05 May 2004

ALAS KAKI

malam tadi saya baru sadar. sepatu yang kupakai sudah sobek kedua sisinya. bukan hanya di kanan, tapi di kiri juga. saya memutuskan akan mencari sepatu baru, yang murah saja..maklum uangnya tak cukup.
jadilah pagi ini saya ke kantor dengan mengantongi sejumlah uang untuk beli sepatu. seperti biasa, di lantai dasar menyapa seorang satpam. saya tersenyum, dan secara tidak sadar mengamati sepatunya. sebuah sepatu lars kulit yang kokoh. gagah memang, tapi tak bisa ku bayangkan saya memakai sepatu seperti itu sehari-hari.. bisa lecet-lecet terus.

keluar lift, ketemu dengan cleaning service kantor. ia menyapaku, baku sapa sejenak lalu dia melanjutkan rutinitas paginya. saya lirik sepatu yang dikenakannya. sepatu kets yang kelihatan nyaman, merk terkenal, tapi mungkin palsu dan beli ditaman puring. huh.. saya kok jadi meremehkan dia. bibit kesombongan, nih... harus digusur dari hati. siapa tahu dia memang menghabiskan gajinya untuk membeli sepatu itu. sudahlah. mungkin nanti mampir di pasar untuk beli sepatu bermerk. yang palsu saja, biar murah asal gagah ... hehehe.

masuk ruanganku, hari penuh sapaan di mulai. berkali-kali secara reflek saya melirik kaki-kaki teman sekerjaku. rata-rata memakai sepatu bermerk, yang tanpa disentuh pun kita tahu itu asli. aneh juga, bagaimana mereka membelinya, ya? padahal gajinya kan tidak jauh berbeda dengan saya. boro-boro membeli sepatu seharga tiga ratusan ribu sampai setengah juta lebih seperti itu, gaji saya habis untuk bayar listrik, air, makan anak istri dan ongkos sehari-hari. mungkin saya saja yang tidak bisa mengatur uang.. melihat begitu banyak sepatu mewah berseliweran saya jadi minder. bergegas menuju ke meja kerjaku dan langsung membuka sepatu. lega sekali kaki yang tersekap sejak berangkat dari rumah, kini didinginkan AC. lagi-lagi ku teringat sepatuku, sebuah sepatu sport seharga delapan puluh ribu rupiah.

pikirku: sepatu seperti jadi simbol sosial, ya? sepatu kets mengacu pada pekerja lapangan, sementara sepatu kulit pekerja kantoran. jika kets nya mahal berarti dia pekerja lapangan kelas atas, yang mungkin lebih tinggi gengsinya daripada pemakai sepatu kulit yang biasa-biasa saja. kok,..merk menjadi acuan status pemakainya. padahal mudah sekali meniru merk itu.

jam makan siang biasanya saya habiskan di kantor. untuk menyelesaikan pekerjaan supaya bisa pulang cepat, atau sekedar mengobrol dengan kolega. tapi hari ini saya putuskan untuk keluar dan mencari sepatu. mungkin yang agak mahal pikirku, sekalian memuaskan hasrat belanja yang sudah beberapa bulan ditekan. maka saya menuju mall, yang walaupun keren namanya, tak lebih dari pasar kering. keliling-keliling ke toko-toko sepatu, setiap pasang yang memenuhi seleraku ternyata tak mampu ditanggulangi kantong. uang yang kubawa jadi terasa sedikit sekali.
pusing berkeliling, saya beralih ke pasar yang 'kurang mewah'. pasar kebayoran baru.

sampai disana langsung menuju deretan toko-toko alas kaki. didepannya ada sekelompok kuli pasar yang menunggu obyekan. rata-rata hanya memakai kaos dan celana pendek, bahkan ada yang telanjang dada. reflek aku menengok ke kaki mereka. tak ada sepatu. paling bagus sandal jepit. mereka memandangiku, dari atas sampai bawah. awalnya kening mereka berkerut melihat dandananku yang pasti cukup rapi untuk dianggap sebagai orang kaya. tapi saat mereka melihat sepatuku, pandangan mereka melunak lalu kembali diarahkan untuk mencari rejeki. pasti aku dianggap orang miskin juga. sepatuku sobek-sobek sih..

saya terus masuk ke toko sepatu itu. kutemukan adidas baru yang sesuai selera, warna hitam merah dan biru berpadu gagah. harganya 380 ribu. tak apalah mahal sedikit, pikirku, segera kucoba di kakiku, cocok sekali. tapi pandangan para kuli pasar tadi terlintas kembali diingatanku. membuatku ragu-ragu. aduh, kenapa jadi terpengaruh sih. ...
segera kupegang erat sepatu itu dan bergegas menuju kedepan toko untuk membayarnya sebelum pikiranku berubah. saat mengantri saya melihat tukang sampah bersandal jepit. melihat pengamen dan pengemis yang nyeker tanpa alas kaki. ratusan pedagang yang memilih sandal sebagai alas duduk daripada alas kaki. saat itu sepatu di tanganku terasa terlalu sombong dan jumawa. warna-warnanya yang mencolok mungkin akan menyakiti mata dan hati mereka.

sepatu itu saya letakkan lagi ditempatnya, saya keluar tanpa membeli apapun. malu rasanya membeli sepatu semahal itu, tanpa pernah memberi sedekah selain sekeping uang logam, pada kelompok telanjang kaki itu.


biarin aja sepatuku bolong. selama orang masih mau tersenyum padaku.

No comments:

Post a Comment