laki-laki… kamu?”
“Belum nang, belum ada bintang film yang mau sama aku… hahaha..”
Sekitar lima belas menit kami bercakap akrab. Di belakangku Harry terbengong melihat pelaku utama ekonomi ngobrol dengan bahasa kasar, dengan aku buruh tulis sebuah media kecil. Hanya lima belas menitan, lalu Tapa permisi.
“nang, aku harus pergi, ada janji bisnis… ini kartu namaku..” ia mengangsurkan sebuah kartu putih berkelas, “mampir yo, ndak usah pakai alasan telepon aku kalau mau ketemu… kamu itu ya, temanku…temanku kok…”
“boleh ya.. sesekali mampir..”
“telpon aja, nanti kujemput”
“ngerepoti Pa..”
“ndak akan… kamu temenku kok..”
Tapa menepuk bahuku, sambil berpesan jangan menyerahkan kartunya pada siapapun, setelah itu ia permisi. Saat itu baru aku sadar ada 4 orang bertubuh sangat besar mengelilinginya. Bodyguard. Saking senang ketemu dia aku tak sadar Tapa dikawal orang. Dari jauh masih sempat aku lihat dia menandatangani nota pesanan mobil baru itu. Enteng saja. Padahal harga mobil itu sekitar 1,2 miliar.
Walau senang bertemu dengan Tapa, tapi aku merasa risih. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu penciumanku. Hidungku seperti buntu oleh sebuah bau, tapi aku tak bisa menentukan bau apa. Hanya saja membuatku merasa tak nyaman. Jadiu kepergiannya membuatku menghela nafas lega.
“wah, hebat kau, bisa kenal mustapha..” suara cempreng Harry mengagetkanku. “orang seperti dia susah betul didekati. Kamu malah disuruh kerumahnya..” dia merebut kartu nama yang masih aku pegang-pegang.
“dia teman kecil,” kataku sedikit ketus. Aku kesal juga ia merebut kartu nama itu seenaknya, jadi kurenggut saja dari tangannya.
“wah kamu dibohongi juga… disuruh telepon, tapi nggak ada nomer teleponnya..”temanku tampak senang sekali. Entah senang karena ia merasa aku dibohongi, atau senang karena ternyata aku sama seperti dia, tak tahu telepon Mustapha Kelana.
Kuperhatikan memang tak ada nomer di kartu itu. Hanya nama, alamat kantor dan e mail. Hatiku mendadak sedih. Kucoba berpikir, Tapa lupa memberikan nomernya, tapi dalam hatiku aku menduga memang ia tak berniat memberi nomernya. Seperti orang kaya lain, pasti ia curiga aku akan meminta uang padanya.
Tapi Allah rupanya masih sayang padaku. Saat prasangka buruk ku makin menguat, ia memberi peringatan padaku. Tepat sebelum kami meninggalkan pameran, aku dihentikan oleh seorang berjas.
“bapak, ada titipan dari seseorang..”
Ia mengangsurkan sebuah kotak. Aku berusaha menolak karena kupikir itu adalah pemberian dari panitia.
“saya nggak ngeliput, dia aja nih yang tugasnya meliput..” kataku menunjuk temanku.
“maaf pak, ini ada nama bapak…” sang pengantar titipan itu tetap ngotot. Dengan heran kuperhatikan memang ada namaku diatas kotak itu. Aku bahkan tak diundang, bagaimana panitia tahu namaku? Kuterima kotak itu dan kuperiksa. Ternyata disisinya ada tulisan yang sangat kukenal. – dari temanmu—dan itu aku tahu tulisan Tapa.
Sambil berjalan ke mobil kami, aku buka kotak itu. Ada kartu dengan tulisan cakar ayam,khas Tapa. – maaf tadi saya lupa menuliskan telepon saya, ini gantinya. Didalamnya ada nomerku – dan didalam kotak itu ada sebuah telepon seluler model terbaru, masih gress. Kontan Harry merebut telepon itu..
“diancuk!... kamu benar-benar temannya dia..” ia menatap telepon itu dengan kagum.”model terbaru ini, nggak kebeli gajimu.. huibat mustapha itu… berkelas.. diampu..!”
Dan aku langsung minta ampun pada Allah karena buruk sangkaku.
Dan gara-gara Harry yang banyak omong itulah, hari ini aku ada di apartemen penthouse Tapa. Redakturku merasa kedekatanku dengan Tapa bisa memberiku wawancara eksklusif dengannya. Wawancara yang belum pernah berhasil dilakukan wartawan-wartawan ekonomi andalannya.
