14 April 2004

CEMARA TUA

pagi ini saya datang ke kantor dengan muka dilipat. malam tadi ada sms datang dari beberapa rekan kerja di daerah. isinya miris.

tak bisa bergerak.
bisakah kami hidup dengan modal 20 ribu sejak kemarin.
di rekeningku tinggal 53.341 rupiah hari ini..
aku di cap pembohong oleh orang-orang yang kujanjikan pembayaran.


rekanku itu koresponden daerah, ia termasuk produktif membuat berita yang bernilai. kontribusinya, menurutku, cukup besar. sejak awal bulan ia rutin meng-sms meminta tolong agar saya mengurus reimbursement dan pembayarannya yang tersendat. untuk liputan pemilu ia mengeluarkan uang pribadi, dengan jaminan penggantian dari kantor. tapi setelah sebulan, janji itu tak kunjung cair.
Saya berkali-kali mencoba mendatangi pihak yang berwenang dan menjelaskan kondisinya. jawaban positif selalu saya terima, tapi selalu dalam bentuk kata-kata tanpa tindakan. akhirnya malam itu, tibalah sms bernada sedih darinya. saya merasa nelangsa. saya tak bisa membantu teman yang sudah membantu saya berkali-kali. saya bahkan tak bisa meyakinkan atasan kami untuk segera membayar jerih payahnya. haknya. saya bahkan tak mampu membuat kantor ini membayar kembali uangnya. miliknya.

sepanjang perjalanan aku memandangi pohon cemara di tepi jalan. mereka tumbuh tua dan tinggi tak terganggu, sementara pohon-pohon lain disisinya tampak kerdil, terpangkas atau bahkan terpotong. sebatang cemara tumbuh lebih tinggi dari lainnya. daunnya lebat. batangnya tergores usia tua. gagah. disisinya sebatang mangga tampak meranggas, dengan daun-daun seadanya. tiga bocah tanggung duduk di cabangnya, bermain sambil menggeragoti buahnya. mereka tampak ceria, sementara hatiku meranggas bagai daun pohon itu.

saya tiba di kantor dengan muka ditekuk, dan mental siap perang. di kantor saya langsung memeriksa reimburse semua rekan daerah. ternyata rata-rata masih punya uang yang mengendap di kantor. darah saya mendidih. teman-teman membanting tulang, menyediakan berita dan cerita untuk menambah tebal kocek pemilik kantor; tapi balasan yang mereka terima sangat minim.
di depan sekelompok orang berdasi, yang duduk bekerja dalam ruang ber AC, yang wangi dan percaya diri; ku menggeramkan keluhan mereka. segunduk kekesalan menyumbat tenggorokan ini.

mereka katakan: para koresponden belum menyelesaikan paperwork. pencairan dana selalu butuh waktu. masih banyak keperluan perusahaan yang lebih urgen, prioritas perusahaan harus dipentingkan daripada prioritas perorangan.

my god, bisa-bisanya mereka bicara seperti itu. sementara mereka duduk enak di ruangan ber AC mereka, istirahat siang di kafe-kafe nyaman, pulang rutin setiap sore dan libur tiap akhir pekan; rekan-rekan koresponden saya itu tidak punya hari libur.
tujuh hari seminggu, tiap siang mereka harus turun ke jalan; tidak dalam mobil bagus ber AC, tapi motor atau kendaraan umum, bahkan terkadang berjalan kaki. mereka berpanas-panas menantang kerusuhan; meretas keributan; menjelajah ancaman demi ancaman; demi bisa mengirim berita ke kantor pusat.
sore mereka habiskan di bandara dan warnet untuk mengirim kaset. malam hari mereka gunakan untuk mencari berita dari lahan kriminal; bergaul dengan narasumber; menyiapkan liputan esok pagi; dan jika ada sisa waktu, mereka pakai untuk tidur.

sialan, bisa-bisanya mereka menganggap remeh pembayaran hak teman-temanku ini. tak habis pikir aku, kenapa seolah mereka menganggap teman-temanku expandable? bagaimana sih mereka menilai seseorang?

buatku setiap orang adalah tak ternilai. what matter in this world is the people, not the pride, glory, nor gold. sebuah perusahaan bisa dinilai dari aset terbesarnya; manusia di dalamnya. dan hak mereka; seharga kepercayaan yang mereka berikan. idolaku; Rasulullah SAW, mengibaratkan agar memberikan upah, hak pekerja, sebelum keringat mereka kering. langsung.
bisa-bisanya orang-orang kantoran yang setiap hari jumat duduk paling depan di antrian shalat jumat mengatakan itu, malah melecehkan hak teman-temanku. memangnya siapa mereka?

DADAKU PEPAT! mau rasanya memaki-maki mereka, menghina mereka, merendahkan mereka. lalu saya terpikir, kalau itu terjadi saya akan menjadi serendah mereka. itu lebih mengerikan bagiku. dasi-dasi mereka yang mentereng, dimataku tampak seperti lidah-lidah yang terjulur rakus. menghina, dan merendahkan lawan bicaranya.

saya keluar dari ruangan itu dengan hati patah. saya tak mampu memenuhi harapan kawan-kawanku. saya merasa tak berguna seperti cemara tua. yang selamat dan dibiarkan tumbuh tinggi tak terganggu, hanya karena tak berguna. jauh dalam hatiku; saya ingin menjadi pohon mangga, yang bisa memberi keceriaan pada bocah kecil. yang walau tak tampak jumawa, berguna sampai ke abu nya.

saya ingin jadi pohon mangga, saya takut jadi cemara yang tumbuh tua dan mati tanpa guna.

No comments:

Post a Comment