06 September 2004

INI BUKAN FIKSI

namanya Amir. Aku menemui keluarganya saat bertandang ke Cirebon untuk mengerjakan program baru bertajuk; "kejamnya Dunia". setelah bertanya ke kanan ke kiri akhirnya aku menemukan rumahnya. Amir hanyalah seorang penarik becak di Cirebon yang memiliki enam orang anak. Amir bukan orang penting atau orang terkenal, tapi aku khusus mendatanginya.

sekitar 1 tahun yang lalu, kota cirebon dihebohkan oleh tingkah Amir dan Istrinya, Eli. saat itu Eli ditangkap dengan tuduhan menjual anaknya yang bungsu. Lebih heboh lagi, ternyata pasangan itu dituduh sudah menjual 3 anak mereka sebelumnya, untuk membeli becak. saat digelandang ke polres, polisi langsung menuduh Amir menyuruh istrinya itu menjual anaknya. Eli mengiyakan. kontan Amir yang sedang menarik becak diciduk dan dipaksa mengaku. Penarik becak inipun masuk penjara.

aku tertarik menguji kebenaran berita itu, maka kudatangi mereka. awalnya kupikir Amir adalah tipikal orang miskin yang kasar, dan suka memaksa. Kupikir Eli adalah wanita yang menderita dan tertekan. kupikir mereka adalah keluarga yang hancur-hancuran. kupersiapkan perekam dan surat perizinan. Aku bertekat menemui juga Amir di penjara, dan bersiap terkejut menghadapi alasan yang dikemukakannya saat menjual bayi mereka. dan kenyataan yang sesungguhnya ternyata jauh lebih mengejutkan.

saat aku datang, ternyata Amir sudah bebas. ia kembali tinggal bersama Eli. setengah harian aku mencari rumah mereka, sampai akhirnya aku diantar menemui mereka. disebuah perkampungan nelayan yang mayoritas rumahnya dari bata, rumah mereka nyaris tak terlihat. berada di antara rumah ibu Amir yang cukup bagus, dan didinding mesjid dibelakangnya.
rumah itu hanya seukuran kamar mandi; 1,5 kali 2 meter. dindingnya dari gedek bambu keropos, sementara pintunya seng berbingkai bambu potong-potong. atapnya separuh menumpang di atap rumah semang mereka. sisanya dari potongan seng, bambu, kayu dan apapun yang bisa menahan derai air hujan. isinya hanya sebuah amben beralas tikar memenuhi lebih dari separuh ruangan. disudut, sebuah lemari makan dan kompor minyak menjadi harta satu-satunya.

aku ajak Amir dan istrinya makan. seorang bocah kecil seolah menempel dipelukan Eli. dia adalah Krisna, anak terakhir yang menjadi muasal Amir dipenjara. saat ku ajak pergi, Amir menunda. Ia meminta agar mereka boleh menunggu anak tertuanya pulang sekolah. "Amir mau menjemput Imas dulu. dia sekolah dekat sini. biasanya ibunya menjemput..". mereka terus memakai nama dan seolah menghindari pemakaian kata ganti orang pertama.
selang beberapa jam, Eli kembali menggandeng Imas, sang anak tertua yang masih mengenakan seragam sekolah. Siang itu kuajak mereka semua ke kamar hotelku.

cerita yang kuingin akhirnya kudapat. mengejutkan. Mereka terus bercerita dengan kata ganti orang ketiga, seolah merekamenceritakan orang lain, dan bukan kisah hidup mereka. tak ada lagi kesedihan atau kegetiran di wajah mereka. sepertinya mereka melarikan diri dari kejamnya dunia dengan cara mereka sendiri.
setengah wawancara aku baru sadar; hanya sang ayah yang bercerita dengan alur lurus. hanya Amir yang tak bergeming walau berulang kali ditanya dengan cara berbeda. Eli, sang ibu, kelihatan kurang tanggap. menurut warga yang mengantarku, Eli memang dikenal sedikit terganggu mentalnya. Ia hanya mengulangi kata-kata pancinganku. Ia selalu memilih pilihan pertama setiap diberikan pilihan. Imas si anak kebalikannya; ia cerdas. Ia mengmbangkan crita hasil pertanyaanku dengan imajinasinya. selalu menguatkan apa yang kumaksud walau bertolak belakang dengan kata-katanya sendiri sebelumnya.

