PELAJARAN RENDAH HATI DI TRANSTV.
Waktu baru masuk dunia televisi (kebetulan sebelum di transtv, saya sudah bekerja di sebuah stasiun televisi lain), saya kaget ternyata televisi jauh berbeda dengan media lain. Televisi itu high profile dan perlu kepercayaan sangat tinggi. Nyaris sombong. Dilapangan saya juga menemukan bahwa reporter televisi nyaris eksklusif. Bagi narasumber dan teman-teman reporter lain. Berbarengan dengan transtv muncul berbagai stasiun televisi baru. Metro, lativi, TV7 yang juga menyiapkan sepasukan reporter. Dilapangan kami bersaing sekaligus bersahabat. Kami sama-sama membutuhkan kepercayaan diri tinggi supaya tidak terintimidasi narasumber dan penjaganya, kami sama-sama ngotot mengejar deadline, kami serupa berusaha mencari gambar yang lebih baik, cerita yang lebih menyentuh, berita eksklusif yang hanya dimiliki sendiri. Tapi saya merasa berbeda saat melihat rekan-rekan yang baru (tentu bukan rekan yang sudah berkecimpung lama dibidang media masa) dari televisi baru.
Sejak di depok, kemudian di jogja. Sejak masuk di transtv, doktrin yang diberikan kepada kami adalah untuk bekerja sama. Siaran televisi yang baik cuma bisa terjadi jika ada kerjasama disetiap bagian. Mulai dari orang-orang dilapangan sampai di MCR. tidak ada satu bagian merasa lebih baik dari yang lain. Dulu, Kalau ada reporter yang nggak mau mengangkat tripod padahal dia tidak buru-buru, bakalan kena jitak. Kalau ada campers atau reporter yang tidak bantuin gulung kabel saat live, padahal dia gak ada kerjaan, bakal dikenain sanksi.
Saat turun ke lapangan juga kami selalu diingatkan, agar bersikap rendah hati pada kawan-kawan dari media lain. Tak peduli cetak, elektronik ataupun fotografer, mereka adalah rekan dan jelas lebih senior dilapangan daripada freshgraduate seperti kami. Aturannya jelas, tegur lebih dulu, kenalan segera, kulonuwun karena kita yang masuk ketempat mereka. Jangan slonong boy aja (slonong boy…kayaknya istilah itu jaman michael jackson masih kulit itam ya?!).
Aturan itu terasa mendarah daging bagi saya dan rekan-rekan yang sama-sama ditraining. Terkadang saya lupa, tapi selalu diingatkan. Bagaimana mau sombong kalau peringatan tidak saja disampaikan melalui kata-kata atau tempelan disekujur kantor, tapi juga disampaikan dengan contoh perilaku langsung.
Masih teringat bagaimana pak Ishadi yang kerap bergaul dengan kami dan mengobrol santai penuh perhatian di sela-sela waktu kerja, padahal siapapun tahu siapa beliau dan siapa kami. Contoh itu juga ditunjukkan pak Alex, yang tak segan berbincang-bincang soal kendala teknis kami saat makan bersama, padahal kita tahu kemampuan teknis dan posisi pak Alex. Atau bagaimana Riza Primadi mau mempermasalahkan hal-hal remeh temeh (paling tidak untuk bang Riza) jurnalisme televisi dengan trainee yang pengalaman dan pengetahuannya baru sampai tahap mukadimah, atau Iwan Sudirwan yang tak segan menyapa dari tukang sapu sampai sejawatnya dengan keramahan yang nyaris tak berbeda. Semua memberi contoh dalam kapasitas masing-masing. senyum, sapa, sopan, santun.
Bagaimana bisa sombong kalau sehari-hari melihat rekan-rekan Broadcast Support seolah bisa memecahkan masalah apapunyang timbul dengan peralatan seadanya. Bagaimana bisa tidak merasa kurang kalau melihat rekan-rekan dengan skill yang terus melambung. Atau melihat rekan di MCR yang syarafnya seperti baja menghadapi kesulitan apapun. Atau melihat produser yang walaupun terkesan “malas” tapi skillnya tak terbantahkan.
Setiap hari, sejak di depok sampai bedeng darurat dirobohkan dan kami mulai pindah ke gedung nan megah, banyak orang-orang hebat yang merendahkan diri. Bukan untuk menjadi hina atau menunjukkan kelemahan. Sebaliknya mereka menundukkan kepala untuk memperlihatkan kebesaran hatinya.
Saya harap kita semua dapat kembali saling menundukan kepala dan tersenyum. Kita kembalikan kerendahan hati dan bekerja sama, untuk mencapai tujuan yang nyaris terlupakan oleh beratnya proses perjalanan ini.
No comments:
Post a Comment