Begitu aku telpon nomer yang diberikan Tapa, aku disambut suara merdu seorang sekertaris. Setelah kusebutkan nama dan jabatanku, dan keperluanku menemui tapa, ia langsung menyuruhku datang ke pencakar langit ini. Sejak aku datang sore tadi, aku tak menemui kesulitan. Seluruh pengurus apartemen, dari bellboy sampai housekeeping memperlakukanku seperti raja. Rupanya insruksi Tapa jelas, aku adalah temannya dan semua permintaanku harus dilaksanakan. Sempurna, tak ada yang kurang, kecuali Tapa yang sampai jam 8 malam belum juga muncul.
Malam dari atas pencakar langit ini sungguh mempesona. Kemilau lampu lampu jalanan dan selasar warna yang diciptakan kendaraan yang melaju di jalan lengang berpadu apik dengan kegelapan yang abu-abu. Aku sendiri bersandar di balkon baja mungil apartemen mewah milik temanku. Sendiri disini aku merasa bagai raja dunia. Tinggi dan tak tersentuh.
Mendadak handphone pemberian Tapa berdering.
“halo.. assalamualaikum”
“halo, nang.. maaf menunggu lama. Aku dalam perjalanan.. tunggulah dulu. 30 menit lagi aku sampai. “
“aku tunggu, Pa..”
“ya.. tunggu.. banyak yang ingin kuceritakan..” terdengar suara perempuan tergelak di ujung sana. Tampaknya ia berada di mobilnya bersama seorang wanita.
“oke nang, sampai nanti ya..kalau mau apa-apa minta saja.. nanti aku traktir”
“aku tunggu… assalamualaikum..” kucoba menyampaikan salam, tapi telepon Tapa telah tertutup.
Bosan juga menunggu terlalu lama. Aku mulai menguap. Kuputuskan duduk di sofa pojok sambil mematikan lampu. Kegelapan selalu membantuku relaks. Cahaya lampu di luar menerobos jendela yang terbuka. Kerlap-kerlipnya sangat romantis.
Mendadak aku dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak di jendela. Sesosok mahluk kecil seperti anak-anak, lebih tepatnya bayangan anak-anak karena ukurannya kecil seperti anak-anak tapi warnanya hitam kusam seperti bayangan. Aku yakin itu bukan anak-anak. Mana mungkin anak kecil masuk lewat celah-celah jendela yang hanya selebar satu jari. Begitu bayangan itu berhasil masuk ia menghilang dibalik kegelapan ruangan, tapi dari suara langkahnya yang diseret diatas karpet aku tahu ia menuju ruangan kecil terkunsi di ujung ruangan. Badanku seperti kaku. Rasa takut dan khawatir ketahuan bertempur dengan keingintahuanku. Belum hilang kekagetanku, mahluk kedua muncul dari luar jendela. Merayap di balkon dan menyusup celah jendela. Lalu mahluk ketiga, keempat dan kelima muncul. Yang terakhir membawa sesuatu berkilau diantara giginya yang besar-besar dan tidak rata. Saat itu aku tahu apa yang kusaksikan. Aku baru saja melihat Tuyul!!
Beberapa lama aku tak bisa bergerak. Tak bisa berpikir. Butuh beberapa menit sebelum darah kembali mengalir di pembuluh darahku. Perlahan sebuah kesadaran menghantamku, Tuyul itu membawa sesuatu ke rumah Tapa, hanya satu yang terpikirkan, Tapa memelihara mahluk-mahluk itu!
“astagfirullah,”
Aku bangkit mendekati balkon. Membuka jendela besar dan keluar. Angin malam menerpaku, tapi dinginnya tak terasa. Malam jadi tak lagi terasa indah. Dan aku tahu aku harus bertemu dengan Tapa.
----
“kamu pikir uang itu darimana, nang…?”, Tapa bangkit dari duduknya. “kamu pikir uang jatuh dari langit?”
Ia berputar mengelilingi kursi. Berjalan di atas mini bar. Menggamit sebotol minuman keras dan menuangnya ke gelas anggur yang tersedia. Beberapa menit lalu Tapa baru datang. Aku menanyainya tentang mahluk-mahluk yang kulihat sebelumnya. Dia tampak gusar. Bahkan jas yang dipakainya belum dibuka..