amir bilang:
"Amir kaget waktu ditangkap, Amir sedang naik becak tahu-tahu ditangkap oleh petugas polisi. ditelikung. katanya itu si Eli Jual anak, Amir yang suruh... padahal Amir cuma suruh Eli ke pasar untuk beli singkong"
eli bilang:
"Iya, Eli disuruh beli singkong... tahu-tahu petugas satpam datang, Eli dibawa.."
Imas cerita:
"Waktu itu Imas ikut mamah.. bukan mau jual anak, cuma mamah mau ambil uang adik ditaruh di tampah (pinggan bambu lebar tempat berjualan. pen)trus..ada orang yang tanya...anak ini di jual? trus mamah ketawa... trus dibawa ke polisi..Imas sudah bilang ibu bukan mau jual.."
amir bilang
"dibawa petugas polisi trus dipaksa ngaku.. Amir bilang tidak suruh eli jual anak..tapi polisi tidak percaya"

polisi memang tak percaya. satpam yang membawa Eli menceritakan tentang 3 orang anak pasangan itu yang sebelumnya telah "dijual" ke orang lain. polisi lebih percaya pada si satpam daripada Amir yang bicarapun masih tergagap. dan akibat kesalahpahaman, Amir menghabiskan 6 bulan hidupnya di penjara.
Amir telah menyerahkan 3 orang anaknya pada orang lain. itu fakta. ia menerima uang atas penyerahan tersebut. Amir mengakui juga. tapi Amir tak pernah bilang dia menjual anak-anaknya.

amir bilang:
"nggak.. Amir bukan jual.. uangnya untuk bayar biaya bersalin.. yang pertama 150 ribu. waktu Eli mau melahirkan Amir mana punya uang. Ada keluarga yang datang bilang mau bayarin... trus anak Amir dibawa.."
Eli Bilang:
"nggak..nggak.. Cuma untuk biaya melahirkan..Eli harus ke bidan.. Amir nggak punya uang"
amir bilang:
"kata mereka Amir nggak bisa urus anak.. nggak mampu.. jadi anak itu dibawa. biar bisa diurus.."

saat ditanya bagaimana perasaan mereka melepas anaknya, pasangan ini menunjukkan rekasi yang membuatku takjub. Amir dengan tenang dan penuh perasaan berkata:
"biarin aja, biar hidupnya lebih baik...Amir nggak mampu ngurus jadi dikasihkan saja sama orang yang ngurus.."
Eli malah tak berekspresi:
"senang.. senang aja.. biar mereka diurus.."

Anak pertama mereka, Imas tetap dalam keluarga ini. Anak kedua meninggal, Anak ketiga, yudi, terpaksa diserahkan pada keluarga istrinya, sebagai ganti pembayaran uang bidan. Anak keempat dan kelima juga berpindah tangan. semuanya dengan alasan sama, mereka terlalu miskin untuk membayar biaya pengobatan.

tiga anak mereka sudah diserahkan. alasannya tak mampu membayar tagihan bidan dan rumah sakit. menurutku, alasan cukup kuat bagi keluarga semiskin mereka. Tapi toh mereka kembali mengejutkanku. Sisa uang yang mereka terima dari dua anak pertama, dipakai untuk membeli becak dan radio.
amir bilang :
"buat usaha, supaya Amir bisa kasih makan Imas dan Eli"

Tapi Amir tetap miskin. Karena rabun senja yang parah, ia hanya bisa narik becak sampai jam 3 sore. selepas itu ia hanya bisa diam di rumah. dunia jadi terlampau suram bagi matanya.
becak itupun akhirnya terpaksa dijual untuk melahirkan krisna si bungsu. setelah itu Amir bertahan hidup dengan becak sewaan dari tetangga-tetangganya yang simpati pada kehidupan keluarga ini. sampai dia ditangkap...

sebagai tukang becak yang hanya mampu bekerja setengah hari, tak banyak penghasilan Amir. sehari ia hanya mendapat paling banyak 7000 rupiah. untuk membantu biaya makan, Eli kerap mengajak anak bungsunya, krisna, dan si sulung, Imas ke pasar. Mereka meminta-minta... kalau tak juga dapat, maka mereka akan berpuasa...

selama berumah tangga, amir dan eli di karuniai 6 orang anak. anak pertamanya meninggal. sementara imas, anak kedua, sekarang sudah berumur 9 tahun. amir tak tahu harus bagaimana lagi. saat eli akan melahirkan anak ketiga mereka, 7 tahun lalu. ia sama sekali tak punya uang.

amir bilang:
“gimana sih.. nggak ada pembayaran bidan.. gak punya uang.. pikiran mawur.. jadi anak dikasihkan. pas ada yang minta.. orang gak punya anak, diminta.. pas kesempatan, jadi anak itu diminta tetangga”

tawaran pertama kali datang dari i’in, salah satu saudara jauh eli. i’in memang telah lama merindukan kehadiran anak dalam rumah tangganya.

