22 May 2004

PADANG DAY - 2

Hari kedua di padang kami berangkat ke bukit tinggi. Kang Ule bertekat membeli kain khas pandai sikek, lokasi pengrajin kain terkenal di padang. Rencananya kami akan mampir di pandai sikek, dalam perjalanan menuju bukit tinggi. Rencana tinggal rencana; boro-boro mampir, mobil kami baru berhenti di benteng fort de kock. Lumayan juga benteng itu. Terletak di ketinggian pegunungan, benteng yang dibangun 1822 itu masih kokoh berdiri. Dari sana kita bisa melihat keseluruhan kota bukittinggi, dan gedung pacuan kuda di padangpanjang yang impresif gagah nan gemerlap.

diapit tiga buah gunung; Tandikat, Singgalang dan Merapi, dilengkapi cuaca dingin bak puncak, fort de kock yang dibangun di ketinggian 930 meter diatas permukaan laut, lebih terasa sebagai tempat peristirahatan yang eksotis ketimbang benteng yang kokoh. apalagi di kejauhan bayangan koto gadang mempercantik siluet ngarai sianok yang melingkarinya.(sayang juga tak sempat mampir di koto gadang; melihat bangunan khas minangkabau yang dibangun di abad 19, disana ) Tempat ini sudah seperti area wisata keluarga. Ada penyewaan kuda tunggang, foto bersama burung-burung jinak dan kebun satwa; yang bisa dicapai lewat jembatan limpapeh.

Disini perut saya bergejolak. Dari pagi memang isinya hanya makanan padang yang spicy; gak heran cacing-cacing di dalamnya gerah. Terpaksa cari kamar kecil umum. Saat ketemu lokasinya ternyata di pojok dekat mushola taman burung. Mmmh..sebenarnya bersih, Cuma fasilitasnya kurang tuh.
Setelah buang muatan; kami makan lagi di warung dekat benteng. Nyesel banget… nggak nyangka di padang ada warung makan yang gak enak dan dibuat seadanya.

Berikutnya tentu saja acara belanja. Sheila dan mbak Yenita sudah pasang muka belanja saat kami tiba di pasar gadang, tepat sisi di landmark kota bukittinggi; Jam Gadang. Kami benar-benar belanja. Entah karena orang padang memang jago berdagang atau nafsu belanja orang Jakarta yang memang tak terkendali. Hanya dalam beberapa menit satu juta lebih rupiah berganti kain kain khas padang. Saya sendiri tak belanja; selain uang di kantong memang tipis, saya di wanti-wanti tidak belanja sembarangan. – Hemat Pangkal Kaya – begitu kata istri saya.

Belum puas di pasar gadang, kami menuju ke pasar bawah. Disini barang cendera mata versi padang yang dikejar. Sebuah toko di jalan cindurmato 90, rupanya sangat populer. Toko ini unik karena mengkoordinir sendiri perajin-perajin kecil dari desa-desa sekitar bukittinggi. Mereka mengontrol kualitas karya perajin mereka sekaligus mencarikan konsumen. Keuntungan yang mereka peroleh pun sebagian disisihkan untuk pembinaan perajin kecil lainnya. Toko aisyah chalik art shop, begitu namanya, disini aneka macam souvenir khas padang bisa dibeli, rata-rata dengan harga miring. Mulai sandal tenun hanya 8.700 rupiah, kaos bermotif padang 15.000 perak sampai kain tenunan dan mukenah berenda yang ratusan ribu. Lagi-lagi saya hanya menonton rekan-rekan saya yang berbelanja dengan buas. Waduh..hampir 3 jam mereka berkutat memilih belanjaan. Padahal saya tahu, sejak awal mereka juga sudah tahu mana yang akan dibeli.

Bosan menunggu saya menuju kedepan toko. Di sebuah kedai terbuka, seorang kakek tengah meraut bambu menjadi seruling khas padang; saluang begitu ia menyebutnya. Dengan bahasa tarzan, saya bertanya apa boleh mencoba saluang itu – saya belum bisa bahasa padang sampai detik ini - . Jawabannya tentu saja dalam bahasa tarzan juga. Boleh . suaranya merdu, bentuknya menarik. Awalnya kupikir saluang itu bisa jadi souvenir yang menarik, tapi harganya ternyata lumayan mahal. Untuk yang berukuran sekitar 10 senti dan dihiasi tanduk kerbau ukiran sederhana, harganya sudah 50 ribuan. Saya langsung minder menanyakan harga … saluang yang saya incar ukurannya hampir 1 meter; terbuat dari bambu tiga lapis dan diukir halus. Waduh ..ternyata sulit juga jadi turis dengan dompet tipis.

Sebelum meninggalkan bukittinggi, kami sempatkan berfoto-foto di depan jam gadang. Hitung-hitung bukti kami pernah ke bumi minang. Lalu minum kopi sebentar di hotel novotel setempat yang punya view langsung ke ngarai anai – atau lebih popular ngarai sianok.
“apakah perdana menteri kamboja yang memberi nama?” begitu pertanyaan yang tercetus dari temanku saat menikmati keindahan senja di ngarai itu.
- benar juga; kenapa harus sianok? Memangnya kita di kamboja yang rajanya norodom sihanouk? -

berputar sekali lagi di jam gadang, kami turun lagi ke kota padang. Perjalanan jauh tapi menyenangkan. Semilir angin seperti di brastagi melipur lelah kami. Kami sempatkan turun dan berfoto di ngarai anai. Indah. Jalan pegunungan yang berkelok, dengan pandangan lepas ke lautan yang menghampar hingga horizon dan tebing hijau di kanan kami; mata ini serasa dimanjakan.

Toh, sebagai manusia yang tak gampang puas; sempat mengumpat pula kami. Saat hampir sampai di kota padang baru teringat, kami belum sempat mencicipi sate mak syukur yang legendaris. Padahal itu salah satu alasan menuju bukittinggi.

Walau badan lelah tak hendak pula kami berhenti berwisata. Di sisi pantai padang kami sempat istirahat sejenak. Sambil menyedot menonton balapan liar di jalan tepian pantai, sambil menyedot Telur penyu setengah matang. rasanya gurih dan menghangatkan badan. cuma sempat juga terbersit dalam pikiran; melihat banyaknya pedagang telur penyu berderet di sepanjang pantai padang, dengan jumlah dagangan masing-masing ratusan butir, tak heran kalau eksistensi penyu di padang mulai terancam punah.

walau tak ingin malam itu berakhir, kantuk tetap berjaya. akhirnya ruas jalan terakhir yang ditempuh adalah menuju hotel kami; Hotel bumi minang nan megah, yang berdiri tegak bak dan dalam pandanganku seperti rumah makan padang terbesar di dunia.

No comments:

Post a Comment