“harusnya kamu usaha yang jujur saja, Pa.”, aku memperhatikannya. Ia tampak kebingungan, gelasnya bergetar.
“jangan seperti ini, Tapa… jangan seperti ini.”
Tapa bergegas kembali ke depanku. Tangannya yang tak memegang gelas bergerak serabutan di depan wajahku. “itu usahaku nang… aku usaha !… itu usahaku…”
“tapi kamu ingat bagaimana kata ustad kita dulu? Ini Haram, Pa”
“persetan ustad Ahmad…” wajah Tapa berubah merah..” dia orang miskin, nggak pernah kaya..nggak akan pernah kaya..”
Perlahan Tapa mengelus tangannya yang gemuk dan berkulit halus. Matanya mengeras.
“orang tua itu dulu memukuliku, gara-gara aku membolos…guratan rotan itu masih kurasakan.. orang tua gila..”
“Tapa, ustad itu guru kita!..” giliran aku yang bersuara keras. Rasanya tak rela ustad Ahmad dihina seperti itu. Dia guruku, dan masih paman ku dari garis ibu.
Tapa memandangku, tatapannya aneh dan berubah-ubah. Rahangnya mengunci dan tubuhnya kaku.
“Aku pikir kamu akan mengerti, nang.. kamu temanku..”
Tapa mendudukan tubuh gemuknya di kursi di depanku. Ia menangkupkan tangan ke wajahnya. Sejenak keheningan menguasai apartemen mewah itu.
“kamu juga sekarang minum minuman keras, Pa..”
Ia mengangkat wajah dan memandangiku.
“ini?” katanya sambil mengangkat gelas ditangannya. “aku tahu pasti kau akan komentar. Kau anak yang rajin, anak soleh…huff” sekali teguk dihabiskannya minuman itu.
Lalu ia berkata-kata seperti menggumam. Ucapannya cukup keras, tapi seperti tidak bicara padaku.
“kupikir kamu temanku, nang…”
“aku temanmu, makanya aku menasehatimu” kataku membesarkan hatinya. Giliranku menuju kulkas mini yang ada di minibar. Kubuka, isinya penuh minuman keras dan softdrink. Aku cari air putih kemasan, ternyata memang ada.
Tiba-tiba kami merasakan ada dinding antara kami. Tapa tetap diam sambil mengisi kembali minumannya. Aku memutuskan minum air kemasan itu di depan jendela besar yang mengarah kebalkon. Sekali lagi pemandangan indah lampu-lampu jalan menerpaku. Tapi aku tak lagi terpesona.
“kamu harusnya temanku, nang..”
Tapa kembali duduk di kursinya. Pandangannya memantul ke pintu kamarnya.
“kamu harusnya yang paling mengerti… sejak dulu kamu .. hanya kamu yang mau menolong kami… kamu membuat aku mampu seperti ini..”
Aku hanya terdiam. Kualihkan pandanganku ke arah tapa. Saat ini ia begitu lemah dan kosong, tak seperti raja dunia yang kulihat sebelumnya.
“kenapa kamu ambil jalan itu, Pa?”
“Jalan apa..bagaimana lagi orang tak punya modal seperti aku bisa kaya?..Sebelum kita ketemu, usaha loperku bangkrut… ditipu orang. Aku terpaksa cari modal seperti itu… Dunia kejam pada orang miskin, nang… kamu nggak tahu memangnya?...”
“Aku orang miskin, Pa”
“kamu tidak miskin… kamu punya aku… aku bisa kasih kamu dunia…”
“kamu tahu aku nggak mau, Pa”
“kenapa nggak mau, nang? Jangan sok idealis… jaman begini dunia Cuma menghitung tebalnya kantongmu… idealisme Cuma tai kucing buat dunia…”
Tapa bangkit dan memegang bahuku.
“Kamu harusnya mengerti, nang… kamu teman saya…kamu satu-satunya teman saya…” matanya merah, seperti orang menangis. Cengkeraman tangannya di bahuku terasa semakin keras. “Kamu harus mengerti, nang… aku nggak mau lagi menderita, aku nggak mampu lagi menderita… aku nggak mau lagi jadi orang miskin yang diinjak-injak”
“Pa, ingat.. aku orang miskin dan aku cukup bahagia..”
