10 September 2004

HARI BURUK

pagi-pagi disuguhi drama pencurian. seorang pengasuh anakku kehilangan uang, dan yang dicurigai adalah pengasuh lainnya yang baru saja bekerja pada kami. akhirnya dia mengaku, katanya uangnya untuk ongkos ayahnya yang ingin pulang ke kampung dan harus berangkat hari itu. uang gajinya yang baru bekerja satu minggu tak cukup.
aku tak tahu apa harus marah atau sedih. lagi-lagi emosiku kalah oleh rasa iba. ia tidak mengelak dan bersedia menggantinya. ia hanya mencuri karena ia miskin dan terjepit. aku merasa tak berdaya menjadi pelindung, bahkan orang-orang di sekitarku.

belum lagi istirahat, hatiku kembali diguncang oleh musibah ledakan bom di kuningan. 7 orang tewas dan 108 terpaksa masuk rumah sakit. aku lihat siaran langsung di ANTEVE, ratusan wartawan dan lebih banyak lagi masyarakat datang ke lokasi. teman-temanku bekerja keras, dan aku malah masih tergolek di tempat tidurku. sialan, aku merasa semakin tak berguna.

siang berangkat ke kantor dengan dada pepat. sampai di tempat kurasakan suasana tegang yang membangkitkan adrenalinku mengambang di kantorku. semua berlarian mengerjakan breaking news dan persiapan dialog dan paket tayang hari itu. aku sendiri yang bingung tak mengerjakan apapun. ah, aku merasa tersisih.

maka aku duduk dengan sedih di pojok ruanganku. bahkan untuk mulai bekerja aku kehilangan semangat, padahal tanggungjawabku menumpuk. kenapa aku ini? kuperhatikan hampir semua temanku bekerja sambil tersenyum...paling tidak dalam hati. dengan semangat dan bergelora mereka mengomentarai pemberitaan tentang bom yang sambung menyambung. mengumpat dan berdiskusi kalau melihat gambar dahsyat yang ditayangkan stasiun lain. nyaris terlihat gembira. padahal yang tampak di layar adalah kesengsaraan, orang luka-luka, bahkan gosong. anak-anak dan orang dewasa berlarian panik dengan tubuh penuh luka. aku nyaris merasa menangkap senyuman kawan-kawanku. hatiku semakin terbenam..

hari ini kemanusiaanku menyeretku turun. menghempaskan semangatku ke titik yang terendah. mengempiskan antusiasme ku...ahh


dulu rasanya aku jurnalis... tapi kini aku merasa dipaksa memilih; menjadi jurnalis atau manusia biasa.

No comments:

Post a Comment