i’in si orang tua angkat berkata:
“saya nanya sama saudara.. itu si eli lagi bunting, hamil.. saya mau pelihara anaknya..”

amir bilang
“pertama ditahan dulu, tanya sama eli.. eli mengijinkan”

uang pemberian i’in, selain untuk biaya persalinan, juga digunakan untuk kredit becak. maksudnya untuk memperbaiki penghasilan mereka.

amir
“250 ribu, bisa beli becak kredit……….. jadi saya nyicil”

tapi amir memang tak bisa mengelola keuangannya. gali lobang, tutup lobang. itulah cara amir menutup biaya untuk menghidupi keluarga. sampai sampai amir harus menjual kembali becaknya.

amir bicara
“eli hamil lagi, kesulitan lagi, becak dikembalikan laluk minta lagi uang mukanya, 100 ribunya”

kesulitan terus mengikuti amir. saat eli akan melahirkan anak keempat dan kelima, amir kembali kebingungan. mereka pun kembali merelakan buah hati mereka, silvi dan benharudin.
bukan tanpa kesedihan Amir melepas anak-anaknya. Ia mengaku sempat mendatangi para orang tua yang menguasai anaknya, tapi ia ditolak dan diusir.

amir mengenang waktu itu:
"katanya pergi sana...emangnya ini anak siapa...sudah dari kecil sampai besar diurus biayanya berapa... begitu mereka bilang. amir cuma tertawa... jadi amir cuma lihat dari jauh.."
imas bilang:
"pengin main sama adik... tapi imas takut ... suka diusir.. rasanya nggak enak"

satu lagi ciri unik mereka. mereka membahasakan semua perasaan negatif seperti takut, sedih , tersinggung, kesal dan marah menjadi satu kata: rasanya tak enak. mereka juga sangat terbiasa dengan hinaan dan tekanan sehingga menganggap wajar orang lain merendahkan mereka. mereka seolah pasrah dan mengikuti alur hidup mereka. tak ada kehendak berontak, tak ada ambisi.

aku sempat berpikir amir menghabiskan uangnya untuk mabuk-mabukan. atau paling tidak untuk judi. aku keliru.
warga sekitar, dan pak RT , mohammad Daan sebagai sesepuh warga meyakinkanku. jangankan untuk mabuk, bahkan untuk minum kopi dan begadang fisik amir yang kurang gizi tak memungkinkan. untuk berjudi apalagi. amir terlalu lugu dan otaknya terlalu lambat untuk mempelajari permainan kartu.
saat aku tanya apakah amir menyesal, da apakah ia akan menjual anaknya kalau kesulitan lain datang, mereka menjawab.
amir berkeluh:
"ndak..amir nyesel... ngerasa dosa... amir ngaku salah... nyesel nggak bisa ketemu lagi.. "
eli berkata:
"ndak akan jual lagi... sudah besar... Imas kasihan... Imas minta krisna .."
Imas menjelaskan:
"Imas bilang jangan dikasihkan... nanti imas gak punya teman main... Krisna temani imas saja"
aku sempat melihat mereka bercengkrama. saling bercanda dan membagi makanan yang kubelikan setelah wawancara. aku baru sadar saat itu... mereka adalah keluarga.

lantas apa kegiatan mereka sehari-hari?

kini amir kembali tinggal dengan eli. setiap pagi ia mengantarkan anaknya ke sekolah sebelum menarik becak. siangnya imas akan dijemput eli, kemudian diajak ke pasar meminta-minta. sore mereka kembali kerumah mereka yang kecil. tanpa kasur empuk. tanpa MCK. tanpa ruangan lain, selain tempat mereka tidur. tanpa listrik. tanpa air ataupun keran. biasanya mereka berbincang sampai tertidur, dengan perut yang selalu menanggung lapar. Tak ada kegiatan di waktu malam membuat pasangan ini sangat produktif, walau juga membuktikan"banyak anak tidak selalu jadi banyak rejeki".

aku miris melihat kekurangan mereka, tapi sekaligus iri melihat kedekatan mereka.
keluarga ini kehilangan 4 anggotanya... terpaksa atau tidak. tapi mereka itu tetap keluarga yang utuh.. bagaimanapun miskinnya mereka. dan percaya atau tidak, walau mereka sangat jarang tersenyum... kurasakan kebahagiaan saat mereka berdekatan.
Amir mungkin orang biasa, miskin dan sedikit terbelakang. tapi seluruh keluarganya berputar pada dirinya... dan itu menurutku membuat dia bukan orang biasa, dia spesial, in his special way....

life does teach me through its own way. i don't know, should i seed tears for their poverty or envy them for their happiness. my journey hasn't end yet, and i still have lots to see and more to learn.


No comments:

Post a Comment