“tidak nang, kamu tidak miskin… kamu orang kaya..dari kecil kamu orang kaya. Dulu aku selalu mampir ditempatmu, sekedar supaya melihatmu diciumi ayah ibumu. Aku mampir sekedar merasakan belaian sayang dari ibunu di kepalaku… kamu kaya nang”
Tapa terdiam,ia menunduk mempermainkan gelas dalam genggamannya. “sejak kecil aku iri padamu, kamu begitu tenang dan yakin pada tindakanmu… dan orang tuamu… begitu sayang padamu. Bapak tidak pernah sekedar menjengukku belajar… ia terlalu sibuk bekerja, bekerja, dan bekerja…ibuku terlalu sibuk mengurusi ayah, entah karena takut atau sayang…”
Giliranku yang terdiam. Aku baru tahu hal itu. Dulu aku malah sering merasa iri pada Tapa, yang selalu punya mainan-mainan plastik mahal. Yang selalu berbaju bagus ke sekolah. Yang punya sepeda dan motor. Yang selalu bisa punya bekal roti setiap hari. Aku baru tahu kalau dia justru iri padaku.
“nang, kamu harus jadi temanku… kamu satu-satunya temanku… temanku yang benar-benar teman..” Tapa memandang keluar.” Aku kehabisan teman… orang-orang yang mengelilingiku hanya ada karena uangku.. mereka tak peduli padaku…”
Aku jadi merasa tak nyaman. Bau yang merembes dari tubuh Tapa kembali menggangguku. Kucoba melepaskan kebuntuan dengan menanyakan satu-satunya pertanyaan yang ada di kepalaku.
“bagaimana ibumu, pa..”
Mustapa tidak bergerak, tapi sepertinya aku melihat kilauan aneh dari matanya. Mungkin pantulan lampu-lampu jalanan pada air mata yang mendadak muncul di ujung matanya.
“ibuku seperti kamu… ia tak mau tinggal bersamaku, begitu melihat mahluk-mahluk itu…ia memilih melanjutkan usaha loperku yang tinggal menunggu ajal..”
“dia bijaksana, Pa..kamu harus mendengarkan dia..”
“MENDENGARKAN APA!? “ tiba-tiba Tapa mulai berteriak, ”…APA HAK DIA MENASEHATIKU?...HARAM KATANYA.. MASAK AKU HARUS MENDENGARKAN PETUAH AGAMA DARI SEORANG PELACUR!!!??“
PLAK!!!
Aku sudah tak tahan. Sebelum sempat berpikir, tanganku sudah menampar mulut Tapa. Keras.. keras sekali.. sampai Tapa terjatuh. Ia tetap duduk di lantai berkarpet dan terbengong memandangku dan aku merasa tak enak.
“Jaga mulutmu, Pa… dia itu ibumu! Haknya menasehatimu… kalau dia mau menghajarmu pun itu haknya!!”
Tapa hanya memandangiku.
“kamu sendiri yang bilang, Ibumu jadi begitu karena mengharapkanmu jadi orang.. sekarang kamu bermulut kotor padamu.. sekali lagi kau bilang begitu, jangan sebut aku temanmu!”, aku keraskan suaraku. Sebenarnya kasihan melihat dia terduduk seperti itu di lantai, tapi aku diajarkan menghormati orang tua apapun yang terjadi. Dan aku tahu, Tapa juga diajari hal yang sama.
Perlahan Tapa memeluk lututnya dan mulai menangis seperti anak kecil. Aku tak tega melihatnya begitu. Kupaksakan duduk disebelahnya, kusentuh lututnya perlahan.
“dimana ibumu, Pa?”
Isak tangisnya terus terdengar. Tapa menyembunyikan mukanya di antara lututnya. Ia menggumam seperti orang mengigau.
“ibuku sendiri tak mau menemaniku… ia menolak hartaku katanya…ia meminta aku kembali menjadi loper koran…katanya ia lebih baik mati daripada makan hartaku…ibuku bilang begitu, padahal aku lakukan semua ini untuk ibu..”
“ibumu dimana sekarang?”
“ibu tak mau bersama aku… dia melanjutkan usahaku berjualan koran…”
“dimana dia, Pa?”
Perlahan Tapa mengangkat kepalanya. Matanya basah, tapi wajahnya melunak.
“sejak aku menjadi loper ibu tinggal bersamaku di kampung melayu kecil… ia memilih terus tinggal disana, berjualan koran di kios kecil di lorong-lorong becek daripada tinggal disini bersamaku.”
