HARI PERTAMA DI PADANG
“wah, ini rumah makan padang gede banget, ya?”
itu ungkapan yang pertama rekanku saat tiba di airport tabing, padang. Kontan kami tertawa terbahak mendengarnya. Airport itu memang khas minang, dengan atap bagonjong meruncing keatas. Kalau di Jakarta, mungkin hanya rumah makan minang yang punya atap seperti itu.
Saya memang dalam kunjungan kerja ke padang, bersama rekan saya, Sheila, dan 2 atasan kami; Hardimen Kotto dan Sulaeman Sakib. Terus terang sangat menyenangkan, karena saya belum pernah menginjak padang. Saat kami tiba di padang, cuaca cerah. Matahari seperti memamerkan kecemerlangannya. Buat orang bogor seperti saya; padang sedikit terlalu panas. Kami dijadwalkan untuk langsung bekerja; tapi toh kami sempatkan untuk mampir di hotel bumi minang, tempat kami menginap. Hotel yang lumayan bagus; apalagi saya mendapat kamar dengan view yang indah, kolam renang dan taman.
Mampir di universitas andalan sumatera barat; andalas, kami berjumpa dengan kepala HRD perusahaan kami; pak Latief Harnoko dan mbak Yenita. Saat tiba di kampus unand, saya agak terkejut. Kampusnya kecil dan sederhana dibandingkan kampus-kampus universitas negeri daerah lain. Ternyata yang kami datangi adalah kampus lama; kampus yang lebih baru dibangun agak ke pinggir kota. Di kampus lama itu, kami dijadwalkan casting koresponden dan news presenter. Sayangnya dari 100 an orang yang mendaftar, sangat sedikit yang punya ketertarikan menjadi jurnalis. Kebanyakan hanya membayangkan dirinya nampang di TV. Beberapa berwajah cantik, beberapa lainnya cukup pintar. Tapi kombinasi keduanya tidak ada.
Salah satu atasanku yang kelahiran padang, Hardimen kotto, atau biasa dipanggil Bang Men, kontan berkomentar;
“harusnya kita casting jangan di kota padang. Biasanya gadis bukittinggi lebih cantik-cantik.”
Ah, jadi bukittinggi bukan padang? Kemudian saya baru tahu dari driver kami yang juga orang lokal, padang sebenarnya dibagi dalam 3 wilayah adat yang besar. Padangpanjang, bukit tinggi dan pariaman (ups..benar nggak ya? salahku kemarin tidak mencatat). Masing-masing punya adat yang sedikit berbeda; punya istana dengan ciri khas berbeda; punya tenunan dengan motif khas. Padahal dalam bayanganku, seluruhnya adalah padang.
Jadi usai casting; kami makan di restoran tapi laui’ yang sesuai namanya terletak di pantai padang. Restorannya terbuka, dengan pemandangan ring side tepi laut. Angin semilir menguarkan aroma masakan bercampur bumbu. Makanan khasnya; ikan bakar dan cumi-cumi. Biasa saja, tapi sepertinya bumbu padang ‘berani’ yang dibubuhkan benar-benar menggugah selera. Suasana nyaman, makanan lezat dan perut lapar. Kombinasi mantap untuk menggasak habis panganan yang di hidang di meja depan kami.
Selesai makan kami diajak keliling kota padang. Benar-benar terasa eksotis melihat. Bukit hijau di kanan, lautan biru di kiri dan atap ala “restoran padang” berserakan di setiap sudut kota. - Kota budaya - Kata-kata itu lewat di kepalaku saat melihat anak-anak madrasah berseragam baju, berjilbab dan mengenakan kain songket yang berwarna-warni.
Jalan-jalan kota padang cukup lebar dan mulus. Tidak terasa kemacetan seperti di jakarta. Dipandu Bang Men; yang mengaku penduduk asli padang, kami mengalami wisata boga yang luar biasa.
Perhentian pertama; Sate laweh . sate ini sebenarnya banyak penjualnya di padang, tapi atas rekomendasi Bang Men, kami menuju salah satu yang terenak.
Sekitar pukul 6 sore, kami menuju Pasar Padang dekat daerah pecinaan. Di padang, jam enam masih relatif terang, tapi deretan kios-kios yang ada separuhnya mulai tutup. Di sebuah rumah makan yang memajang gerobak sate besar didepannya kami berhenti. Sayangnya sate yang tersisa hanya sekitar 20 tusuk; baru balik mengambil, begitu kata pedagangnya. Akhirnya diboronglah semua tusuk yang tersisa. Itung-itung icip-icip makanan baru.
warung Sate Laweh ini sudah ada sejak lama. Menurut Bang Men; dulu pemilik sate ini adalah pedagang yang bertubuh gemuk luar biasa. Badannya bukan hanya gemuk bahkan disebuat luas saking besarnya. Seluruh keluarganya yang mewarisi bisnis jualan sate itu juga berbadan luas. katanya itu sebabnya dinamakan sate laweh. (laweh = luas).
Sate Laweh mempergunakan daging sapi yang diiris tipis-tipis. daging itu dilumuri ramuan khas yang berbeda setiap pedagang, dan sedikit parutan kelapa sebelum dipanggang di atas bara. Sate disajikan beralas daun pisang, tentunya ditambah katupek dan disiram bumbu kental yang lumayan pedas rasanya. Seporsi sate laweh berisi 10 tusuk, berharga antara 8000 sampai 12000; tergantung sang pedagang.
Rasanya? Mmmh… sudah pastilah lezat mak nyoss. Buktinya 2 porsi tandas dalam sekejap. Kami pun rela menanti sampai tusukan sate berikutnya datang. Tak heran Dalam sehari semalam warung ini bisa menghabiskan hampir 500 tusuk sate dan ratusan bungkus katupek alias ketupat.
Sebelum pulang kami sempatkan mencicipi juga Teh talua atau teh dan telur. Kalau di tempat lain biasanya telur setengah matang dicampur dengan susu. Kalau di padang teh yang menjadi campurannya.
Teh ini dibuat dari teh asli padang yang kental dan harum, setelah diberi sedikit bumbu. –yang ini agak rahasia resepnya; setiap yang saya tanya jawabannya berbeda-beda; mulai dari kunyit, jahe, vanili sampai kayu manis. Teh itu lalu dicampur dengan kuning telur mentah. Anehnya telur itu tidak berbau amis. Katanya itu tergantung cara mengaduk dan campurannya. Rasanya gurih dan mengenyangkan. Diminum hangat-hangat, ini adalah obat kuat versi Sumatera barat, Wuah.. rasanya strong.. bener-bener strong. kelelahan beberapa jam menguji koresponden lenyap. tapi payahnya saya jadi tidak bisa tidur , padahal besoknya janji bangun pagi-pagi.
alamak, akhirnya malam-malam saya jadi begadang cuma ditemani film-film tua HBO.
No comments:
Post a Comment