28 June 2004

ORANG DARAT MENUJU LAUT

"ahoi, menuju laut lagi aku.."
begitu lepas teriakan saat kapal pesiar yang kutumpangi mulai membelah arus muara ciliwung yang tenang menuju laut lepas. aku dan keluarga akan menghabiskan akhir pekan di sebuah pulau, di kepulauan seribu. dibiayai kantor istriku, kami dan beberapa keluarga berangkat ke pulau bira besar. anakku langsung tertidur begitu perjalanan dimulai.
ingin tahu, aku bertanya pada sang pengemudi kapal, "berapa lama, pak?"
"hanya satu jam setengah, pak"
"tak terlalu lama, ya?"
"asal tahan mabuk, pak" sang pengemudi kapal it tersenyum sembunyi-sembunyi.
awalnya aku tak tahu kenapa, lima belas pertama laut luas seperti tersenyum. alunannya menina bobo kan para penumpang diperahu itu. setelah kami tiba di laut lepas aku baru tahu kenapa ia tersenyum. guncangan sang samudera mulai mengaduk isi perut kami, orang-orang darat ini. ditambah dengan kegamangan kaki yang tak dapat temukan tempat berpijak yang stabil, tekanan itu mulai memancing kupu-kupu diperut kami beterbangan.
Makin ketengah lautan, semakin keras guncangan. oang-orang darat di dalam perahu mulai menyesal menyetujui perjalanan ini. semakin banyak isi perut yang tertumpah. apalagi hantaman ombak di lambung kapal yang berbunyi semakin keras mengocok rongga perut kami. kapal kecil itu terayun naik, turun dan berdentam dihajar ombak susulan.
"sial, yang survey nggak mikir ada anak-anak di rombongan.."
"jauh banget nih"
"pak, kapalnya kuat nggak?"
disisiku istri tercinta memeluk permata hati kami yang pulas, seolah dibuai gelombang yang semakin liar. kupandangi langit yang menggelap dan air yang semakin bergelora meningkahi laju kapal cepat kami. kupandangi lagi wajah pulas anakku, aku tersenyum menyadari kenyataan itu. anakku bukan orang darat seperti aku; dia punya lautan yang mengalir dalam darahnya. gelombang adalah buaiannya.
mendadak terdengar suara keras, dan mesin kapal terhenti. kapal kami tak lagi bergerak maju melainkan terombang ambing oleh arus sang samudera. kali ini goyangan yang ditimbulkan semakin dahsyat; makin banyak isi perut terbuang. orang-orang mulai panik dan beberapa mulai berdoa. termasuk aku.
kami, orang-orang darat ini baru merasa kecil, berada dilautan seluas cakrawala. bertumpu pada kapal kecil bermesin empat. terhanyut pasrah mengikuti kemauan sang gelombang. kami, orang-orang darat ini mulai berdoa. melafalkan segenap pujian dan permohonan yang terpikirkan. ya Tuhan ampuni kami yang begitu kecil, tapibegitu sombong dengan kekerdilan kami.
seperti saat mati, mendadak mesin kapal kembali menyala. semua menarik nafas lega.
sebentar kemudian kami memasuki perairan dangkal dan berlabuh di pulau bira besar. senyuman dan canda langsung terdengar, saat kaki gerombolan orang-orang darat ini menyentuh tanah. kami mulai kembali mengangkat ego kami dan lupa bersyukur. lupa doa-doa dan janji kami tadi.

kupandangi putra kecilku, ia masih tidur dengan tenang. setiap nafasnya seolah puji-ujian yang berlandaskan rasa syukur dan bukan putus asa. baginya gelombang bukan ancaman, dan lautan hanyalah sajadah lain untuk melafalkan pujian.
aku malah sudah lupa doa ku saat lenyap takutku.
ah..mungkin memang butuh samudera pencerahan untuk menyadarkan orang daratan yang bebal ini.


kenapa aku masih hanya ingat meminta pertolongannya saat terancam kehidupanku, dan bukan saat bersenang-senang? padahal aku tahu batas ajal tak setebal kertas tisu.

No comments:

Post a Comment