“aku juga akan memilih itu, Pa.. kalau kamu jujur pada dirimu, kamu juga…”
Malam itu, aku tinggalkan Tapa yang masih memeluk lututnya di depan jendela balkon yang terbuka. Aku tinggalkan juga sebuah telepon seluler mahal hadiahnya diatas meja. Aku tak menoleh lagi sampai aku meninggalkan lokasi apartemennya. Aku bahkan sama sekali lupa pada wawancara ekslusif yang diminta redakturku. Lebih tepatnya..aku tak peduli.
----
Seminggu kemudian aku menerima sms singkat dari Tapa. Isinya alamat ibunya di kampung melayu. Hari minggu berikutnya, kuajak istri dan ibuku yang tinggal bersamaku mengunjungi ibu RK. Dengan mobil bututku, kami masuk ke perkampungan di bidara cina. Dari jauh kulihat kios koran Tapa. Ternyata cukup besar. Bentuknya menempel di sebuah warung rokok. Dibelakangnya rumah kontrakan yang alamatnya diberikan Tapa. Aku turun lebih dulu, istriku membantu ibu keluar mobil.
Sampai di kios itu aku menemui ibu Tapa. Aku masih mengenalinya, tapi dia benar-benar lupa padaku. Saat kucium tangannya, ia kebingungan. Baru saat melihat ibuku, tangisnya pecah. Sejenak aku biarkan mereka bertangisan. Ibu Tapa terus memegangi tangan ibuku, menangis sambil bercerita pengalaman hidupnya. Aku dan istriku memilih menjauh, setelah meninggalkan sekedar buah tangan yang kami bawa.
saat kami kembali, ibu bersama ibunda Tapa sudah duduk di dalam rumah kontrakan. Mereka berbincang akrab, maklum teman sekampung yang sudah belasan tahun tak bertemu. Saat aku masuk, ibunda Tapa memelukku, ia membisikkan terima kasih. Aku tak tahu untuk apa. Sesaat kemudian aku barusadar saat melihat Tapa keluar dari ruang dalam. Tubuhnya jadi kekar, hanya wajahnya ditambahi beberapa kerutan dan rambut putih yang makin banyak bertebaran. Tapi matanya, cemerlang dan penuh semangat.
Ibunya menjelaskan, Tapa memutuskan tinggal bersama ibunya dan bekerja kembali sebagai loper. Langsung kupeluk dia, erat. Tapi hanya sebentar.
Tapa lalu mengajakku duduk-duduk di kios, membiarkan ibu kami dan istriku mengobrol.
“terima kasih, ya, nang… kamu ternyata benar-benar temanku..”
“kamu temanku asli, Pa. hebat keputusanmu … luar biasa.. meninggalkan usahamu untuk ibumu”
“kamu yang menyadarkan aku, Nang.” Wajah Tapa menunjukkan rasa terima kasih yang begitu tulus. Aku langsung merasa mukaku merah.
“Jadi perusahaanmu bagaimana?”
“biar saja, aku sudah urus agar hasilnya diserahkan untuk membantu orang.. aku tidak mau sepeserpun. Hasil Jualan koran cukup untuk kami.”
“lantas..eee.. pengikutmu?” aku melirik istri dan ibuku, aku memang tidak memberi tahu mereka.
“entah.. aku putuskan hubungan dengan mereka… aku minta bantuan seorang kiai.. aku tak tau lagi setelah itu.”
“oh…”
Setelah beberapa jam bercengkrama, keluarga kami pamit pulang. Tama berdiri di sebelah ibunya yang memeluknya. Saat kami melangkah pergi, Tapa membisikkan sesuatu pada ibunya. Ibundanya tersenyum dan mengelus kepala Tapa. Tapa lalu keluar mengejarku, dia memegang bahuku dan berkata.
“Nang, terima kasih untuk semuanya.. aku sudah dapatkan kasih sayang dari ibuku, aku sudah kaya sekarang..”
”syokur..syokur..”
“itu karena kamu, nang, kamu membagikan sedikit belaian sayang ibumu padaku… aku nggak akan lupa, nang… terimakasih”
Mata Tapa berkaca-kaca, tapi dia tampak bahagia. Aku melengos, tak tahan pemandangan itu. Aku genggam tangannya erat. Aku sampaikan senyumku yang paling manis.
“terima kasih juga, Pa… mudah-mudahan cukup berharga sebagai pengganti setangkup roti strawberry..”
Tapa masih terlihat kebingungan saat aku tinggalkan.
