PENGANGGURAN
"ibu-ibu, bapak-bapak, sebelumnya saya mohon maaf kalau saya meminta bantuan bapak dan ibu sekalian di bus ini. saya tidak memaksakan kehendak; daripada saya menjadi pencopet atau penodong, saya minta kerelaan ibu-ibu dan bapak-bapak memberikanuang kecil kepada saya. seribu atau dua ribu tak akan membuat anda menjadi miskin. Saya meminta terus terang; daripada saya mencopet atau menodong, lebih baik saya meminta keikhlasan ibu-ibu, daripada saya bertindak dengan kekerasan lebih baik saya mohon kerelaan ibu dan bapak."
seorang pemuda kurus dan kumal naik di bis yang aku tumpangi. dengan mata merah dan pakaian berantakan, ia mengucapkan pidato seperti di atas. walau nada suaranya lunak tapi tampangnya mengancam. matanya liar memandangi satu demi satu penumpang bis itu.
aku agak kesal dibuatnya. anak muda itu berbadan tegap dan masih cukup kuat untuk bekerja lain daripada mengemis dengan setengah mengancam seperti itu. aku juga merasa terintimidasi dan malah memutuskan untuk tidak mempedulikannya.
aku tahu jaman sekarang pekerjaan susah. mungkin dia sudah kesana kemari menawarkan diri tapi tak juga ada yang mempekerjakannya, mungkin dia sudah bekerja sebagai buruh kasar tapi tak mencukupi, atau mungkin ia baru saja dipecat dari pekerjaannya. tapi toh simpatiku menghilang; siapapun tak berhak mengancam orang lain, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. kenapa dia tidak mencoba ngamen; dengan kecrekan, baca puisi, atau sekedar berpidato. itu kan menunjukkan keinginan dan usaha. dengan sedikit suudzon aku malah menduga jangan-jangan uang yang diperolehnya digunakan untuk minum atau mabuk malam nanti.
saat anak muda itu mulai bergerak menyusuri lorong bus sambil mengulurkan tangan, tak terasa aku menahan nafas. takut juga. tapi aku putuskan untuk tetap menolak memberikan uang. ia boleh saja menyambung hidupnya dari belas kasih orang, tapi tidak dariku.
saat ia melaluiku, kutolak dengan lambaian. wajahnya tidak berubah, kaku seperti topeng dan matanya yang merah ternyata tidak memancarkan kemarahan; lebih mirip pancaran keputusasaan. mendadak aku ragu-ragu akan keputusanku. kuikuti gerakannya dengan mata. sedikit yang memberinya uang, dan setiap kali diberi recehan ia mengucapkan terima kasih. tak sekalipun ia menggertak.
aku jadi berpikir, jangan-jangan aku yang keliru. jangan-jangan banyak orang sepertinya yang memang terpaksa melakukan kejahatan karena tak ada yang membantu mereka lepas dari kemiskinan. orang-orang yang seperti aku terlalu penuh prasangaka sampai tak mau melirik mereka, orang-orang yang lebih beruntung seperti aku dengan sombongnya memandang rendah dan menolak mengerti mereka, orang-orang seperti aku yang terlalu sibuk untuk berhenti sebentar mendengarkan keluh kesah yang bisa menghilangkan pepat di jiwa mereka. usai melewati seluruh bangku anak muda itu melontarkan sebuah doa pendek bagi seluruh penumpang. aku jadi merasa seperti menolak seorang saudaraku yang memintaku menolongnya.
bus melambat di halte dekat pancoran. aku menyisihkan orang disisiku dan merogoh saku tasku. menggenggam selembar seribuan aku mencoba mendekatinya. anak muda itu masih menghitung uang receh yang diperolehnya di pinggir pintu belakang. wajahnya tampak prihatin. aku kembali miris; merasa berdosa akan prasangkaku.
jangan-jangan wajah yang kaku itu karena kelaparan, bukan untuk mengancam. jangan-jangan mata yang merah itu karena kelelahan, bukan narkoba. jangan-jangan dia hanya pemuda yang kebingungan menyambung hidup.
mendadak bus bergerak dan pemuda itu melompat turun. aku yang masih terjepit disela-sela penumpang hanya bisa memandanginya berjalan menuju halte sambil menghitung uang. ingin aku berteriak padanya; "hei, uang hak mu masih kurang seribu.. ini ada padaku..."
sepanjang sisa perjalanan itu aku bertanya, benarkah tindakanku? apakah aku memegang prinsip atau malah membutakan diri pada derita sesama dengan dalih prinsip?
di DKI Jakarta saja tahun 2001,41,7 persen angkatan kerja yang diciptakan tahun itu tidak bisa langsung bekerja, jumlahnya mencapai 194 ribu orang. sementara pengangguran terbuka mencapai 11,8 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja. itu belum termasuk pengangguran yang terselubung... 63,8 persen pengangguran terjadi karena PHK dan kebangkrutan, alias terpaksa tidak bekerja, bukan karena malas. apalagi dengan globalisasi pesaing kita bukan lagi sesama WNI saja, sudah banyak eksodus pekerja dari luar yang dianggap lebih berkualitas. wajar kalau kesulitan mencari pekerjaan juga bukan rahasia lagi. dengan lulusan universitas hanya 14,3 persen sulit bagi sebagian besar tenaga kerja indonesia mengharapkan kemakmuran. paling-paling mereka akan menjadi tukang sapu dan bustboy. itu di jakarta dimana uang berlimpah. coba bayangkan di daerah yang 'kering'. pasti lebih menyedihkan. Lantas bagaimana mengatasinya?
No comments:
Post a Comment