MALU
"Pak, minta makanannya dong."
seorang pemuda tanggung berbaju dekil meminta snack dalam kotak yang dibawa kelompokku. wajahnya memelas dan keruh. badannya kurus. kaos berlambang salah satu parpol membungkus tubuh kecilnya. spontan rasa iba ku muncul. kuangsurkan satu kotak yang seharusnya diperuntukkan bagi teman-temanku yang tengah menyiapkan sebuah siaran langsung dari lokasi kampanye sebuah partai. rasanya trenyuh; ditengah-tengah gelora sebuah kampanye yang mengumandangkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan dari sebuah partai, seorang pemilihnya tidak malu-malu meminta makanan.
"pak, kami juga pak, minta makanannya dong"
di belakangnya ternyata masih ada 2 orang dengan tampilan serupa. mereka tak ragu-ragu mengangsurkan tangan. yang seorang malah langsung menghampiri boks mobil tempat aku menyimpan makanan. kuhitung-hitung masih tersisa 3 kotak berlebih dari jumlah kami, maka tak ragu-ragu ku angsurkan 2 kotak lagi pada mereka. terus terang aku merasa malu kalau tak memberi makanan saat ada orang yang meminta. aku berpikir jangan-jangan mereka lapar sekali sampai melupakan rasa malu untuk meminta-minta. tanpa mengucapkan terima kasih atau apapun, mereka mengambil kotak makanan dari tanganku dan berlalu. di kejauhan mereka tertawa-tawa sambil mengguncang-guncang kotak itu.
sejenak aku merasa ragu, apakah aku berbuat benar. apakah seharusnya aku tidak berikan makanan itu. apakah seharusnya kutolak mereka semua. kemudian aku merasa malu karena telah berpikir demikian, bukankah kami berlebih dan mereka kekurangan? harusnya aku tak ragu-ragu.
kampanye masih berlangsung seru. para satgas partai mulai panas dan mengayunkan pentungannya. para juru kampanye makin semangat menebarkan mimpi di sela-sela hujan ludah mereka. para simpatisan yang terdiri dari tukang-tukang becak, ojek, preman, pemulung, semakin semangat berteriak sambil membayangkan lembaran puluhan ribu yang akan mereka terima. siang makin terik dan tenggorokan kami kering; tapi toh kami harus tetap bertugas.
"pak, makanannya dong"
suaranya keras dengan nada sedikit memaksa. seorang satgas parpol datang bersama satpam gedung tempat kampanye. tanpa malu-malu mereka langsung duduk di mobil dan masing-masing mengambil satu. kami mengobrol sambil mereka menikmati makanan. dalam hati aku membatin; slah satu dari yang mereka makan adalah jatahku, tapi aku terlalu malu untuk mengusir tetamu ini. yah, hitung-hitung amal.
selesai makan mereka beranjak dari mobilku.
"bos, minta 5 lagi ya buat temen-temen kita disono", satgas partai itu tahu-tahu mengangkat beberapa kotak dari mobilku. kutahan tangannya dan kuambil kembali kotak makanan itu.
"sori, mas, ini jatahnya temen-temen yang lagi life".
" lima aja bos, pelit amat, itu masih banyak kok."
"ini udah pas, mas. maaf deh lain kali aja". aku berkeras memasukkan makanan itu ke mobil lalu menutup pintu belakang.
mereka tampak marah ditolak. sambil memaki-maki dengan kata-kata seperti pelit, sok kaya, gak punya moral, biar mampus, dan beberapa kata yang untuk mengulanginya saja aku tak berani. tanpa malu mereka juga mengumbar berbagai ancaman, seolah lupa beberapa menit lalu sudah menelan makanan dariku. aku jadi tersinggung dan nyaris membalas. tapi aku malu untuk berkelahi hanya karena masalah makanan kotak.
siang yang panas semakin panas. aku mengedarkan minuman lalu kembali ke mobil untuk berkoordinasi dengan kantor mengenai waktu siaran langsung itu. saat duduk di pintu yang terbuka, merasakan udara segar dari AC mobil, seorang tua yang mengumpulkan gelas plastik bekas minuman mendekati mobil. ia mulai memulung gelas-gelas dan kardus yang kami buang. ia meminta izin padaku memunguti gelas lebih dekat ke mobil kami. saat itu aku melihatnya melirik kotak-kotak makanan di dalam mobil. tiba-tiba saja aku berkeringat, berdoa dan berusaha tak memandangnya. tapi kilat matanya sempat bersitatap dengan mataku. pandangannya berpindah-pindah dari kotak makanan ke wajahku - yang langsung pura-pura sibuk menelpon - dan akhirnya kata-kata yang kutakutkan meluncur dari mulutnya.
"pak, maaf, boleh saya minta makanan? saya lapar.."
aku malu. maluu sekali. terpaksa aku mencoba menjelaskan bahwa kotak itu hanya untuk crew siaran langsung. tapi baru kalimat pertama bapak tua itu kehilangan perhatian dan buru-buru permisi, meninggalkanku dengan perasaan malu yang terus memberatiku. seorang hamba Allah yang kekurangan dan kelaparan meminta makanan padaku; dan aku mengecewakannya.
aku malu sekali.
sementara itu dari dalam gedung, sang juru kampanye yang terhormat tanpa malu-malu mengumbar kebohongan dan mimpi-mimpi. dia berkata akan menggratiskan pendidikan dasar. berjanji menghapuskan pungutan liar dan korupsi. berjanji mensejahterakan rakyat hanya dalam satu masa jabatan. tanpa malu-malu mereka melacurkan hati, lidah, dan kesadaraannya demi berebut harta dan tahta.
No comments:
Post a Comment