----
Minggu yang buruk! Aku bukan orang yang percaya takhayul, tapi sepertinya minggu ini benar-benar buruk bagiku. Emosi ku terus meledak-ledak. Hari ini saja sudah 2 kali aku memarahi sekertaris redaksi, padahal masalahnya sepele saja. Hanya masalah administrasi. Biasanya aku tak mudah marah, tapi entahlah, sepertinya semua salah akhir-akhir ini. Motorku rusak, kerjaan menumpuk, asistenku sakit dan diganti orang yang tidak kompeten, dan puncaknya pagi ini jam tanganku putus dan jatuh entah dimana. Akibatnya aku terlambat di rapat penting dengan narasumber dan gagal mendapat berita. Itu menambah panjang kesialan yang menerpaku minggu ini.
Hanya dalam waktu seminggu, teman-temanku yang biasanya berkumpul di sekitar meja kerjaku, menghilang. Aku tak menyalahkan mereka. Siapa yang mau bertemu orang yang terus menerus menggerutu dan marah-marah. Tapi aku juga tak bisa mengontrol emosiku, lebih tepatnya aku menjadi tak peduli. Seolah-olah ada sesuatu yang membebani hatiku, tapi aku tak tahu apa itu. Sejak aku bertemu dengan ibunda Tapa, aku memang merasa diikuti sesuatu. Sesuatu yang membuatku terus uring-uringan. Tak kusangka Hari ini aku tahu apa yang mengikutiku, dan aku benar-benar kesal karenanya.
Untuk menenangkan diri, aku pergi ke atap kantorku yang gelap. Di puncak tower ini, di tempat gelap yang masih dilimpahi cahaya lampu dari kota dibawahku, aku berharap dapat meredam emosiku dan menemukan masalahku yang sebenarnya. Dan aku benar-benar bertemu dengan masalahku.. bentuknya lima sosok mahluk hitam kelam seukuran anak-anak…
“kalian!! Kenapa ada disini? Bukankah Tapa sudah mengusir kalian?”
Dari balik kegelapan perlahan muncul lima sosok bayangan. Antara ada dan tiada mereka merayap mendekatiku. Walau bentuknya seperti anak-anak, tapi gerakan mereka mengingatkanku pada ular. Bergeser lembut menyusuri dinding. Nyaris melata.
“kami kehilangan majikan… temanmu mengusir kami dan menolak mengantar kami kembali ke tempat pesugihan kami…”
Suara mereka terdengar aneh. Beberapa detik Baru aku sadar kalau suara itu dikeluarkan secara bergantian dari mulut mahluk-mahluk itu.
“lantas kenapa kalian mengikuti aku?”
“kamu yang membuat dia melepas kami”
“kalian mau balas dendam?”
“Cuma manusia yang suka mendendam. Kami mencari makan..”
“makan?”
“harusnya dia memberi kami makan.. tapi dia malah menelantarkan kami”
“kalian kan bangsa jin!” mereka beringsut mendekatiku dan tak sadar aku mundur hingga ke tepian atap.
“kami juga harus makan…”
“kenapa kalian mengikutiku?”
“kami mencari majikan baru”
“kenapa mengikutiku? Jelas aku tak mau jadi majikan kalian!”
“kami tak kenal siapa-siapa…” sosok paling kecil menyeringai. Taringnya yang berwarna kuning mendadak terlihat. Mendadak sosok lainnya meloncat mendekat.
“kamu yang salah.. kamu hanya menasehati tuan tapa untuk mengusir kami… harusnya dia mengembalikan kami ke tempat dia mengambil kami..”
“pergilah kesana sendiri.. atau kau bilang sama Tapa”
“tak bisa..” aku mencelos. Suara mereka melemah, seperti sedih. Mata mereka yang besar dan tanpa bagian putih mengecil. Dua diantara mahluk itu malah mengeluarkan suara memilukan. Aku pikir mereka sedang menangis..
“kami tak bisa lagi mengganggunya.. kiai yang dimintai tolong olehnya membentengi tubuh tuan Tapa dengan dinding doa yang sangat kuat. Itu memutuskan tali komunikasi kami…. Apalagi semakin rajin tuan Tapa sembahyang semakin tebal dinding itu..”
“ya terserah… kenapa aku?”
Sesosok mahluk itu mendadak melompat, atau lebih tepatnya menggeser, dan menempel dibayangan di dinding, tepat disebelahku. Matanya yang seluruhnya hitam menatapku.
