02 August 2004

KEBANGGAAN

Ngobrol dengan rekan sekerja, seorang jurnalis idealis dan handal. Pemimpin alami yang selalu dihargai pendapatnya, bahkan oleh atasan kami. Awalnya berbincang tentang pekerjaan dan pencapaian. Seperti biasa aku hanya mendengarkan. Mana aku bisa bersaing dengan rekan-rekanku itu, mereka termasuk orang pilihan dan pastinya sangat berbakat. Maka aku seperti biasa, hanya mendengarkan.

Mendengar mereka berbicara tentang bagaimana membuat liputan yang bagus. Bagaimana membuat program yang idealis. Bagaimana menggapai rating tanpa merusak tayangan. Itu ilmu, kelas tinggi sepertinya, aku terus mendengarkan. Kemudian mereka mulai membicarakan teman mereka yang sudah sukses. Teman mereka itu orang-orang besar. Namanya pasti pernah didengar oleh orang yang bersinggungan dengan media massa. Luar biasa..
Rekan-rekanku seumur denganku, tapi toh mereka punya wawasan luas dan kenalan yang high profile. Aku merunduk semakin rendah. Mendadak percakapan membelok membicarakan megahnya peralatan di sebuah stasiun TV yang relative baru. Rekanku itu dengan antusias menceritakan bagaimana di stasiun TV itu ruangan untuk artisnya semewah hotel bintang tiga. Ia juga berkata peralatan penunjang disana lengkap dan dahsyat. Tidak seperti kami yang masih menggunakan peralatan tumpang tindih antar program. Rekanku juga bercerita bagaimana ia diajak berkeliling di studio mereka yang ukurannya sangat besar, dan ia menambahkan dengan kagum, di stasiun TV itu minuman keras dijual disebelah musholah.

Singkat saja, kata-katanya seperti iklan. Aku agak bingung karena beberapa waktu yang lalu seorang atasanku yang sebelumnya bekerja di stasiun TV itu justru berkata nyinyir, di sana tak ada idealisme sejati, yang ada hanya kepentingan. Ia bahkan mencontohkan dengan beberapa peristiwa yang bisa dibuktikan. Sebenarnya aku terus terang agak tertarik ketika dikatakatan gaji disana nyaris 3 kali lipat gajiku sekarang, yang terus terang semakin kurang untuk membiayai anakku. Aku sedikit tertarik. Tapi kalau gaji sebesar itu ditukar dengan kebebasan dan independensi ku, sepertinya masih sangat amat terlalu rendah. Menurutku sebagai jurnalis aku harusnya bebas dari segala kepentingan, netral dan selalu berusaha menyajikan kebenaran dalam karyaku.

Kawanku yang lain pernah berkata serius saat kami disodori amplop, katanya;
“sebagai wartawan, kita tak punya harta dan kekayaan, yang kita punya cuma harga diri dan independensi sebagai reporter. Kalau itu juga kutukar dengan uang, apalagi yang kami punya? Apalagi yang bisa kami banggakan?”

rekanku masih bercerita dengan antusias, dan didengarkan juga dengan perhatian oleh rekan-rekanku yang lain. Mereka orang-orang hebat. Mereka mampu memikat pendengarnya demikian rupa. Sayang aku kehilangan rasa tertarikku, buatku semegah apapun peralatan pendukung, semahal apapun pembayarannya, tanpa kebebasan - seorang wartawan hanyalah setingkat penulis naskah pidato bayaran. Mungkin aku tak mengerti bisnis TV. Mungkin aku tak faham dinamika jurnalistik, tapi itu yang kurasa. Mungkin aku memang tidak sehebat mereka, dan tak akan pernah menjadi seperti mereka.


Kebenaran adalah saat nuranimu tak mengganggumu. Kebebasan adalah saat kebenaran tidak lagi disembunyikan. Kepercayaan adalah harta, yang lebih berharga dari nyawa.



No comments:

Post a Comment