“kamu tahu tidak?! Temanmu itu mengambil kami dari gua Dadali tempat kami tinggal. Dia mengambil kami dengan paksa untuk menjadi pesuruhnya.. tentunya wajar kalau dia bertanggungjawab pada kehidupan kami!!”
“lalu kenapa kalian menemui aku?!”
“sejak kami direnggut dari alam kami, kami tergantung pada pemilik kami.. di alam ini kami hanya bisa makan dari tangannya.. kami terpaksa menurut semua perintahnya, tapi kami juga bisa meminta padanya..”
“iya, lalu kenapa harus aku!!?”
“sejak tuan Tapa menjauh dari kami, kami tak dapat makanan..”
“hei… hei.. kamu tak menjawab aku. Kenapa kalian mengikuti aku?!!”
Sosok kedua meloncat kedekat kepalaku. Saat ia membuka mulutnya, bau busuk menyergap hidungku.
“wajar saja..”
Seperti koor sosok lain maju selangkah dan mengulangi kata-katanya.
“wajar saja… wajar saja…”
“kami tak terlihat buat orang lain. Hanya kau yang sejak awal bisa melihat kami..”
“hanya kau… hanya kau…”
Aku menepis mahluk yang paling dekat denganku. Rasanya seperti menepis asap dari api yang terlalu panas. Terasa tapi tak tersentuh.
Aku melangkah ke tengah atap.
“kasihani kami…” sosok-sosok itu menyusulku dengan cepat
“hanya kau yang melihat kami… hanya kau yang mendengar kami”
“hanya kau… hanya kau…”
“wajar kalau kau adalah majikan baru kami..”
Sosok lain bergerak maju. Nyaris menempel di bahuku.
“lagi pula kau yang membuat majikan kami yang dulu menelantarkan kami..” sosok lain menyusul mendekatiku. Saat itu aku agak risih. Mereka bergerak mendekatiku dengan menunggang bayanganku.
“wajar kalau kau bertanggungjawab”
“Hei hei hei” aku mengibaskan tangan mengusir mereka.
“aku tak takut dengan intimidasi ini. Pergi saja kalian.. aku tak mau memberi kalian makan. Kalian mahluk penipu rendah..”
Aku bergegas menuju pintu masuk. Rasanya agak menakutkan, berteriak-teriak seorang diri pada mahluk setengah nyata itu.
Mendadak aku merasa kakiku berat. Kulihat di masing-masing kaki dua mahluk hitam bergantungan.
“apa lagi mau kalian? Aku menolak jadi majikan kalian..”
Mendadak sesosok lagi mahluk itu berdiri didepanku. Di ujung kakiku ia meletakkan sebuah jam yang berkilau ditimpa lampu malam.
“kamu tak punya jam.. ini persembahan kami..”
Aku masih berkutat melepaskan diri dari mahluk yang memegangi kakiku saat mendadak jam tangan itu melilit lenganku. Kilaunya menghentikan pergulatanku.
“itu baru contoh, tuan… apapun yang tuan minta kami akan penuhi”
Rolex baru. Berlapis emas. Tiba tiba aku mendapat kesadaran baru. Seperti dituntun sesuatu aku menuju tepian atap. Dibawahku kilauan lampu yang berpijar seolah mengundang. Bintik bintik terang yang berwarna warni seolah menguji keberanianku. Impian dan khayalan berbaur dalam pendarannya. Cahaya yang redup itu seolah tak lagi jauh, hanya sejangkauan tangan, dan aku tahu… aku bisa jadi pemilik baru gemerlap kota itu… yang harus aku lakukan hanya berkata sepatah,
“baiklah…”
Demi sepotong roti strawbery, demi rengekan sang istri, demi sujud pada dunia, cahaya dibawah seolah mengurungku. Menghapus ketakutanku pada keterbatasanku sendiri. Tak ada yang tak mungkin.
“baiklah…”
Cemerlangnya malam bisa kumiliki hanya dengan merendam kaki dan hati dalam kegelapan.
“BAIKLAH…”
Anjrit... Keren nih Dit!
ReplyDeleteKirim dong ke Kompas :)
HAIHAI...KEREN BGT CERITANYA !!!
ReplyDeletebtw ini pengalaman pribadi or ....apa???
ato kisah nyata orang lain?
btw akhirnya si 'aku' jd melihara jin jg kan???